Langit di arah selatan bergolak. Gumpalan awan ungu tua berputar seperti pusaran raksasa yang ditarik dari perut dunia. Di sanalah Astraem kini berdiri—di hadapan gerbang batu purba yang menjulang ke langit, ditumbuhi lumut emas dan retakan zamrud yang bersinar samar.
Inilah Pintu Penjaga Selatan, salah satu dari empat gerbang kuno yang mengelilingi langit. Dan di balik pintu itu, tersegel Perisai Tua—perlindungan terakhir terhadap kehancuran.
Namun gerbang itu tertutup rapat. Tak ada pegangan, tak ada celah, tak ada suara. Seolah-olah ia menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kehadiran.
Astraem menggenggam jubahnya. Nafasnya berat, bukan karena letih, tapi karena beban yang belum juga ia pahami. Ia baru saja tahu dirinya bukan sekadar manusia, tapi bagian dari langit itu sendiri.
Dan kini, seluruh eksistensi dunia tergantung pada apakah ia bisa membangkitkan kembali kekuatan yang bahkan para dewa pun ragukan.
Dari balik bayangan, muncul makhluk besar yang tubuhnya seperti pahatan batu berlumur kristal: Ka’Ruun, sang Penjaga Perisai Selatan. Suaranya berat seperti batu saling bergesekan.
> “Kau bukan yang terdaftar. Kembalilah sebelum langit mengusirmu.”
Astraem menatapnya tajam. “Namaku Astraem. Aku datang atas perintah Kleios dan Irasya. Aku bawa Cahaya Diri.”
Ka’Ruun menunduk, mengamati Astraem dari kepala sampai kaki. Batu di dadanya menyala redup.
> “Cahaya Diri yang belum menyatu. Kau belum lengkap. Gerbang tak akan mengenalimu.”
“Tapi aku harus mengaktifkan Perisai. Langit sedang retak. Pemangsa Cahaya sudah muncul.”
> “Itu bukan alasanku. Buktikan dirimu. Masuki Ruang Cermin.”
Dinding gerbang bergeser. Terbuka celah sempit seperti lubang nafas yang mengundang gelap. Tanpa bicara lagi, Astraem masuk.
---
Ruang itu bukan ruang biasa. Dinding-dindingnya terbuat dari cermin berlapis cahaya, yang memantulkan bukan hanya tubuhmu—tapi jiwamu.
Begitu Astraem melangkah masuk, ia langsung melihat bayangan dirinya di sekeliling: ratusan versi Astraem, muda, tua, penuh luka, berambut putih, bertanduk, bahkan ada yang tertawa jahat dengan darah menetes dari tangan.
“Ini… bagian dari aku?”
Salah satu bayangan keluar dari pantulan dan menjelma nyata. Versi Astraem dengan mata kelam dan luka di wajah, bersenjatakan tombak hitam.
> “Aku adalah kau… yang pernah memilih menghancurkan dunia.”
Astraem mundur selangkah. “Aku tak pernah…”
> “Oh, tapi kau pernah. Kau lupa, bukan berarti kau tak melakukannya.”
Bayangan itu menyerang. Pertarungan berlangsung cepat, penuh ledakan cahaya dan bayangan. Astraem terlempar ke dinding cermin, namun bangkit lagi. Ia menutup matanya sejenak.
"Aku bukan kamu. Aku bukan masa laluku. Tapi aku juga tak akan lari darinya."
Cahaya Diri di dadanya menyala. Bukannya menyerang balik, Astraem merangkul bayangannya. Dan untuk sesaat, ruang itu menjadi hening.
Bayangan itu meleleh, dan semua cermin retak. Di tengah ruang, muncul sebuah bola cahaya: kunci gerbang.
---
Saat Astraem keluar, Ka’Ruun menunduk.
> “Gerbang kini mengenalmu. Masuklah. Dan aktifkan Perisai Tua.”
Batu-batu besar bergeser, membentuk jalan setapak menuju altar tua yang mengambang di atas jurang cahaya. Di atas altar itu, ada lingkaran kuno berisi simbol-simbol Cahaya Sumber.
Astraem melangkah ke tengah altar. Angin langit berputar makin cepat. Simbol-simbol itu menyala ketika ia menempatkan tangannya di tengah lingkaran.
> “Dengan Cahaya Diri, atas nama langit dan tanah, bangkitlah… Perisai Tua!”
Langit bergetar. Ledakan cahaya keemasan muncul dari altar, menyebar ke segala arah, membentuk kubah raksasa yang menutupi Langit Selatan. Perisai itu akhirnya aktif kembali setelah ribuan tahun tertidur.
Ka’Ruun menatap ke langit. “Kau berhasil, Astraem.”
Namun saat mereka bersyukur, sebuah kilatan gelap menembus langit dari arah timur. Suara jeritan makhluk-makhluk Pemangsa menggema sampai ke gerbang selatan.
“Langit Timur…” gumam Astraem.
---
Astraem kembali ke Langit Tengah lewat lorong cahaya, tubuhnya masih diguncang energi dari perisai. Begitu ia tiba, ia langsung melihat kehancuran.
Langit Timur terbakar.
Awan-awan hangus. Menara-menara langit runtuh. Dan dari celah-celah langit, makhluk-makhluk Pemangsa turun satu per satu, seperti belatung dari buah yang membusuk. Mereka tak takut cahaya. Mereka menghisapnya.
Lunareth, dewa muda penjaga kabut bulan, bertarung sendirian. Cahaya bulannya menahan tiga makhluk sekaligus, tapi ia terluka parah.
Astraem melompat dari tepi langit, menembakkan tombak cahaya yang langsung menusuk tubuh Pemangsa pertama. Lunareth tersungkur ke tanah awan.
“Aku pegang sisanya. Lindungi mereka!” seru Astraem.
Namun makhluk-makhluk itu semakin banyak. Mereka datang dari arah yang tak biasa—celah waktu, lorong dimensi yang biasanya tertutup. Ada yang membuka jalur itu dari dalam.
---
Di ruang tak jauh dari situ, Kleios dan Irasya berdiri di depan meja pusaka. Mereka memandangi peta langit yang bersinar, memperlihatkan titik-titik merah: lubang masuk Pemangsa.
“Tidak mungkin… Mereka tahu lokasi perisai. Tapi hanya segelintir dewa yang tahu jalur masuk itu.” bisik Irasya.
Kleios mengepalkan tangan. “Ada pengkhianat.”
---
Astraem melawan habis-habisan. Ia mulai memakai kekuatan yang bahkan belum sepenuhnya ia mengerti. Cahaya Diri-nya menyebar liar, membuat tubuhnya sendiri gemetar.
Lalu langit retak.
Retakan raksasa membelah Langit Timur seperti kaca dilempar batu. Dari retakan itu, muncul Pemangsa raksasa setinggi gunung, dengan mata hijau menyala dan taring seperti menara runtuh.
Astraem terpaku.
“Ini bukan lagi invasi. Ini perang terbuka.”
Makhluk itu menatap langsung ke arah Astraem dan mengaum. Suaranya menembus tulang, menyesakkan dada. Tapi di tengah gemuruh itu, Astraem tak lari.
Ia menggenggam tombaknya, menatap makhluk itu, dan berbisik:
> “Kalau aku memang bagian dari cahaya yang kalian benci… maka mari kita lihat siapa yang padam lebih dulu.”
Dan babak baru pun dimulai.