“Eh… tadi kamu bilang siapa?” tanya Astraem sambil menarik Chibi ke bahunya.
Chibi, si bola cahaya mungil berkuping kelinci, menunduk malu-malu. “Aku... aku nggak tahu, Astraem. Tiba-tiba aja nama itu muncul di kepalaku…”
“Nama siapa, Chib? Cepat bilang sebelum aku... aku lupa juga!” Astraem mulai panik, padahal dia sendiri nggak tahu kenapa deg-degannya seaneh ini.
Chibi menatapnya penuh rasa bersalah. “Shaila. Namanya… Shaila.”
Astraem membeku. Suara itu… ada sesuatu yang menggema di dadanya, seperti lonceng kecil yang berdentang di tempat yang sudah lama dikunci.
Tiba-tiba langit di atas Lantai Ketiga meretak. Seberkas cahaya biru menyambar ke tengah lantai dan menciptakan lorong berputar seperti spiral air di langit. Portal menuju lantai berikutnya. Tapi kali ini, tidak ada notifikasi sistem yang muncul.
Tidak ada ucapan selamat.
Tidak ada info lantai.
Hanya... suara.
> “Selamat datang di Lantai Keempat: Istana Lupa Waktu.”
> “Kau akan kehilangan satu hal penting tiap kali kau melangkah.”
---
Begitu Astraem dan Chibi memasuki lorong itu, mereka seperti meluncur di salju yang membeku. Dinding berputar, cahaya pudar, dan ketika mereka mendarat, keduanya berdiri di tengah sebuah dataran putih seperti es, tapi hangat.
Di depan mereka, berdiri sebuah istana mengambang di atas balok waktu, tampak seperti jam pasir raksasa yang melayang horizontal, berputar perlahan.
Dan anehnya… mereka lupa kenapa mereka datang ke sana.
Astraem menoleh ke Chibi. “Kita… mau ngapain sih?”
Chibi mengerutkan kening. “Eh... kayaknya kita lagi nyari sesuatu ya? Tapi... aku juga lupa.”
Ting!
> [Sistem: Kamu telah kehilangan motivasi.]
> [Catatan: Tanpa motivasi, kamu tidak bisa menggunakan kemampuan ofensif selama 30 menit waktu nyata.]
“HAH?! Gila ini dungeon!” Astraem mengaduk-aduk rambutnya. “Sistem kok gini amat. Aku kayak... ya ampun, kenapa kita hidup sih?”
“Jangan eksistensial dulu, Mastraem…” gumam Chibi dengan suara setengah pasrah.
Astraem mendongak, menatap langit istana yang dipenuhi jam-jam raksasa berputar pelan. Setiap detik terasa lambat. Tapi… dia merasa ada yang menariknya dari dalam sana.
---
Mereka masuk ke aula istana. Di sana, seorang perempuan berambut perak duduk di atas kursi bundar seperti kaca es. Wajahnya ditutupi kerudung transparan. Di belakangnya, ada empat cermin raksasa, masing-masing memantulkan masa lalu yang berbeda.
“Selamat datang, Astraem,” ucap perempuan itu dengan suara halus.
“Eh, kok tahu nama aku? Aku aja barusan sempat lupa namaku siapa.”
“Aku adalah Penjaga Ingatan,” jawabnya. “Setiap orang yang ingin menjadi dewa, harus kehilangan hal-hal yang paling manusiawi darinya: kenangan, rasa ingin tahu, bahkan cinta.”
Astraem mengerutkan dahi. “Terus aku harus ngapain di sini?”
Wanita itu bangkit. “Mengambil kembali kenanganmu. Tapi setiap kenangan harus dibayar dengan sesuatu yang lain. Setiap kebenaran akan menghapus satu harapan.”
> [Sistem: Quest dimulai – “Pecahkan 3 Cermin Masa Lalu”]
> [Hadiah: Fragmen Kenyataan]
“Cermin masa lalu ya...” gumam Astraem. “Jangan-jangan isinya… masa lalu yang aku lupakan?”
Chibi menatapnya dengan mata membulat. “Mungkin... termasuk tentang Shaila?”
---
Cermin Pertama: Kenangan Saat Dilahirkan
Saat Astraem menyentuh cermin pertama, dia langsung tersedot ke dalamnya.
Dia melihat dirinya—bayi mungil, dikelilingi cahaya emas, didekap oleh para dewa berjubah putih. Ada suara tawa, tangis bahagia, dan seorang dewa yang membisikkan sesuatu ke telinga bayi itu:
> “Kau bukan diciptakan… kau adalah bagian dari cahaya pertama. Suatu saat kau akan kembali…
Astraem terjengkang mundur keluar dari cermin, terengah-engah.
> [Sistem: Kenangan berhasil diambil.]
> [Kerugian: Kamu kehilangan rasa penasaran.]
“Loh?! Aku jadi… nggak pengen nanya-nanya lagi?” protes Astraem.
Chibi tertawa geli. “Yah... jadi kamu diem-diem aja sekarang dong?”
---
Cermin Kedua: Masa Pelatihan Dewa
Astraem menyentuh cermin kedua. Kini dia melihat dirinya yang remaja, belajar bersama puluhan calon dewa lain. Di tengah aula emas, dia adalah satu-satunya yang... berbeda. Tidak punya bakat. Tidak punya kecepatan. Tapi dia satu-satunya yang terus mencoba, walau selalu gagal.
Ada satu momen ketika seorang pelatih membentaknya, “Kenapa kamu nggak berhenti aja?!”
Dan Astraem muda menjawab, “Karena aku percaya... kegigihan bisa mengalahkan takdir.”
Saat dia keluar dari bayangan cermin itu, air matanya menetes tanpa sadar.
> [Sistem: Kenangan berhasil diambil.]
> [Kerugian: Kamu kehilangan rasa takut.]
“Wah… sekarang aku nggak bisa takut?” tanya Astraem sambil menampar pipinya sendiri.
Chibi tepuk jidat. “Gawat, habis ini kamu bisa jadi nekat.”
---
Cermin Ketiga: Gadis Bernama Shaila
Astraem menatap cermin ketiga… tapi cermin itu tidak memantulkan apa pun. Kosong. Gelap.
“Kenapa yang ini... kosong?” gumamnya.
Penjaga Ingatan menjawab lirih, “Karena ingatanmu tentang Shaila... belum selesai. Dia belum hilang sepenuhnya, tapi juga belum bisa kau ingat. Dia adalah pusat ujianmu. Kamu akan tahu saat waktunya tiba.”
Astraem mengepalkan tangan. “Kalau gitu, kenapa aku harus kehilangan sesuatu untuk dapatkan... ketiadaan?!”
“Karena itulah arti pengorbanan,” jawabnya.
> [Sistem: Cermin tidak dapat dibuka.]
> [Namun kamu menerima fragmen terakhir.]
> [Kekuatan diperbarui: “Bayangan Kedelapan – Detak yang Hilang”]
---
Setelah menyelesaikan cermin-cermin itu, Astraem diberi satu jalan keluar dari Istana Lupa Waktu: tangga spiral menuju langit. Tapi di tengah perjalanan, dia merasakan sesuatu… ada mata yang mengawasinya dari atas.
Dan saat itu juga—suara Dewa Tertinggi menggema untuk pertama kalinya sejak ia diturunkan.
> “Kau kehilangan banyak hal, Astraem.”
> “Tapi satu hal tetap ada padamu…”
> “Ketulusan.”
---
Astraem menghela napas di ujung tangga. Di hadapannya muncul platform baru, tempat baru, dan musuh baru.
> [Selamat datang di Lantai Kelima: “Hutan Para Bayangan”]
“Waduh, dari es ke hutan. Jangan-jangan abis ini aku disuruh buka laundry dewa sekalian.”
Chibi tertawa sambil melayang. “Yang penting jangan buka cuci steam.”
Astraem tertawa juga—meski hatinya masih digelayuti satu nama yang belum lengkap.
> Shaila.