Menuju Menara Langit: Tiket Masuk Cuma Punya yang Pernah Kentut Ilahi

Langit pagi masih keunguan ketika Astraem dan Lynara menapaki jalan setapak di Lembah Belalang Bisu. Tempat ini sunyi seperti perpustakaan tanpa pustakawan—hanya ada angin, kabut, dan batu-batu runcing yang anehnya… berbau jeruk.

“Aku masih gak percaya,” kata Astraem, sambil menatap peta tua yang dipegang Lynara, “kalau Menara Langit itu nyata. Apalagi bagian ‘bisa bicara langsung sama Dewa Tertinggi’… kayak call center, gitu?”

Lynara tersenyum. “Kurang lebih. Tapi bukan siapa saja bisa masuk. Menara Langit hanya terbuka untuk mereka yang punya ‘jejak ilahi’.”

Astraem memutar bola mata. “Jangan bilang maksudmu... kentut surgawi itu?”

“Justru itu!” jawab Lynara semangat. “Energi yang kau keluarkan saat mengusir Gorath itu adalah sisa pressurized divinity—energi dewa yang disalurkan lewat tubuh fana. Hanya orang terpilih yang bisa menanggung rasa malunya dan tetap hidup.”

Astraem menutup muka pakai tangan. “Dunia ini makin lama makin absurd…”

Mereka terus berjalan. Tapi seperti biasa, ketenangan tak pernah abadi.

Tiba-tiba, kabut menebal. Dari balik batu-batu aneh muncul makhluk berjubah hitam, matanya berwarna merah menyala, dan tubuhnya seperti asap yang dipadatkan. Di tangan mereka tergenggam tongkat berujung tengkorak.

> [Notifikasi Sistem]

Musuh Ditemukan: Penjaga Kabut – “Penolak Pendaki Harapan”

Level: 55

Jumlah: 6

Tipe: Mistis & Anti-Ketawa

Salah satu dari mereka maju. Suaranya berat dan berlapis gema. “Tidak ada yang boleh melewati Lembah Belalang Bisu tanpa menunjukkan Tanda Jejak Ilahi.”

Astraem berbisik ke Lynara, “Gue gak bawa surat sakti. Dan gak ada foto kentut waktu itu.”

Lynara tampak panik. “Biasanya kita cuma perlu menunjukkan sisa aura… tapi aura ilahimu mungkin udah mulai memudar.”

“Terus solusinya?” tanya Astraem, suara makin tinggi karena satu penjaga mulai mendekat.

Tiba-tiba suara sistem muncul:

> [Skill Passif Aktif]

Residual Divinity: Jejak Kejadian Aneh Masih Tersisa di Celana Bagian Belakang.

Efek: Menyebarkan aroma sakral dalam radius 3 meter.

Semua penjaga kabut berhenti. Mereka mencium udara. Wajah mereka berubah pucat—sekalipun kabut.

Yang paling besar langsung bersimpuh. “Dia… dia adalah Yang Pernah Menggetarkan Langit…! Maafkan kami, Tuan Kentut Suci!”

Astraem membeku. “Oke. Itu panggilan paling tidak heroik yang pernah kuterima…”

Lynara menahan tawa sambil menarik tangan Astraem. “Ayo, sebelum mereka minta tanda tangan atau… sujud minta petuah.”

Mereka melesat keluar dari kabut. Di ujung lembah, pemandangan luar biasa menanti: sebuah menara menjulang ke langit, begitu tinggi hingga ujungnya tak terlihat.

Dinding menara bukan dari batu, tapi semacam logam bercahaya yang berubah warna mengikuti gerakan awan.

“Menara Langit…” bisik Lynara. “Kita benar-benar sampai.”

> [Notifikasi Sistem]

Lokasi Baru Ditemukan: Menara Langit

Level Rekomendasi: 65+

Resiko: Sangat Tidak Waras

Astraem menelan ludah. “Aku baru level 54… dan itu setelah makan 6 ayam goreng dan 2 potion rasa stroberi semalam.”

Pintu besar menara perlahan terbuka sendiri. Dari dalam terdengar nyanyian samar dalam bahasa yang tak dikenal, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk berdiri. Semacam paduan suara bidadari yang disetel kecepatan 0.5x.

Di depan pintu berdiri seorang penjaga berjubah putih keperakan. Wajahnya mulus tanpa mata, hidung, atau mulut—hanya datar. Tapi suaranya terdengar langsung di kepala.

> “Siapakah yang membawa sisa jejak dari Langit?”

Astraem maju selangkah, jantungnya berdebar. “Saya… Astraem. Yang… eh, yang pernah menggunakan Jurus Dewa Kentut.”

Hening.

Lalu, tiba-tiba… Penjaga itu tertawa. Tapi tidak dengan mulut—kepalanya bergetar, dan suara tawa bergema di seluruh lembah.

> “Sudah seribu tahun… sejak pengguna teknik itu terakhir muncul. Kau memang dipanggil untuk naik.”

Astraem menoleh ke Lynara. “Tunggu, serius? Teknik itu legendaris?”

Lynara mengangguk. “Bahkan tertulis dalam Kitab Rahasia Dewa sebagai ‘Satu dari Tujuh Teknik yang Tidak Pernah Ingin Diingat’.”

Astraem menghembuskan nafas. “Aku masuk sejarah… untuk alasan paling aneh.”

Mereka berdua melangkah masuk ke dalam menara. Begitu masuk, gravitasi langsung berubah. Kaki mereka tidak menyentuh tanah, tapi melayang pelan seperti balon gas.

> [Notifikasi Sistem]

Fase Baru Dimulai: Ujian Cahaya

Tujuan: Capai Ruang Tengah Menara

Rintangan: Tiga Ujian Kebenaran

Ujian pertama: Cermin Jiwa.

Sebuah ruangan terbuka. Di tengahnya ada cermin raksasa, setinggi tiga lantai. Saat Astraem menatap ke dalamnya, dia tidak melihat dirinya—tapi sosok dirinya saat kecil, berumur 6 tahun, duduk di sudut gang, tubuh kurus, kotor, memeluk bungkusan nasi sisa.

“Kenapa kau masih takut?” tanya suara anak kecil dari dalam cermin. “Kau udah sejauh ini, tapi wajahmu masih kayak bocah yang takut ditinggal.”

Astraem terdiam. Kenangan itu bukan mainan. Itu luka.

Lynara memegang pundaknya. “Kau gak sendiri sekarang.”

Astraem mengepalkan tangan. “Aku tidak akan lari. Aku cuma… kadang lupa seberapa jauh aku sudah berjalan.”

Cermin bergetar. Gambar anak itu tersenyum, lalu memudar. Ruangan berganti warna keemasan.

> Ujian Pertama Lolos.

Ujian kedua: Pertarungan Tanpa Musuh.

Tiba-tiba Astraem berdiri sendirian di arena kosong. Tak ada musuh. Tapi notifikasi berbunyi:

> Musuh Terkuat Telah Muncul: Dirimu Sendiri

Tiba-tiba, salinan Astraem muncul. Tapi dia bukan Astraem biasa—dia adalah versi yang tidak pernah takut, tidak pernah ragu, dan sempurna.

“Cuma satu yang bisa keluar dari sini,” kata Salinan Astraem. “Yang lemah atau yang sejati.”

Pertarungan pun dimulai. Aksi demi aksi, serangan dan siasat, sampai akhirnya Astraem yang asli terjatuh, tertatih.

Namun dia bangkit, senyum di wajahnya.

“Aku tidak sempurna, dan aku gak mau jadi sempurna. Justru semua kegagalan itu yang bikin aku kuat.”

Salinan itu berhenti. Wajahnya berubah lembut. Lalu menghilang seperti kabut.

> Ujian Kedua Lolos.

Ujian ketiga: Menjawab Pertanyaan Dewa.

Sebuah suara muncul dari langit menara.

> “Jika kamu bisa bicara langsung padaku, apa yang akan kamu tanyakan?”

Astraem berpikir. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata:

“Aku cuma ingin tahu… kenapa aku? Dari semua orang yang bisa jadi pahlawan, kenapa aku yang absurd ini?”

Jawaban tidak datang dalam kata-kata. Tapi sinar lembut turun dari langit, menghangatkan dadanya. Dan suara itu hanya berkata:

> “Karena hanya yang berani tertawa dalam luka, bisa membawa cahaya di kegelapan.”

Pintu di depan terbuka. Lynara sudah menunggunya.

“Kau lolos ketiga ujian,” katanya. “Astraem… kau satu-satunya yang sampai sejauh ini sejak abad lalu.”

Astraem menarik nafas dalam. Di depan mereka, tangga menuju ruang komunikasi Ilahi sudah tampak.

Dan saat mereka mulai naik, dunia di luar menara mulai berubah—awan berkumpul, gunung gemetar, dan kekuatan besar mulai bangkit.

Pertanda bahwa perjalanan Astraem baru saja dimulai…