Relik Keempat: Kristal Pengakuan

Langkah kaki Astraem bergema saat ia melintasi jembatan menuju bangunan kristal biru yang berdiri di tengah jurang cahaya. Setiap jengkal dindingnya berpendar halus, seperti menyesuaikan getaran hati siapa pun yang mendekat.

“Cuma yang pernah menghancurkan dunia yang boleh masuk, ya?” gumamnya, menatap tulisan di gerbang besar kristal itu. “Lah gue belum pernah. Dunia maya pernah sih error gara-gara gue masukin script bug. Itu masuk kategori?”

Gerbang terbuka perlahan, seolah mendengarnya bercanda. Tapi yang membuat Astraem berhenti bukanlah suara pintu kristal bergeser—melainkan sosok yang berdiri di baliknya.

Seseorang yang persis seperti dirinya.

Tapi… matanya hitam pekat. Tidak ada sorot. Tidak ada jiwa.

“Selamat datang, Astraem,” kata sosok itu. “Aku adalah Kau yang lain. Astraem yang menyerah. Yang memilih menghancurkan dunia daripada menyelamatkannya.”

---

Pertarungan Refleksi

Ruangan di dalam berisi aula melingkar. Tak ada langit, tak ada lantai—semuanya seperti berada di ruang hampa, tapi kakinya masih bisa berpijak.

Di tengah aula itu, mengambang Relik Keempat: sebuah kristal berbentuk tetes air, bersinar biru lembut, namun kadang memantulkan warna merah menyala.

“Kenapa semua relik ini kayak punya mood swing?” gumam Astraem.

“Karena ia mencerminkan hatimu,” jawab Astraem Bayangan. “Relik ini bukan hanya tentang ujian tapi pengakuan. Kau akan masuk ke dalamnya, dan melihat kemungkinan hidup yang tidak pernah kau ambil. Kau akan melihat dirimu jika... kau memilih jalan lain.”

“Kayak episode spesial anime, ya,” bisik Astraem.

Dan sebelum ia sempat bercanda lagi, tubuhnya disedot masuk ke dalam kristal. Semua berubah gelap.

---

Kemungkinan yang Tertinggal

Cahaya menyala perlahan. Astraem membuka mata dan mendapati dirinya… di sebuah dunia yang hancur. Kota terbakar, langit pecah menjadi fragmen kaca, dan suara manusia berubah menjadi dengungan makhluk-makhluk asing.

“Apa ini...?”

“Ini dunia yang kau hancurkan,” kata suara di belakangnya.

Astraem menoleh. Sosok itu masih dirinya—tapi lebih tua. Wajahnya keras, kulitnya dipenuhi bekas luka. Tapi sorot matanya… kosong. Dunia ini dipimpin olehnya.

“Kau jadi penguasa dunia, tapi menghapus semua dewa lain. Kau memaksakan kehendakmu, karena kau tidak percaya siapa pun bisa lebih bijak darimu.”

Astraem diam. Untuk pertama kalinya, ia tak menyahut. Tak ada lelucon. Tak ada sindiran. Ia hanya… terpaku.

“Aku... begitu egois?” bisiknya.

“Dalam kemungkinan ini, ya. Kau menjadi dewa pertama sekaligus terakhir. Tapi dunia membayar harganya.”

---

Dialog dengan Diri Sendiri

Astraem berjalan menyusuri reruntuhan istana kristal. Ia melihat patung dirinya menjulang tinggi, tapi rusak, dengan mata dicungkil.

Anak-anak menangis di jalan, makhluk-makhluk setengah manusia bersembunyi di reruntuhan, menghindari cahaya.

Astraem tua duduk di tahta yang retak.

“Kenapa kamu tunjukkan ini?” tanya Astraem muda.

“Karena kamu masih bisa memilih,” jawab yang tua. “Masih bisa mempercayai bahwa menjadi dewa bukan tentang menguasai... tapi mendampingi.”

“Dan kalau aku gagal?”

Sang tua menatapnya, lama. “Maka kamu akan jadi aku. Sendiri. Kekal. Dan lupa bagaimana rasanya tertawa.”

Astraem menggenggam tangan kirinya. Di dadanya, relik pertama bergetar. Yang kedua ikut menyala. Yang ketiga mulai memanas. Ia tahu... semua ini bukan ujian biasa. Ini semacam penyatuan diri.

---

Keluar dari Kemungkinan

Tiba-tiba, langit pecah seperti kaca. Dunia mulai runtuh. Versi tua dari dirinya berdiri dan memberi kristal kecil pada Astraem.

“Bawa ini. Ini pengakuan. Kau telah melihat... dan memilih untuk tidak menjadi aku. Itu cukup.”

Astraem menggenggam kristal itu dan seketika tubuhnya kembali disedot keluar dari dimensi bayangan.

Ia terbangun kembali di aula utama bangunan kristal biru.

Di hadapannya, Relik Keempat kini tidak hanya bersinar biru, tapi juga merah muda—simbol perpaduan antara penerimaan dan penyesalan.

Astraem menghela napas. “Relik keempat: check.”

Tapi belum sempat ia melangkah keluar, seseorang menunggu di ambang pintu.

Seorang gadis. Rambut perak. Mata ungu. Dan membawa senjata aneh berbentuk jam pasir bercahaya.

---

Pertemuan dengan Waktu

"Astraem," katanya lembut.

"Kamu siapa?" tanya Astraem, langsung siaga.

"Aku—bukan musuhmu. Namaku Syaira. Duta dari Penjaga Waktu."

Astraem mengangkat alis. “Penjaga Waktu? Maksudnya, departemen kronologis para dewa?”

Syaira tertawa kecil. “Kira-kira begitu. Tapi aku ke sini bukan untuk menegurmu… tapi memperingatkan. Ada sesuatu yang berubah. Garis waktu yang tadinya tertutup... kini terbuka.”

Astraem melangkah mendekat. “Maksudmu... sesuatu dari masa depan bisa masuk ke sekarang?”

“Bukan hanya bisa. Sudah. Dan ia bukan dari dunia ini.”

Astraem mencelos. “Makhluk antar-realitas?”

“Bukan. Makhluk dari... dunia yang hancur dari versi masa depanmu yang barusan kamu lihat.”

---

Bayangan yang Melarikan Diri

Syaira menjelaskan bahwa saat Astraem keluar dari dimensi kemungkinan tadi, sesuatu dari dunia itu ikut keluar. Bukan sosok tua yang menyerah, tapi entitas yang lahir dari kehampaan—makhluk bernama Null-Astraem.

“Dia bukan dirimu. Tapi dia adalah kekosongan yang kau tinggalkan di jalur kemungkinan itu. Dan sekarang... dia hidup.”

Astraem mengernyit. “Jadi ada aku... yang bukan aku... tapi hasil dari kemungkinan gagal aku... yang sekarang eksis di realitas ini? Wah, meta banget.”

“Dan dia sedang menuju tempat Relik Kelima.”

Astraem mendesah panjang. “Aduh… belum selesai istirahat, udah ada side quest baru.”

“Ini bukan side quest, Astraem,” ujar Syaira serius. “Kalau dia lebih dulu menyentuh Relik Kelima, dunia ini akan mengulang takdir dunia hancur tadi. Dan saat itu terjadi, kamu tidak akan bisa menghentikannya.”

---

Menuju Relik Kelima

Syaira membuka portal bundar berkilau. Di dalamnya tampak hamparan gurun luas, dengan sebuah kuil yang menjulang di tengahnya—Kuil Relik Kelima.

Astraem menarik napas panjang.

"Kayaknya relik kelima ini bakal beda dari yang lain ya."

“Karena ini bukan hanya soal ujian... tapi soal penentu. Apakah kamu benar-benar pantas untuk melangkah ke level selanjutnya.”

Astraem menoleh. “Syaira… kamu ikut?”

Syaira tersenyum. “Aku pengamat. Tapi jika kau terluka parah, aku akan mengintervensi. Tapi ingat, itu artinya kamu gagal.”

Astraem mengangguk. "Baiklah. Saatnya kita ke padang pasir nostalgia."

Ia melangkah ke dalam portal, dan saat tubuhnya diselimuti cahaya, ia tahu—Relik Kelima bukan hanya tentang dirinya. Tapi juga tentang apa yang ingin ia lindungi.

Dan semakin dekat ke ujung, Astraem mulai memahami satu hal:

Menjadi dewa bukan tentang kekuatan, tapi tentang memilih siapa yang tidak ingin kau kecewakan.