Kesepakatan Bayangan

Gaerth berdiri di bibir jurang yang memisahkan Langit Kedua dari batas dunia bawah. Angin di tempat ini kering, membawa aroma besi, tanah gosong, dan sesuatu yang jauh lebih tua daripada waktu itu sendiri. Ia menatap ke bawah: kegelapan yang tak punya dasar, seakan menelan semua yang hidup.

Di belakangnya, empat sosok berjubah gelap berdiri dalam diam. Mereka adalah sisa-sisa dari Klan Bayangan, para pewaris ilmu terlarang yang pernah dimusnahkan oleh Ordo Cahaya berabad-abad lalu.

"Gaerth," kata salah satu dari mereka, suara seraknya terdengar seperti debu. "Kami telah mengamati gerak Astraem. Ia telah memasuki Makam Para Pendahulu."

Gaerth mengangguk. "Dan dia masih hidup, aku yakin."

"Lebih dari itu," tambah sosok kedua. "Dia sudah menghadapi Cermin Jiwa."

Hening. Lalu Gaerth tertawa kecil, sinis.

“Bagus,” katanya. “Jika dia berhasil keluar dari ujian itu, berarti dia akan segera menjadi ancaman nyata.”

Para bayangan diam. Mereka tahu apa yang Gaerth pikirkan: dunia tidak bisa dibiarkan kembali diatur oleh seorang ‘Pewaris Cahaya’. Mereka sudah terlalu lama hidup dalam kekalahan, bayang-bayang sejarah yang dicuci oleh para dewa.

“Siapkan altar. Malam ini kita akan memanggil Dia yang Terikat,” ujar Gaerth pelan.

Sosok-sosok berjubah itu langsung menghilang dalam kabut. Gaerth menatap lagi ke arah jurang, lalu berbisik:

> “Jika cahaya menghendaki pengorbanan, maka aku akan jadi murkanya kegelapan.”

---

Di sisi lain:

Astraem jatuh berlutut di depan Cermin Jiwa yang kini hancur berkeping-keping. Tubuhnya terluka berat, napasnya tersengal, tapi di tangannya… ia memegang Fragmen Kedua. Fragmen itu tampak seperti keping kristal emas dengan inti yang berdenyut seperti jantung hidup.

Eliyra berdiri diam di ujung ruangan, menatapnya dengan mata yang penuh duka.

“Kau menang,” katanya. “Tapi pertarungan melawan diri sendiri hanya permulaan.”

Astraem bangkit, meski lututnya masih goyah. “Aku tidak datang untuk jadi dewa. Aku datang karena aku tak mau dunia ini jatuh ke tangan orang seperti Gaerth.”

Eliyra memicingkan mata. “Kau tahu soal Gaerth?”

Astraem mengangguk. “Aku tahu dia ada di Langit Kedua juga. Dan dia tidak datang untuk fragmen… tapi untuk membakar semuanya.”

Wajah Eliyra berubah tegang. Ia menoleh ke arah dinding timur ruangan. “Kalau begitu, kau harus pergi. Segera. Gaerth sedang bersiap membangkitkan sesuatu yang seharusnya tak pernah dibangkitkan.”

“Siapa?”

“Dia yang Terikat.”

---

Malam itu.

Altar hitam berdiri di tengah reruntuhan kuil yang ditinggalkan para dewa. Gaerth berdiri di tengah-tengah lingkaran rune, di sekelilingnya lilin berapi ungu menyala aneh. Empat bayangan tua berlutut, mulut mereka komat-kamit mengucapkan mantra kuno.

Di tengah altar, tubuh seorang pemuda manusia diikat dengan rantai merah darah. Ia menggeliat, tapi tak bisa bersuara—mulutnya disegel dengan jimat hitam.

“Korban yang berasal dari dunia bawah. Murni. Tak tersentuh cahaya,” kata Gaerth. “Kesukaan Sang Terikat.”

Langit di atas mereka retak. Cahaya-cahaya ungu turun seperti petir namun tak bersuara. Lalu dari kegelapan jurang, muncul tangan raksasa berkulit arang, jari-jarinya meraih langit-langit langit kedua.

“Bangkitlah, Ratu Malam Kekal...”

Langit bergetar.

---

Di sisi lain, Astraem berlari di atas jembatan batu melintasi pulau-pulau Langit Kedua.

Fragmen Kedua yang ada di dalam tubuhnya kini menyatu dengan sistem, menguatkan kesadaran jiwanya, memperkuat senjata dan refleks.

> [Mode Integrasi: 25%]

> [Fragmen Kedua Aktif. Level Energi: Stabil. Jiwa Terlindungi.]

Tiba-tiba langit berubah menjadi ungu pekat. Udara mengalir naik, seolah Langit Kedua sedang tersedot oleh sesuatu yang besar.

Sistem memberi peringatan:

> [Distorsi dimensi terdeteksi. Entitas luar sistem mencoba menerobos ruang Langit Kedua.]

Astraem langsung berhenti. Ia menoleh ke belakang, dan dari jauh ia melihat cahaya hitam membubung ke angkasa. Sosok raksasa, samar tapi perlahan menjadi nyata. Mata berjumlah tujuh. Sayap dari tulang-tulang. Dan napasnya… membuat ruang itu merintih.

"Gaerth..." bisiknya. “Kau benar-benar gila.”

---

Di altar hitam.

Ratu Malam Kekal akhirnya bangkit sepenuhnya. Wujudnya seperti wanita dengan tubuh sebesar istana, berambut panjang seperti asap malam, dan mata yang memancarkan kebencian purba.

“Siapa yang membangkitkanku?” suaranya seperti ribuan jarum menusuk telinga.

“Aku,” jawab Gaerth sambil menunduk. “Pewaris gelap, putra dari Bayangan Ketujuh. Aku ingin satu hal darimu.”

“Apa itu, manusia kecil?”

“Berikan aku kekuatan untuk menghancurkan sistem ini. Dan aku akan beri dunia padamu.”

Sang Ratu tertawa. Tawa yang membuat altar runtuh. Salah satu pengikut Gaerth langsung tewas, tubuhnya hancur jadi abu.

“Tawaranmu… menarik. Tapi aku tak butuh dunia. Aku ingin langit—semuanya.”

Gaerth menggertakkan gigi. “Aku bisa bantu. Asal aku jadi penguasanya.”

Sang Ratu mendekatkan wajahnya pada Gaerth. “Kalau begitu, tunjukkan padaku... bahwa kau lebih dari sekadar pewaris frustrasi.”

Tiba-tiba, Gaerth menarik belatinya dan menikam jantungnya sendiri. Darahnya menyembur ke wajah sang Ratu.

“Ambil tubuhku. Gunakan aku. Tapi biarkan aku jadi matamu, tanganmu, mulutmu—biarkan aku jadi inkarnasi malammu.”

Sang Ratu memejamkan mata. Lalu mengangguk.

> “Mulai sekarang... kau adalah Bayanganku.”

---

Astraem tak sempat istirahat.

Langit terbelah. Jembatan batu runtuh satu per satu. Jiwa-jiwa yang belum tenang berteriak dari balik makam para pendahulu.

Sistem kini berbicara panik:

> [Kelas Ancaman: Level Satu. Entitas Terlarang Tertinggi telah Bangkit.]

> [Rute Pelarian Direkomendasikan.]

Tapi Astraem hanya menggenggam erat tombaknya. Di kejauhan, ia bisa melihat bayangan Gaerth yang perlahan menyatu dengan makhluk itu, berubah menjadi simbol kegelapan yang hidup.

“Kalau aku mundur sekarang, semuanya akan selesai.”

Ia menancapkan tombaknya ke tanah. Aura cahaya melonjak keluar dari tubuhnya, menahan distorsi di sekelilingnya.

> [Mode Pertempuran Awal: Fragmen Kedua diaktifkan 40%. Senjata Cahaya Siap.]

Astraem mengangkat kepalanya. “Kalau aku harus melawan iblis… maka aku akan jadi pedang yang tak bisa dibengkokkan.”