Angin langit meraung seperti ribuan serigala kelaparan. Langit Timur yang dulu dipenuhi semburat fajar, kini menjadi samudra kehancuran. Retakan demi retakan menganga lebar, memuntahkan Pemangsa Cahaya dari kedalaman dunia yang terlupakan.
Astraem berdiri di ujung tebing awan yang mulai runtuh. Di hadapannya, Pemangsa raksasa yang baru muncul mengangkat tubuhnya setinggi menara. Mata makhluk itu menyala hijau gelap, dan dari mulutnya keluar uap hitam yang mematikan Cahaya Sumber di sekitarnya.
Di belakang Astraem, Lunareth tersungkur, tubuhnya mengeluarkan kabut bulan dari luka-luka di punggung dan lengannya.
“Aku bisa tahan…” ucap Lunareth dengan suara nyaris lenyap. “Pergi ke tengah. Amankan Menara Fajar.”
Astraem tidak bergerak.
“Kalau kau mati, cahaya kita ikut padam…” lanjut Lunareth. “Pergi, Astraem.”
Astraem mengangguk berat. “Bertahanlah. Aku akan kembali dengan pasukan.”
Ia melompat ke celah langit yang masih stabil, lalu membentuk jalur teleportasi lewat Cahaya Diri yang kini mulai ia kuasai.
Tubuhnya lenyap dalam kilatan putih, meninggalkan Lunareth yang bersandar di awan, menatap langit yang hancur sambil menggenggam pecahan bulannya sendiri.
---
Sementara itu, di Menara Fajar, para Penjaga Cahaya Tengah mulai berkumpul. Irasya berdiri di atas balkon tertinggi, memandangi arah timur dengan wajah yang tak lagi menyembunyikan kekhawatiran.
“Kita kalah di Langit Timur,” ucapnya pada Kleios.
Kleios berdiri di sampingnya, tangan memegang Pedang Gelombang—senjata kuno yang hanya ia pakai saat perang skala dewa.
“Bukan kalah. Baru mundur. Dan perang belum usai.”
Di belakang mereka, para dewa muda mulai berdatangan. Ada Feynor, sang pengendali ilusi; Thalya, penguasa hembusan pagi; dan Kael, sang penjaga gema waktu. Mereka datang bukan untuk mengamankan menara—tapi untuk berperang.
Kleios berbalik. “Feynor, siapkan ilusi kabut untuk mengaburkan jalur utama. Thalya, jaga langit utara dari gerakan siluman. Kael, lindungi waktu. Jangan biarkan Pemangsa mengacaukan arusnya.”
Tiba-tiba sebuah kilatan cahaya muncul. Astraem mendarat, tubuhnya bergetar tapi matanya penuh amarah.
“Pemangsa besar telah muncul. Lunareth terluka parah. Kita perlu serangan balik sekarang.”
Irasya menatap Kleios. “Ini saatnya.”
Kleios mengangguk, lalu menatap Astraem. “Kau pimpin barisan pertama. Aku dan Irasya akan aktifkan Segel Matahari di puncak menara.”
---
Astraem memimpin barisan cahaya, terdiri dari tiga puluh penjaga pilihan. Mereka membentuk formasi segitiga yang bersinar, masing-masing membawa senjata cahaya yang dipersonalisasi dari jiwa mereka sendiri.
Astraem memegang tombaknya, kini lebih panjang dan menyala biru muda, seperti baru dibaptis dari inti langit.
Saat mereka sampai di batas langit yang mulai runtuh, Pemangsa-pemangsa kecil menyambut mereka—dengan taring dan lolongan. Tanpa aba-aba, Astraem maju duluan, menghantam makhluk pertama dengan putaran tombaknya.
Satu demi satu Pemangsa gugur, tapi jumlah mereka terus bertambah.
Di belakang, Feynor menciptakan kabut ilusi yang memecah fokus musuh. Beberapa Pemangsa menyerang kabut kosong, memberi celah bagi para penjaga untuk menusuk dari bayangan.
Namun tiba-tiba, waktu melambat. Gerakan jadi lamban. Suara jadi hening.
Kael yang menjaga arus waktu berteriak dari kejauhan. “Mereka mengganggu waktu! Ada siluman Pemangsa yang menyusup!”
Dari celah kecil di langit, muncul makhluk seperti kabut hitam—tidak punya bentuk pasti. Ia menyelinap di antara dimensi waktu, mengikat Kael dalam lingkaran yang membuat waktu mundur dan maju tanpa kendali.
Astraem melihat itu. “Feynor! Tutupi Kael!”
Feynor membentuk ilusi ganda dari Kael, membuat makhluk siluman bingung. Dalam kekacauan itu, Astraem melompat ke udara dan menusuk jantung kabut itu dengan tombaknya. Sekali hantam, waktu kembali mengalir normal.
---
Di Menara Fajar, Irasya dan Kleios kini berdiri di atas altar Segel Matahari. Simbol-simbol kuno menyala di bawah kaki mereka.
“Kita harus aktifkan ini bersama. Energinya bisa mengusir Pemangsa dari lapisan langit pertama,” ujar Irasya.
“Tapi kalau gagal, nyawa kita ikut terbakar,” sahut Kleios datar.
Mereka menyatukan tangan, lalu memanggil Cahaya Tertinggi yang hanya bisa dibangkitkan lewat keselarasan dua jiwa Cahaya Purba. Segel Matahari menyala keemasan, dan sinarnya menjulang menembus langit, menyapu Pemangsa yang belum sempat masuk penuh.
Suara jeritan terdengar dari langit timur—bukan jeritan manusia atau binatang, tapi suara dunia yang menolak dijajah. Pemangsa besar yang tadi muncul dari retakan menggeram, tubuhnya terkena percikan cahaya dan mulai meleleh di bagian pundak.
Tapi makhluk itu tidak mundur. Ia justru berteriak lebih keras, dan dari retakan langit, muncullah… tubuh kedua.
Astraem menatap itu dari kejauhan. “Dua kepala… satu jiwa. Ini bukan Pemangsa biasa. Ini…” matanya membesar, “Var’Nok, Pemangsa Agung.”
---
Var’Nok turun perlahan, dua kepala yang berlawanan saling mengaum. Yang satu menghembuskan cahaya palsu yang menyilaukan, memancing dewa untuk tertipu. Yang satu lagi menyemburkan kegelapan pekat yang mematikan sumber kekuatan para penjaga langit.
Pasukan Astraem terpental ke segala arah. Feynor jatuh tak sadarkan diri. Thalya terluka di bahu. Kael pingsan karena waktu kembali terganggu.
Astraem berdiri sendiri di antara reruntuhan awan, tubuhnya gemetar tapi matanya menyala lebih terang dari sebelumnya. Cahaya Diri di dadanya berdengung seperti lonceng raksasa.
“Aku tak akan biarkan kalian runtuhkan dunia ini.”
Var’Nok menyerang, dua kepala meluncur bersamaan. Cahaya dan kegelapan. Astraem mengangkat tombaknya, dan untuk pertama kalinya… ia berteriak, bukan dengan suara, tapi dengan jiwa.
Ledakan besar terjadi.
Langit terang benderang. Tapi bukan dari Var’Nok.
Dari tubuh Astraem, muncul sayap cahaya. Bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari serpihan langit dan memori masa lalu. Bentuknya seperti pecahan cermin yang melayang, mencerminkan siapa dirinya: separuh langit, separuh manusia.
Serangan Var’Nok tertahan. Ia mundur beberapa langkah, dua kepala menatap Astraem dengan campuran rasa takut dan marah.
Kleios yang melihat itu dari menara, berbisik, “Ia telah bangkit… Astraem, Pewaris Cahaya.”
---
Langit Timur perlahan mulai pulih. Retakan mengecil. Sisa-sisa Pemangsa mundur, sebagian lenyap karena cahaya dari Segel Matahari. Tapi Var’Nok belum hancur.
Ia melompat mundur ke dalam retakan, lalu menatap Astraem sekali lagi sebelum lenyap.
Suara menggelegar terdengar dalam pikiran semua penjaga langit:
> “Ini baru awal, Pewaris Cahaya. Kau menyalakan perang yang tak bisa kau hentikan…”
Langit Timur hening. Tapi ketegangan menyelimuti semua.
---
Malam itu, Astraem duduk di tepi menara, memandangi langit yang kembali stabil. Lunareth dibaringkan di ruang penyembuhan. Kael masih belum sadarkan diri. Feynor kehilangan penglihatannya sementara.
Irasya duduk di sebelahnya.
“Kau memicu sesuatu yang tak bisa dibalik.”
Astraem mengangguk. “Aku tahu.”
“Lalu, apa langkah selanjutnya?”
Astraem menatap jauh ke langit utara.
“Kita ke Langit Utara. Karena kalau Var’Nok menyerang dari Timur… maka dalangnya pasti di Utara.”