Langit Kedua bukanlah tempat yang menyambut siapapun dengan hangat. Begitu Astraem menapakkan kaki di permukaannya, dia langsung disambut dengan langit yang pucat, penuh awan kelabu dan suara petir yang menyambar di kejauhan.
Tanahnya berupa daratan terapung, seperti pulau-pulau besar yang melayang, dihubungkan oleh jembatan-jembatan batu yang tampak rapuh.
Sistem langsung memberikan notifikasi, meskipun suaranya agak terdengar patah-patah.
> [Selamat datang di Langit Kedua: Wilayah Ujian Jiwa. Waspadai Distorsi Energi.]
Astraem mengernyit. Ini pertama kalinya suara sistem terdengar tak stabil. Bahkan penunjuk arah di kompas langitnya berputar tak karuan, seperti kehilangan orientasi.
"Ada yang aneh di sini," gumamnya pelan. “Seolah tempat ini tak sepenuhnya disetujui oleh sistem.”
Langkah kakinya membawanya ke sebuah gerbang batu besar, dihiasi ukiran wajah-wajah manusia yang tampak menderita. Di atas gerbang itu tertera ukiran kuno yang sulit dibaca, namun perlahan satu kata muncul di sistem bantu terjemahannya:
MAKAM PARA PENDAHULU.
Astraem berdiri terpaku di depan pintu itu. Ia tahu dari pengetahuan dasarnya bahwa setiap Langit menyimpan satu fragmen Inti Dewa. Namun tempat ini… bukan sembarang lokasi.
Sistem kembali berbicara—suara yang kali ini lebih mirip bisikan rusak.
> [Fragmen Kedua terdeteksi... Lokasi: Ruang Segel Pewaris Lama. Peringatan: Jiwa-jiwa dalam makam ini telah terputus dari sistem.]
“Putus dari sistem?” ulang Astraem pelan. “Mereka... mantan pewaris?”
Ia menginjak pelan lantai batu dan masuk ke dalam. Ruang di balik gerbang terasa dingin dan berat. Angin yang berembus seolah membawa bisikan-bisikan tua—jeritan jiwa yang dulu pernah menapaki jalan seperti dirinya, tapi gagal.
Dinding-dinding di sepanjang lorong menampilkan ukiran fragmen sejarah: gambaran para pewaris terdahulu, mereka yang pernah memegang harapan dunia… dan kemudian, menghancurkannya.
Astraem menyentuh salah satu batu, dan tiba-tiba pandangannya tertarik ke dalam: sebuah Memory Stone aktif dan memperlihatkan kilasan masa lalu.
Seorang pemuda berjubah putih sedang berlutut di depan para dewa cahaya.
> “Aku tak akan membunuh adikku, meski kalian memintanya sebagai syarat menjadi dewa!”
Teriakannya bergema, sebelum tubuhnya hancur dilumat cahaya. Astraem mundur, napasnya tercekat.
“Jadi… sistem memaksa pewaris… untuk melakukan hal seperti itu?”
Sistem tak menjawab. Bahkan suara notifikasi pun menghilang seolah lumpuh di tempat ini. Tapi satu hal pasti: tempat ini bukan sekadar makam. Ini adalah kuburan harapan.
Tiba-tiba, hawa di sekelilingnya berubah. Kabut hitam merambat dari sudut ruangan, dan satu suara terdengar—lembut, namun menusuk hati.
"Kenapa kau datang ke sini, Astraem?"
Astraem memutar tubuhnya. Di hadapannya berdiri sosok wanita muda berambut putih dan mata kelabu. Wajahnya teduh, tapi tatapannya hampa.
“Aku Eliyra. Salah satu pewaris pertama.” Dia menunduk. “Dan mungkin… satu dari sekian banyak yang dikhianati oleh sistem yang kau percayai itu.”
Astraem menelan ludah. “Aku... hanya ingin fragmen kedua. Aku tak ingin melawan kalian.”
Eliyra melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kami tak bisa menyerahkannya begitu saja. Tapi aku bisa memberimu kesempatan. Di balik ruang ini, ada Cermin Jiwa. Jika kau bisa mengalahkan apa yang kau lihat di sana... maka fragmen itu milikmu.”
Ia menoleh, menatap jauh ke arah lorong yang kini terbuka perlahan.
> “Tapi ingat, Astraem. Apa yang kau lawan bukanlah kami. Tapi dirimu sendiri.”
Astraem mengangguk. Langkahnya mantap meski tubuhnya sedikit gemetar. Lorong itu mengantarnya ke sebuah ruangan melingkar, dindingnya terbuat dari kaca gelap berkilau. Di tengah ruangan, berdiri cermin raksasa setinggi dua kali tubuh manusia.
Ia berdiri di depan cermin itu… dan tiba-tiba, pantulannya berubah.
Yang muncul bukan dirinya. Tapi versi dirinya yang lain—matanya merah darah, tubuhnya berbalut aura hitam, senyum licik di wajahnya.
“Aku adalah kau yang kau sembunyikan,” katanya. “Aku adalah kemarahan, ketakutan, dan dendammu yang kau pendam.”
Astraem mencabut senjatanya. “Kalau harus kulawan diriku sendiri untuk maju… maka mari kita selesaikan ini sekarang.”
Suara cermin retak. Dan pertarungan jiwa pun dimulai.