Langit sore itu tampak menghitam sebelum waktunya. Awan-awan gelap berputar di atas benteng Kastil Zareth, seperti pusaran amarah yang dipanggil dari dimensi lain. Astraem berdiri di puncak menara penjaga, matanya tak lepas dari pergerakan aneh di cakrawala.
"Ini bukan badai biasa," gumamnya.
Dari belakang, suara langkah ringan terdengar. Erdelia muncul dengan napas terengah, membawa gulungan kertas dari perpustakaan tua.
"Astraem! Aku menemukannya! Nubuatan tentang bayangan ketiga!"
Astraem segera menghampiri, mengambil gulungan itu dan membacanya cepat. Tulisan kuno berbunyi:
"Saat tiga bayangan bangkit, dunia akan dililit kegelapan. Tapi satu jiwa yang lahir dari cahaya langit akan menjadi kunci penutupnya."
Astraem menggigit bibir. "Dua bayangan sudah muncul… yang ketiga akan datang malam ini."
Tak butuh waktu lama untuk jawaban itu muncul. Tanah di luar kastil mulai retak. Dari balik celah hitam, makhluk raksasa berkulit hitam mengerikan muncul dengan taring memanjang, mata merah menyala, dan suara raungan yang mengguncang perut bumi.
"Bayangan Ketiga..." Erdelia bergidik.
Dari udara, cahaya emas mendadak turun membentuk perisai raksasa di atas kastil. Dewa Arka telah muncul.
"Astraem! Bertahanlah! Ini adalah bagian terakhir dari ujianmu sebelum waktu pengangkatan tiba!"
Astraem mengangguk. Ia melompat turun dari menara dan mendarat tepat di hadapan makhluk itu. Ia tahu, ini bukan sekadar pertempuran kekuatan. Ini adalah pertarungan terhadap ketakutan dan keraguan dalam dirinya sendiri.
Dengan napas tenang, ia memanggil pedangnya—Solmire—yang langsung terbakar oleh api langit. “Kau bukan cuma monster. Kau cerminan kegelapan yang kutinggalkan.”
Makhluk itu mengaum. Sekali hantam, tanah berguncang. Astraem terpental, namun berdiri lagi. Serangan demi serangan ia terima, tapi kini ia mulai memahami: setiap luka yang ia terima dari makhluk itu akan menyembuhkan orang-orang di dalam kastil. Itulah bagian dari sistem langit yang belum ia sadari—“pengorbanan adalah jalan pembuka kemuliaan.”
“Jika aku harus berdarah untuk melindungi mereka, maka biarlah darahku jadi sungai penebus!”
Dengan teriakan penuh tekad, Astraem menghujamkan Solmire ke tanah. Cahaya menyebar, menciptakan lingkaran sihir emas. Makhluk itu tertahan, tubuhnya mengejang oleh cahaya langit.
Namun dari bayang-bayang pepohonan, muncul sosok berjubah gelap.
Erdelia yang sedang mengamati dari menara segera memperingatkan lewat sihir komunikasi, "Astraem! Ada penyusup di belakangmu!"
Terlambat.
Sosok itu melemparkan pisau sihir tepat ke arah Astraem. Tapi sebelum pisau itu menyentuh kulitnya, sebuah bayangan melompat dan menangkisnya—Garthel, teman lamanya yang dulu pergi dalam pelatihan rahasia.
"Aku kembali… untuk membayar hutangku."
Astraem sempat terdiam. “Kau…”
Garthel menyeringai. “Kau selalu ceroboh, Astraem. Tapi kau juga alasan kenapa aku masih hidup.”
Mereka bertarung bersama. Dua sahabat lama, satu tujuan: menghentikan kehancuran.
Di langit, Dewa Arka dan dewa-dewa lain mulai menyaksikan dengan tenang. Di balik sorotan mata mereka, ada sebuah senyuman kecil—Astraem tak hanya diuji kekuatan, tapi juga ketulusan dan loyalitasnya.
Ketika cahaya terakhir dari sihir Solmire menyala terang, makhluk Bayangan Ketiga akhirnya hancur menjadi butiran cahaya. Udara kembali tenang, awan hitam memudar.
Garthel tertunduk, kelelahan. "Sudah lama aku tidak bertarung seperti ini."
Astraem menepuk bahunya. "Kau datang di saat yang tepat."
Namun Erdelia berteriak dari kejauhan, "Itu belum selesai! Lihat simbol di langit!"
Di atas, simbol merah raksasa menyala. Dari dalamnya muncul sebuah mata besar mengintip ke dunia—seperti entitas yang lebih tinggi dari semua makhluk gelap yang pernah muncul.
Mata itu menatap Astraem langsung.
"Jiwa Langit… uji terakhir akan datang…"
Astraem mencengkeram Solmire lebih erat.
"Aku takkan mundur."
Dan dari kejauhan, sistem mulai berbicara dalam benaknya:
"Sistem diperbarui. Misi utama diperbaharui. Ujian Terakhir: Hadapi Sang Pengintai."
"Hadiah: Pengangkatan Langsung dan Takhta Dewa Terakhir."
Astraem hanya mengangguk. Kini, ia tak lagi merasa diuji—ia merasa dipanggil untuk menjadi cahaya.