Rahasia yang Terkubur

Hari-hari setelah pertempuran itu terasa ganjil. Kota Menelra memang kembali tenang, tapi langitnya tak pernah benar-benar biru lagi. Sejak Astraem menyerap fragmen terakhir dari Sistem Cahaya, atmosfer seperti bergema dengan gema tak kasatmata—seolah langit sendiri sedang menahan napas.

Di tengah situasi itu, Tetua Orel memanggil Astraem.

“Ada satu tempat yang sudah lama kami tutup. Tempat ini... dulunya milik orang yang pernah menantang para dewa juga, tapi menghilang entah ke mana. Ia meninggalkan banyak pertanyaan—dan mungkin jawaban yang kau butuhkan sekarang,” ujar Orel, wajahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.

Astraem mengikuti Orel menuju perpustakaan bawah tanah di balik ruang pengadilan lama. Tangga batu berlumut, dinding yang penuh simbol kuno, dan udara yang terasa berat—seakan tempat itu menyimpan kesedihan.

“Namanya Kaelion,” lanjut Orel. “Ia... dulunya bagian dari bangsa ini, tapi tak banyak yang tahu tentangnya. Saat ia hilang, semua catatannya kami segel demi keamanan. Tapi sekarang, hanya kau yang pantas membacanya.”

Nama itu membuat jantung Astraem berdetak lebih cepat. Kaelion. Nama yang muncul berkali-kali dalam mimpinya. Sosok lelaki berwajah tenang tapi bermata kelam, yang selalu berkata dalam bisikan, “Kau harus menuntaskan yang tak sempat aku selesaikan...”

Di dalam ruangan berkubah gelap itu, Orel menyerahkan sebuah kotak kayu lapuk.

“Ini... miliknya. Kami tak pernah bisa membuka kotak ini. Tapi mungkin kau bisa.”

Astraem menyentuh permukaan kayu tua itu. Tiba-tiba, kotak itu terbuka sendiri, seperti merespons darah yang mengalir di tubuhnya. Di dalamnya, terbaring lusinan lembaran jurnal, sketsa sistem, dan... foto kuno. Astraem terdiam. Foto itu—lelaki bermata kelam dan seorang perempuan muda yang memeluk bayi mungil.

Itu dirinya. Dan lelaki itu... Kaelion.

Tangannya gemetar saat membaca halaman pertama jurnal:

---

“Sistem Cahaya adalah percobaan awal untuk membebaskan umat dari tirani takdir. Tapi para dewa menodainya. Aku menciptakan versi bebas—satu yang tidak bisa dikendalikan siapa pun, termasuk mereka. Aku menyembunyikannya dalam tubuh anakku: Astraem.”

---

Lembar demi lembar menyimpan rahasia kelam. Ternyata, Kaelion adalah penemu pertama Sistem Cahaya, jauh sebelum digunakan oleh para dewa.

Namun, begitu dewa-dewa menyadari kekuatan sistem itu, mereka merebutnya, memurnikannya, lalu menggunakannya untuk menjaga hierarki mereka.

Kaelion melawan. Tapi kalah. Ia menghilang, dan sistemnya dianggap lenyap. Padahal, ia menyelipkannya dalam satu makhluk baru: anaknya sendiri.

Astraem.

Astraem menatap langit-langit ruangan itu. Dunia yang selama ini ia bela—bahkan sistem yang kini ia kuasai—adalah warisan perang. Perang antara manusia dan para dewa. Perang antara kebebasan dan keterikatan.

Di akhir jurnal, tertulis:

---

“Jika kau membaca ini, maka para dewa telah mencium keberadaanmu. Bersiaplah. Dunia akan runtuh—dan dimulai dari langit.”

---

Tiba-tiba, seluruh ruangan bergetar.

Astraem bergegas keluar bersama Orel. Langit Menelra berubah kelabu, dan dari tengah awan muncul sebuah celah cahaya berbentuk lingkaran. Dari sana, turun lima sosok raksasa bersayap emas—Manifestasi Cahaya—utusan langsung dari Dimensi Dewa.

Tanpa kata, mereka menyerang pusat kota.

Astraem melompat ke depan, menghentikan mereka sebelum warga terluka.

“BERHENTI!” teriaknya.

Salah satu dari manifestasi itu—berwujud wanita bersayap perak—menatapnya datar.

“Astraem, anak Kaelion. Engkau telah melampaui batas. Kami diperintahkan untuk memperingatkanmu. Jika kau tak berhenti, kami akan memulai Reset Dunia. Semua akan dihapus. Termasuk mereka yang kau cintai.”

Astraem mengepal tangannya. Cahaya di tubuhnya menyala liar, berputar seperti pusaran bintang.

“Aku tidak takut pada peringatan. Aku hanya takut jika aku diam, dan membiarkan kalian terus memperbudak dunia.”

Manifestasi itu menebas udara dengan sayapnya. Pertarungan pun pecah.

Astraem melayang di atas kota, tubuhnya membentuk kilatan petir dan semburan cahaya. Tiga manifestasi ia hadapi langsung, sementara yang lain mencoba menghancurkan menara sistem.

Namun, dalam satu benturan besar, satu sayap manifestasi menabrak reruntuhan dan menghantam Erdelia yang sedang mengevakuasi warga.

“ERDELIA!!” teriak Astraem, berlari menyambut tubuh yang terlempar.

Erdelia tergeletak dengan darah mengalir dari kepalanya. Nafasnya berat.

“Maaf... aku tak bisa bantu banyak lagi,” bisiknya, lemah.

Manifestasi itu berhenti. Mata mereka sedikit meredup. Mereka bukan makhluk kejam. Mereka hanya alat, seperti halnya sistem.

Astraem menunduk, lalu menatap mereka dengan mata menyala.

“Kalau memang sistem ini adalah alat untuk menindas... maka aku akan mengakhirinya. Mulai hari ini.”

Tubuhnya menyala lebih terang, dan dalam satu serangan, ia menghantam tanah dan membuat seluruh Manifestasi terpental.

Namun sebelum pergi, salah satu dari mereka meninggalkan satu kalimat:

“Langit telah membuka mata. Mereka akan turun sendiri, Astraem. Kau bukan lagi bagian dari dunia ini.”

---

Malam itu, Astraem duduk di samping Erdelia yang terbaring di ruang perawatan. Cahaya remang-remang lilin memantul di pipi gadis itu. Ia tertidur dalam perban, namun tangannya masih menggenggam jari Astraem.

Di luar jendela, cahaya dari dimensi langit masih tampak seperti retakan api yang membelah cakrawala. Kota Menelra sunyi. Orang-orang masih menggantungkan harap pada satu sosok—yang dulu hanyalah manusia biasa.

Dan kini, satu dunia bergantung padanya.

---

> Di ruang perawatan itu, Astraem mengambil kembali jurnal Kaelion, dan membisikkan satu hal pada dirinya sendiri:

“Aku akan naik ke langit. Tapi bukan untuk tunduk. Aku akan membuat langit tunduk pada yang seharusnya mereka lindungi: dunia ini.”