Langkah Astraem berat. Tangannya menggenggam gagang pedang begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Di hadapannya berdiri seorang wanita berwajah lembut, matanya hangat, senyumnya hangat — persis seperti ibunya.
Namun, sistem sudah memperingatkan: ini bukan ibunya. Ini hanyalah manifestasi kenangan... musuh yang harus dia kalahkan untuk naik ke tahap selanjutnya.
> “Astraem,” suara wanita itu lembut, “kau masih ingat saat kau jatuh sakit dan aku memelukmu sampai pagi?”
Tubuh Astraem bergetar.
> “Ingat waktu kita hanya makan bubur asin selama seminggu, tapi kita tetap tertawa bersama?”
> “Atau... saat aku menggendongmu keluar dari reruntuhan kota dan bilang ‘Kita akan selamat, Nak...’ meski aku berdarah-darah?”
Astraem menggertakkan gigi.
“BERHENTI!”
Tangannya bergetar. Air mata mulai tergenang di pelupuknya.
“Aku tahu ini bukan Ibu... Ibu sudah lama mati. Aku tahu itu... Tapi kenapa rasanya seperti nyata?!”
Sistem tidak memberi jawaban.
Wanita itu tersenyum. Perlahan, dia mengangkat tangannya. Sebuah pedang bercahaya muncul di genggamannya.
[Lv. 30] Manifestasi Kenangan Astraem: Ibu
Astraem melangkah mundur. “Kau... bahkan pakai senjata?”
Wanita itu menatapnya lembut. “Kau harus melupakanku, Astraem. Untuk bisa menjadi Dewa... kau harus kuat. Dan kekuatan tidak tumbuh dari keterikatan.”
Suara itu... menusuk hatinya.
> “Kalau kau masih menggenggam kenangan ini, kau akan ragu saat harus membunuh. Dunia para Dewa tidak punya ruang untuk ragu.”
Astraem menunduk. “Aku gak mau melupakan Ibu... Tapi kalau ini harga yang harus kubayar...”
Ia menarik napas dalam, mengangkat pedangnya, dan bersiap.
[Pertarungan Dimulai]
Wanita itu menyerang pertama. Gerakannya cepat, hampir mustahil ditangkap mata biasa. Tapi Astraem mengaktifkan [Skill: Instinct Overclock] — segalanya melambat.
Ia menangkis serangan pertama, berguling ke samping, lalu melompat dan menyerang balik.
− 215 HP!
Tapi wanita itu hanya mengerang pelan, lalu membalas dengan pukulan keras di dadanya.
− 450 HP! Staggered!
Astraem terdorong, jatuh terguling di tanah. Nafasnya sesak. Tapi ia tidak boleh berhenti.
“Aku harus kuat... Bukan buat aku sendiri... tapi buat semua yang sudah mati supaya aku bisa hidup!”
Ia berteriak, lalu mengaktifkan [Skill: Vow of Flame].
Tubuhnya diselimuti cahaya merah keemasan. Aura kebangkitan meledak dari tubuhnya. Pedangnya kini menyala, menandakan [Holy-Element Enhanced].
“AKU TIDAK AKAN MATI DI SINI!”
Ia menyerang — beruntun, cepat, penuh tekanan.
− 300 HP!
− 420 HP! Critical!
− 515 HP!
Wanita itu mundur, namun tersenyum.
> “Astraem... ingat pelukan Ibu? Walau kau bunuh aku... pelukan itu akan selalu hidup di hatimu...”
Dan ia mengangkat pedangnya tinggi.
> “Selamat tinggal, Nak.”
Cahaya putih menyelimuti tubuh wanita itu.
Tapi Astraem tidak menyerang. Ia hanya menutup matanya, dan berbisik:
> “Terima kasih... Ibu.”
Seketika, tubuh wanita itu berpendar menjadi cahaya dan hancur perlahan.
[Misi Selesai: Bunuh Kenanganmu Sendiri]
Exp +5.000
Skill Baru Didapat: Heartless Will
> "Sebuah tekad yang membakar emosi demi kemajuan. Selama skill ini aktif, efek emosi negatif akan diblokir."
Astraem terduduk lemas. Tubuhnya masih gemetar. Air mata jatuh, namun tidak ada isakan. Hatinya... kosong. Tapi juga kuat.
Tiba-tiba, lantai benteng bergetar.
GRRRRUUUMMMBBB
Sebuah pintu batu terbuka di ujung lorong. Cahaya biru menyala dari dalamnya.
“Selamat, Pewaris,” suara sistem menggema. “Kau telah membuka Ruang Warisan Dewa.”
Astraem berdiri. Tubuhnya masih lemah, tapi langkahnya tegas. Ia melangkah masuk ke ruangan itu.
Di dalam, ia melihat sebuah kolam air biru. Di tengah kolam, ada pedestal batu dengan benda yang bersinar di atasnya — Sebuah Inti Kristal Berwarna Emas.
[Item Didapat: Inti Dewa — Fragment Pertama]
> “Tiga fragmen akan menyempurnakan tubuhmu menjadi wadah Dewa. Kau baru mendapatkan satu.”
Astraem mengangguk.
“Berarti ini... baru permulaan.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki menggema di belakangnya. Ia berbalik cepat, pedang siap ditebaskan.
Tapi yang muncul adalah...
> “Kau... Astraem, kan?”
Seorang pemuda dengan rambut putih dan mata tajam. Di dadanya tersemat lambang sistem — tapi warnanya hitam, bukan biru seperti milik Astraem.
[Pewaris Kegelapan: Gaerth]
“Senang akhirnya ketemu, Pewaris Cahaya,” ucapnya. “Kau mungkin baru naik satu tahap... Tapi aku sudah hampir jadi Dewa penuh.”
Astraem menyipitkan mata. “Apa maumu?”
Gaerth tersenyum, namun senyumnya dingin. “Mengajakmu... untuk berhenti.”
Astraem tertawa kecil. “Gue baru mulai, bro.”
Gaerth menghela napas.
> “Sayang sekali. Kalau begitu... sampai jumpa di puncak langit. Tapi jangan terlalu lama, ya. Dunia ini nggak akan nunggu yang lemah.”
Pemuda itu menghilang dalam pusaran bayangan.
Astraem menatap pedestal di depannya.
> “Aku lemah sekarang... Tapi gue belajar satu hal: Rasa sakit bukan akhir. Justru itu tanda, kalau aku masih hidup... dan masih bisa melangkah.”
Langit di atas benteng terbuka. Cahaya keemasan menembus awan, menyinari tubuhnya.
Langkah berikutnya telah menanti.