Menara Cahaya dan Teka-Teki Tertua

Langit sore itu seperti terbakar. Awan merah jingga menyelimuti cakrawala ketika Astraem menapaki jalan berbatu menuju sebuah bangunan raksasa yang berdiri angkuh di tengah padang hijau yang luas.

Bangunan itu seperti menara, namun tubuhnya disusun dari kristal transparan yang memantulkan sinar matahari ke segala arah, menciptakan ilusi seolah ia terbakar cahaya dari dalam.

“Selamat datang di Menara Cahaya,” suara Dewa Langit mendadak terdengar di telinga Astraem.

Astraem, yang kini telah melewati puluhan ujian fisik, magis, dan mental, menghela napas panjang. “Ini yang terakhir sebelum segelku terbuka sepenuhnya, kan?”

“Belum,” balas suara itu santai. “Tapi ini akan jadi bagian penting untuk menguji jiwamu… bukan sekadar kekuatanmu.”

Astraem menatap menara itu dengan waspada. Meski tidak tampak mengancam, ada aura tekanan tak kasatmata yang menyelimuti tempat itu.

Langkah demi langkah ia dekati pintu masuk menara yang terbuka perlahan seperti menyambutnya.

Begitu melangkah masuk, ruangannya kosong. Hanya sebuah meja batu di tengah-tengah, dengan sehelai kertas dan pena di atasnya.

“Apa ini ujian menulis cerpen?” gumam Astraem.

Tiba-tiba, suara perempuan lembut bergema di seluruh ruangan, “Tinggalkan kekuatanmu di luar. Masuki menara ini hanya dengan hati dan pikiran.”

Astraem menelan ludah. Ia menaruh pedang kayunya di sudut ruangan. Armor kulitnya pun ia lepas. Bahkan sarung tangan sistem yang biasanya memberinya notifikasi pun ia tinggalkan di lantai.

Dunia mendadak sunyi.

Ia duduk di hadapan meja batu itu dan membaca tulisan yang muncul di atas kertas:

> “Siapakah dirimu ketika tak ada yang menonton? Ketika tak ada sistem, tak ada kekuatan, tak ada imbalan… hanya dirimu sendiri dan waktu.”

Astraem terdiam.

Pertanyaan itu sederhana, tapi menggali terlalu dalam.

Ia mengambil pena dan mulai menulis:

"Aku adalah Astraem. Seorang makhluk fana yang sedang diuji oleh langit. Aku tidak tahu apakah aku pantas, tapi aku tahu bahwa aku tidak boleh berhenti.

Jika hari ini aku hanya punya tangan kosong dan tubuh lelah, aku akan tetap berjalan. Karena aku ingin tahu... apa yang menungguku di akhir jalan ini."

Begitu ia selesai menulis, ruangan itu mulai bergetar pelan. Tembok kristal bersinar semakin terang, dan suara perempuan itu terdengar lagi, kali ini lebih lembut:

“Jawabanmu jujur. Maka, lanjutkan ke lantai berikutnya.”

Astraem berdiri. Dinding belakang ruangan terbuka pelan, menampilkan tangga kristal yang menanjak memutar ke atas. Ia melangkah naik, melewati lantai demi lantai yang tak berpenghuni, namun setiap ruang memiliki tantangan unik.

Di lantai kedua, ia dihadapkan pada versi dirinya yang lebih kuat dan lebih sombong. "Aku adalah kau yang akan menjadi dewa. Kenapa kau harus lelah, kalau bisa menikmati semuanya sekarang?"

Astraem hanya tersenyum kecil. “Karena jika aku menyerah pada kenyamanan sekarang, aku akan mengkhianati semua pelajaran yang kubawa dari bawah.”

Versi sombongnya lenyap dalam cahaya.

Lantai demi lantai, setiap tantangan makin bersifat batin. Di lantai kelima, ia bertemu seorang anak kecil.

Anak itu duduk di lantai, memeluk lutut sambil menangis. “Aku sendirian…”

Astraem berjongkok dan menyentuh kepala anak itu. “Aku juga pernah merasa sendiri. Tapi percaya deh, kita nggak sendirian. Kadang... yang kita butuh cuma satu orang buat ngajak ngobrol.”

Anak itu menatapnya. Lalu tersenyum. Dan menghilang menjadi bintang kecil yang terbang menembus dinding kristal.

Ketika sampai di lantai ketujuh, ruangan itu tampak seperti salinan rumah lamanya di surga. Semua kenangan kembali seperti kilasan kilat—hari-hari damai, tawa bersama para dewa, dan harapan masa depan.

Namun di tengah ruangan, berdiri sesosok pria tua berjanggut putih yang belum pernah ia temui sebelumnya.

“Siapa Anda?” tanya Astraem.

“Namaku adalah Arsaya. Aku adalah Dewa Penjaga Menara ini… dan juga sahabat dari dewa-dewa yang kau kagumi. Aku telah menunggu ratusan tahun untuk calon penerus yang pantas.”

Astraem menggigit bibir bawahnya. “Apa aku pantas?”

Arsaya tersenyum. “Itu yang ingin kami uji. Tidak ada dewa yang pantas karena kekuatannya. Tapi karena hatinya... dan ketegarannya ketika tidak ada yang bisa disalahkan selain dirinya sendiri.”

Astraem mengangguk. Hening.

“Tapi,” lanjut Arsaya, “jika kau bersedia, aku akan memberimu satu pertanyaan terakhir. Jika kau bisa menjawabnya, maka Menara Cahaya akan mengakuimu.”

Astraem berdiri tegak. “Tanyakan.”

Arsaya mengangkat tangannya dan menciptakan ilusi dari semua perjalanan Astraem—dari awal ia dijatuhkan dari langit, saat ia tersesat, saat bertemu Makhluk Hutan, melawan Siluman Gurun, hingga detik ini.

Kemudian ia bertanya, “Apa satu hal yang tidak pernah kau lepaskan selama perjalananmu?”

Astraem menatap semua kilasan itu, lalu menutup matanya. “Tujuan.”

Arsaya tersenyum lebar. “Jawabanmu benar.”

Seluruh menara bergetar. Kristal-kristal di sekelilingnya berubah menjadi cahaya yang naik ke langit. Tangga rahasia muncul dari balik lantai dan menanjak lurus ke puncak menara.

Astraem menaikinya perlahan. Di atas sana, ia menemukan satu benda yang tidak ia sangka—sebuah segel surgawi yang mengambang di atas podium cahaya. Di bawahnya, terdapat tulisan:

> “Segel ini akan terbuka ketika kau siap menerima bagian terakhir dari takdirmu.”

Dan entah dari mana, suara Dewa Langit kembali terdengar.

“Kau telah sampai sejauh ini, Astraem. Tapi jangan tergesa. Masih ada jalan panjang, dan masih banyak jiwa di bumi yang akan menguji kebijaksanaanmu. Tapi sekarang… nikmatilah kemenanganmu hari ini.”

Astraem menatap langit dari puncak menara, lalu duduk bersila dan menghela napas panjang.

Bukan karena lelah.

Tapi karena untuk pertama kalinya… ia merasa lebih dekat pada asalnya.