Angin malam membelai wajah Astraem seperti tangan nenek-nenek pemijat yang kelewat semangat. Udara menusuk-nusuk tulangnya, padahal jubah yang ia kenakan sudah dilapisi empat lapis bulu monster dingin dari utara.
Tapi tetap saja dingin ini bukan dingin biasa. Ini dingin yang… meragukan. Dingin yang terasa seperti ada sesuatu yang memperhatikannya dari balik kabut.
"Ya Dewa, aku sendiri ya? Nggak ada NPC penyambut gitu?" gumamnya sambil melirik sekitar. Tanah becek, jalan setapak ditumbuhi lumut, dan satu-satunya tanda kehidupan adalah papan kayu tua bertuliskan: Selamat Datang di Lusmera. Jangan Harap Keluar.
"Ah… romantis sekali sambutannya," kata Astraem, tersenyum kecut.
Lusmera tak seperti desa pada umumnya. Tidak ada lampu, tidak ada suara jangkrik, dan anehnya, bahkan bintang pun enggan bersinar di atasnya.
Langit di atas Lusmera seperti ditutupi selimut hitam pekat, tanpa lubang, tanpa cahaya rembulan. Hanya kabut.
Astraem melangkah pelan, menembus jalan yang ditumbuhi ilalang setinggi pinggang. Dia mendengar suara bisikan samar, seperti sekelompok orang yang sedang berdiskusi... atau menggosip.
“Siapa dia? Apa dia bisa keluar hidup-hidup?”
“Jangan ganggu dulu… kita lihat seberapa kuat dia...”
Suara-suara itu datang entah dari mana, dan setiap kali ia menoleh, hanya ada kabut. Tapi entah kenapa, Astraem merasa seperti… mereka tersenyum.
---
Bayangan Pertama
Langkah Astraem terhenti di depan sebuah rumah tua yang setengah runtuh. Di depannya duduk seorang nenek-nenek tanpa mata. Bukan dalam arti buta—tapi memang tidak punya bola mata. Hanya kelopak yang cekung, seperti mangkuk kosong.
"Selamat datang, Astraem," katanya tenang.
Astraem sedikit kaget. “Ehh… Nenek kenal saya? Dari mana? Fans club?”
“Aku penjaga pintu pertama Lusmera. Aku tahu siapa kamu. Bahkan sejak kamu belum dilahirkan di dunia fana ini.”
“Waduh, spoiler kehidupan,” kata Astraem sambil duduk di batu dekatnya. “Jadi saya ngapain nih, Nek? Ujian lagi?”
Sang nenek tersenyum samar. “Kamu akan melihat bayangan dari masa depanmu. Tapi… bukan untuk dipelajari. Melainkan untuk dipertanyakan.”
Seketika, kabut di depan mereka membentuk cermin besar dari asap. Dan di sana, Astraem melihat… dirinya sendiri. Tapi versi yang berbeda.
Dalam bayangan itu, ia duduk di atas singgasana, wajahnya dingin, tak tersenyum, mata menyala biru terang. Di sekitarnya, dunia hancur. Langit merah, tanah retak, dan suara jeritan dari segala penjuru.
“Eh, itu saya?” kata Astraem, melotot.
“Itu kamu… kalau kamu gagal memahami siapa dirimu sebenarnya.”
“Serem amat! Tapi kayaknya ganteng juga ya…”
---
Tawa Dalam Kegelapan
Setelah bayangan itu menghilang, Astraem mulai berjalan lebih dalam ke desa. Setiap rumah tampak kosong, tapi ia tahu ada yang mengintai. Kadang dari balik tirai, kadang dari dalam sumur.
Tiba-tiba, sebuah tawa terdengar—cepat dan menyeramkan.
“HUEHEHEHEHE!! ASTRAEM! SUDAH SIAP KALAH?”
Astraem reflek menoleh ke kiri, lalu ke kanan. “Eh, siapa? Hantu stand up comedy?!”
Dari balik kabut muncul sosok tinggi besar bertanduk tiga. Tubuhnya gelap, tapi matanya putih menyala. Tangannya menggenggam tongkat tulang.
“Aku Morthaz, Bayangan Kedua. Aku mewakili bagian dirimu yang pengecut. Yang ingin kabur. Yang ingin menyerah.”
Astraem nyengir. “Wah, kenalan dong. Tapi maaf, bagian pengecut dari saya biasanya cuma muncul pas liat cicilan.”
“Berani kau bercanda?!” geram Morthaz, lalu mengayunkan tongkatnya.
Dunia tiba-tiba runtuh. Tanah di bawah kaki Astraem terbuka, dan dia terjatuh ke dalam lubang hitam.
---
Ujian Dalam Kegelapan
Astraem terbangun di dalam ruangan gelap, berdiri di atas papan tipis di tengah jurang tak berdasar. Suara Morthaz bergema:
“Jika kamu jatuh, kamu tidak akan mati. Tapi kamu akan terjebak dalam kekosongan selamanya, menjadi roh yang terlupakan.”
Astraem bergumam, “Ish… serem amat kayak perasaan pas ditinggal waktu sayang-sayangnya.”
Ia melihat ke sekeliling. Lima papan lain menggantung di udara. Di masing-masing papan, berdiri seseorang yang menyerupai dirinya—tapi semua berbeda.
Satu tampak sedih.
Satu tampak marah.
Satu tampak ceria.
Satu tampak ketakutan.
Dan satu tampak… kosong.
“Apa ini?” tanya Astraem.
“Kamu harus memilih satu dari dirimu yang paling jujur,” jawab suara Morthaz.
Astraem menatap kelima versi dirinya. Ia menatap wajah masing-masing. Dan akhirnya, ia melangkah ke papan si Astraem yang ketakutan. Begitu menginjaknya, dunia di sekeliling berubah menjadi cahaya.
---
Penerimaan Diri
Astraem kini duduk di tengah padang rumput hijau. Cahaya hangat memandikan tubuhnya. Sosok Morthaz berdiri di depannya, tidak lagi menyeramkan. Kini ia tampak seperti pria biasa, mengenakan jubah putih.
“Kamu tidak membunuh bayanganmu. Kamu memilih untuk menerima bagian dirimu yang takut,” kata Morthaz dengan senyum damai.
Astraem mengangguk. “Ketakutan itu nyata. Tapi itu bukan musuh. Itu bagian dari perjalanan.”
Morthaz menunduk. “Kau lulus, Astraem. Lanjutkan ke ujian berikutnya… dan temukan apa artinya menjadi dewa yang terakhir.”
---
Astraem bangkit, berjalan keluar dari padang itu. Di ujung horizon, ia melihat sebuah bangunan megah yang terbuat dari kristal biru—tempat relik keempat disimpan.
Tapi yang membuat bulu kuduknya merinding, adalah tulisan besar di depan bangunan itu:
“Hanya Yang Pernah Menghancurkan Dunia yang Boleh Masuk.”
“Wah, ini kode keras nih…” gumam Astraem sambil melangkah. “Semoga cuma metafora…”
Dan dengan begitu, perjalanan menuju ujian selanjutnya pun dimulai—dengan langkah ringan, senyum kecut, dan hati yang makin kuat.