Gurun Tanpa Bayangan

Udara panas menyambut Astraem saat kakinya menginjak pasir. Langit oranye menyala, seperti senja yang tak pernah selesai. Tak ada awan. Tak ada angin. Tapi gurun ini hidup.

Ia menoleh. Di belakang, portal yang ia lewati tadi langsung menghilang.

"Selamat datang di Gurun Tanpa Bayangan," suara Syaira terdengar di komunikator kristal kecil yang menempel di telinganya. "Tempat di mana cahaya tidak pernah punya sumber, dan waktu... berjalan sesukanya."

Astraem memicingkan mata. “Itu artinya gue bisa tua mendadak di sini?”

"Lebih parah," jawab Syaira. "Kalau kamu terjebak ilusi, kamu bisa hidup seribu tahun... dalam lima menit."

Astraem menggigil. Relik Kelima pasti disembunyikan di tempat paling brutal dari semua relik. Tapi yang membuatnya lebih khawatir bukanlah tempat ini...

Melainkan siapa yang lebih dulu masuk.

---

Bayangan yang Meninggalkan Jejak

Langkah Astraem cepat. Sepatu bootnya meresap dalam-dalam ke pasir, tapi ia terus maju. Di kejauhan, terlihat struktur kuil yang terbuat dari batu hitam—berbeda dari kuil relik sebelumnya yang megah. Kuil ini seperti... terluka.

Namun sebelum ia mendekat, tanah di depannya tiba-tiba meledak. Pasir beterbangan. Asap hitam mengepul.

Sosok berjubah gelap muncul dari kabut itu—Null-Astraem.

Tubuhnya seperti kabut yang membeku, matanya kosong, dan dari punggungnya keluar semacam jaring-jaring bayangan yang terus berkedip seperti pulsa listrik mati.

Astraem refleks mengaktifkan pelindung sihir. Tapi sosok itu tak menyerang.

Ia hanya... berbicara.

Dengan suara yang sama persis dengan miliknya.

“Kenapa kau melawan yang seharusnya menjadi dirimu?”

Astraem mencibir. “Karena lo versi failed gue. Dan maaf, gue nggak suka gagal.”

Null-Astraem melangkah maju. Setiap jejak kakinya meninggalkan bekas... tapi bukan di pasir—melainkan di udara. Seolah realitas ikut retak di mana ia lewat.

“Kau mencoba menjadi dewa, tapi hatimu masih manusia. Kau ingin menyelamatkan semua... padahal kau sendiri masih menyimpan luka yang belum sembuh.”

“Gue udah liat versi lo. Dunia lo hancur. Lo sendirian. Gue nggak mau jadi lo.”

Null-Astraem tersenyum tipis. “Tapi dunia selalu mengulang dirinya, Astraem. Ujungnya sama. Kau menyakiti mereka... atau mereka menghancurkanmu. Maka lebih baik... menghilangkan mereka lebih dulu.”

Astraem menatapnya dalam-dalam. Lalu mengangkat senjatanya.

“Oke. Enough talk. Let’s get physical.”

---

Pertarungan Antara Bayangan

Null-Astraem meledak ke depan. Tubuhnya seperti kabut, tapi setiap pukulan menghantam dengan berat sepuluh gunung. Astraem menangkis satu serangan, terpental ke udara, lalu memutar balik dengan sihir tekanan.

BANG!

Gelombang energi menyebar. Pasir beterbangan. Langit terbelah.

Mereka saling pukul, saling hindar. Astraem meninju bayangannya, tapi tangan itu malah menembus, lalu diserang balik dari samping.

Setiap kali Astraem menyentuh Null-Astraem, ia merasa seperti menyentuh kekosongan yang mengerti dirinya lebih dalam dari siapa pun.

“Kenapa kamu bisa pakai teknik gue juga?” teriak Astraem.

“Karena aku... adalah keputusan yang tidak kau ambil,” balas Null-Astraem, menghantamnya dengan ledakan memori.

Mata Astraem berkedip.

Tiba-tiba ia ada di ruang makan masa kecil.

Ibunya duduk sendiri. Menangis. Ia kecil berdiri di balik pintu, terlalu takut untuk memeluk.

Lalu—

BRAGH!

Astraem mengaktifkan sihir pemutus memori. Ia kembali ke medan tempur, jatuh berlutut.

“Dia bisa pake kenangan gue buat nyerang... Gawat.”

---

Syaira Mengintervensi

Dari kejauhan, Syaira memantau. Ia berdiri di atas menara waktu yang melayang di dimensi temporal, memegang jam pasir suci.

“Dia belum bisa menang,” gumam Syaira.

Di dalam menara, suara Penatua Waktu terdengar.

“Kalau kamu turun tangan, dia gagal.”

Syaira menggenggam jam pasir lebih erat. “Tapi kalau dia mati... semua relik akan kehilangan keseimbangan.”

Penatua diam. Lalu pelan berkata, “Terserah. Tapi ingat, setiap intervensi... akan memutar ulang waktu dari awal.”

Syaira menutup mata. Lalu membalik jam pasirnya.

---

Reset: Lima Menit Sebelum Duel

Astraem terbangun.

Ia... masih berada di padang pasir. Tapi luka-lukanya hilang. Null-Astraem belum muncul.

“Gue di-reset?”

Suara Syaira terdengar. “Anggap ini kesempatan terakhir. Kali ini... jangan lawan dia dengan kekuatan. Tapi dengan keputusan.”

Astraem mengangguk. Dalam hatinya, ia tahu... lawan kali ini bukan untuk dikalahkan, tapi untuk disadarkan.

---

Pertemuan Ulang

Null-Astraem muncul lagi. Tapi kali ini Astraem tidak menyerang. Ia menunduk, lalu duduk di pasir.

“Apa maksudmu?” tanya bayangan itu.

“Gue ngerti kenapa lo marah,” kata Astraem pelan. “Gue juga pernah kesel. Dunia ini kadang nyakitin. Orang-orang yang kita sayangi ninggalin kita. Kita terlalu kuat buat minta tolong, tapi terlalu rapuh buat jalan sendiri.”

Null-Astraem terdiam.

“Tapi lo tau kan, kita bisa mulai dari satu orang. Satu yang kita lindungi. Lalu dua. Lalu sepuluh. Mungkin kita nggak bisa selamatin semuanya... tapi itu bukan alasan buat hancurin semuanya juga.”

Bayangan itu mendekat. Tubuhnya mulai bergetar.

“Kau pikir... kau bisa meyakinkanku dengan kata-kata?”

“Bukan kata-kata,” kata Astraem, berdiri perlahan. Ia membuka jubahnya, memperlihatkan luka di dadanya—bekas Relik Ketiga yang menguji rasa sakit dan pengorbanan.

“Ini bukti gue gagal juga. Tapi gue nggak nyerah.”

Null-Astraem berdiri diam. Lalu tubuhnya mulai retak.

Dari dadanya keluar cahaya biru. Lalu perlahan... ia meletakkan sesuatu di tanah.

Kristal kecil. Sama seperti milik Astraem. Tapi warnanya hitam transparan.

“Simpanlah. Itu... bagian dari gue,” kata Null-Astraem, sebelum tubuhnya pecah menjadi debu cahaya.

Dan lenyap.

---

Kuil Tanpa Pintu

Astraem melangkah ke depan. Kuil Relik Kelima kini terbuka. Tapi tidak dengan pintu—melainkan dengan diam.

Ia hanya berjalan menembus dinding, seolah tubuhnya diizinkan masuk karena ia telah melewati ujian.

Di dalam, sebuah pelataran batu besar terbentang. Di tengahnya: Relik Kelima.

Berbentuk seperti kubus mengambang, dengan permukaan yang terus berubah: kadang cermin, kadang batu, kadang... wajahnya sendiri.

“Relik ini disebut ‘Pilihan Dewa’,” suara Syaira terdengar. “Satu-satunya relik yang tidak bisa direbut. Hanya diberikan pada yang memilih.”

Astraem melangkah. Relik itu berpendar lembut, lalu melayang ke arahnya.

“Pilihannya apa?” tanya Astraem.

“Apakah kau ingin melanjutkan jalan menuju keilahian... atau melepaskan semuanya dan kembali jadi manusia.”

Astraem terdiam.

Ia ingat senyum ibunya. Tangis gurunya. Teriakan penduduk kota. Tangan-tangan yang pernah ia tolak. Mata-mata yang pernah percaya padanya.

Lalu... ia menggenggam Relik Kelima.

"Aku nggak akan lari. Tapi juga nggak akan naik ke atas sendirian."

“Gue pilih... tetap manusia. Tapi manusia yang berdiri di hadapan para dewa.”

---

Langit Terbelah

Langit gurun retak. Pilar cahaya turun ke kuil. Dan tubuh Astraem terselimuti oleh kelima relik yang kini bersatu.

Satu di tangan. Satu di dada. Satu di pundak. Satu di punggung. Dan satu... di pikirannya.

Dari langit terdengar suara para Dewa Tertinggi.

"Astraem. Kau telah menyelesaikan ujian ke lima."

"Ujian keenam... adalah perang."

Astraem mengangkat wajahnya.

“Siapa yang harus gue hadapi?”

Suara mereka menggema keras:

“Para Dewa Lama. Mereka yang tak menerima bahwa kau... telah melampaui takdir.”