Suasana di langit masih diliputi nuansa keheningan menakutkan. Setelah Bayangan Ketiga dikalahkan, simbol merah besar yang melayang di udara tidak kunjung pudar. Justru makin terang dan berdenyut seperti jantung raksasa yang hidup di dimensi lain.
Astraem berdiri di bawahnya. Napasnya masih berat. Tubuhnya penuh luka, tapi matanya menyala oleh keteguhan.
“Entitas itu...” gumamnya. “Itu bukan bayangan. Itu... pengawas.”
Erdelia turun dari menara, diikuti Garthel. Mereka berdiri di samping Astraem, memandang mata raksasa yang terus memantau dunia di bawahnya.
“Aku membaca sesuatu tentang itu di dalam naskah kuno,” kata Erdelia. “Mereka menyebutnya Pengintai Langit, makhluk penjaga takdir yang hanya muncul jika calon dewa mulai mengancam batas dunia.”
“Jadi... sistem ini tidak ingin aku naik?” tanya Astraem, setengah mengejek.
“Tidak. Justru ia ingin memastikan bahwa yang naik benar-benar siap untuk melampaui batas. Karena begitu seseorang naik, dia bukan hanya akan menjaga dunia... dia bisa mengubah takdir dunia itu sendiri,” jawab Garthel.
Langit tiba-tiba bergemuruh.
Suara berat menggema langsung ke dalam benak mereka:
> “ASTRAEM. TELAH TIBA SAATNYA ENGKAU MELINTASI RUMAH CAHAYA. NAMUN PINTUNYA HANYA AKAN TERBUKA BAGI YANG SANGGUP MELEWATI UJI NAFSU DAN TAKHTA.”
Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Simbol merah mengeluarkan sinar menyilaukan yang membentuk tangga raksasa menuju langit.
Tapi bukan cahaya hangat yang menyambut mereka—melainkan bayangan-bayangan menggoda yang menyamar menjadi harapan terdalam manusia.
Tangga itu disebut dalam legenda sebagai "Langkah Nafsu", ujian psikologis yang telah menjatuhkan banyak calon dewa.
“Jika kau naik ke sana, kau akan diuji bukan oleh monster... tapi oleh sisi terdalam dalam dirimu sendiri,” ujar Erdelia dengan nada cemas.
Astraem mengangguk. “Aku tahu.”
Ia menaiki tangga itu seorang diri.
Setiap anak tangga yang ia pijak, dunia di sekitarnya berubah. Di langkah pertama, ia kembali ke masa kecil—saat ia masih miskin, kelaparan, dan dipandang hina oleh bangsawan.
Suara menggoda membisik, “Ambillah kekayaan ini, Astraem... dan tinggalkan jalan beratmu.”
Emas berjatuhan di kakinya. Namun Astraem menatap lurus ke depan. Ia melangkah, dan emas itu menguap menjadi debu.
Langkah kedua, ia bertemu sosok ayahnya—lelaki yang dulu meninggalkannya demi kekuasaan. Sosok itu berkata, “Anakku... mari kita bangun kerajaan bersama. Lupakan semua luka. Jadi pangeran sejati.”
Tapi Astraem hanya menjawab, “Aku tak butuh tahta yang dibangun dari pengkhianatan.”
Langkah ketiga, Erdelia muncul. Tapi bukan Erdelia nyata—melainkan versi ideal: lemah, cantik, bergantung padanya, penuh rayuan.
“Bersamaku, kau akan bahagia selamanya, Astraem. Kau tak perlu bertarung lagi. Tak perlu membuktikan apa-apa lagi.”
Namun Astraem menatapnya dengan mata teduh. “Erdelia yang aku kenal lebih kuat dari ini. Dia takkan pernah jadi bayangan dari kelemahanku.”
Bayangan itu lenyap. Dan tangga itu semakin terang. Ia sudah sampai di tengah.
Namun di langkah keempat, ujian terdalam datang.
Dirinya sendiri.
Astraem berhadapan dengan sosok yang identik dengannya. Sama dalam segala hal, tapi penuh senyum sinis dan mata tajam.
“Aku adalah kau—tanpa beban, tanpa luka, tanpa dendam. Jika kau menjadi aku, kau bisa hidup damai. Tak ada kematian, tak ada perang.”
Astraem terdiam sejenak. Ada keheningan panjang. Tapi kemudian ia melangkah maju dan meraih kerah bayangannya.
“Kalau aku jadi kau, aku takkan pernah bisa menyelamatkan siapa pun. Aku lebih memilih jadi manusia luka yang berdarah... daripada bayangan yang steril tanpa makna.”
Ia mendorong bayangan itu keluar dari jalannya. Cahaya meledak di sekeliling.
Langit terbuka.
Astraem sampai di puncak tangga.
Tapi belum ada yang menyambutnya. Hanya ruang kosong dan senyap.
Sampai akhirnya... dari balik cahaya muncul tiga dewa tertua: Dewa Arka, Dewi Linya, dan Dewa Thamres, sang penguasa dimensi waktu.
Mereka mengelilinginya. Tak bicara apa-apa selama beberapa detik. Lalu Dewa Thamres berkata, “Kau telah menapaki ujian yang tak banyak mampu bertahan. Tapi masih ada satu hal yang harus kau lewati.”
Astraem menatap mereka. “Apa itu?”
Dewi Linya berkata, “Kau harus kembali ke dunia... dan menyelamatkan satu tempat terakhir. Tempat yang pernah membuangmu: Kota Menelra.”
Astraem mengepal tangan. Menelra adalah kota kelahirannya—yang mengasingkannya saat masih kecil. Tempat para bangsawan menolak mengakuinya sebagai bagian dunia ini.
Kini ia harus kembali... bukan sebagai pembalas dendam, tapi sebagai penyelamat.
“Baik,” ucapnya. “Aku akan kembali. Tapi bukan sebagai dewa. Aku akan kembali sebagai Astraem—manusia yang pernah ditinggalkan.”
Dan begitu ia mengucapkan kata-kata itu, cahaya mengelilinginya. Sistem berbunyi:
> Sistem Diperbarui. Misi Baru Terbuka. Judul Misi: Kota yang Menolak Cahaya. Status: Dalam Perjalanan.
Ia terjatuh dari tangga langit... namun tak jatuh ke tanah. Ia mendarat di atas atap tertinggi Kota Menelra. Matahari baru menyingsing. Dan alarm kota berbunyi.
Musuh telah menyerang.
Dan sang anak buangan akhirnya pulang—untuk membuktikan siapa dirinya sebenarnya.