Pagi menjelang dengan kabut pekat menyelimuti Kota Menelra. Namun tak seperti biasanya, kabut ini bukan berasal dari embun atau suhu malam yang turun drastis—melainkan dari celah dimensi langit yang masih terbuka di angkasa, retakannya seperti luka yang tak kunjung sembuh.
Astraem berdiri di atas menara sistem. Di bawahnya, para teknisi, tetua, dan penjaga berkumpul dalam lingkaran darurat. Suara alarm tak lagi berbunyi, tapi ketegangan justru semakin pekat.
Tetua Orel membuka rapat dengan suara berat, “Para Manifestasi telah kembali ke langit. Tapi mereka tak menyerang untuk menghancurkan. Mereka mengirim peringatan. Artinya… para dewa akan turun sendiri.”
Suara-suara kecil mulai terdengar dari para penjaga dan pengawal.
“Para dewa... benar-benar akan datang?” “Apa itu artinya akhir dunia?” “Kita harus mengungsi ke wilayah selatan!”
Namun Orel mengangkat tangannya dan menatap Astraem. “Satu-satunya orang yang bisa membuat dunia ini tetap berdiri... adalah dia.”
Astraem mengangguk pelan. Ia memandangi langit yang semakin terang, bukan karena mentari, tapi karena cahaya tirani dari dimensi atas.
Lalu, langkah kaki terdengar cepat mendekat.
Erdelia, dengan perban masih melilit kepalanya, berdiri di ambang pintu. Meski dokter melarangnya bangun, gadis itu tak peduli.
“Aku tahu kau ingin melindungi dunia, Astraem. Tapi jangan pikir kau harus melakukannya sendirian.”
Astraem menatapnya. “Kau butuh istirahat.”
“Dan dunia butuh harapan,” jawab Erdelia. “Dan aku bukan hanya gadis kecil dari tim penyusun sistem. Aku—juga punya alasan untuk bertarung.”
Ia membuka tangannya. Sebuah artefak merah tua terpampang—salah satu pecahan Sistem Cahaya yang pernah hilang dari laboratorium pusat.
“Aku menyimpannya sejak dulu. Pecahan ini tak bisa diaktifkan... kecuali oleh dua energi bertentangan: energi dari langit, dan energi dari bumi.”
Orel mendekat, matanya terbelalak. “Itu… artefak pelindung. Yang bisa menyalakan Portal Penyeimbang. Tapi sudah ribuan tahun tidak ada yang berhasil mengaktifkannya.”
Erdelia menatap Astraem. “Tapi kalau kita bekerja sama, kita bisa aktifkan. Kita bisa... membuka jalan untuk menyerang langit, dengan kondisi setara.”
Astraem terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangan.
“Aku percaya padamu.”
---
Sore itu, di ruang pusat energi kota, Erdelia dan Astraem berdiri di atas lingkaran mantra kuno. Tiga penjaga sistem membantu mereka menyusun simbol, sementara Tetua Orel melafalkan teks-teks peninggalan bangsa purba.
Saat tangan Erdelia dan Astraem saling menyentuh pecahan itu, ledakan cahaya membuncah, membentuk pusaran merah keperakan. Angin berhembus kuat, dan simbol-simbol di lantai menyala satu per satu, menyulut ke inti sistem.
Tiba-tiba—BUK!—pusaran itu menyatu membentuk sebuah gerbang raksasa, menjulang di langit, melengkung seperti cangkang yang baru terbelah.
“Portal Penyeimbang… terbuka,” ujar Orel dengan suara tercekat. “Sekarang... dunia punya jalan menuju langit.”
Tapi bukan hanya mereka yang menyadarinya.
Di balik celah dimensi, mata para dewa kini mengarah langsung ke Astraem. Mereka tidak lagi menunggu.
---
Beberapa hari kemudian, pasukan kecil dikumpulkan. Astraem, Erdelia, dan tiga pejuang terpilih—Nareth, ahli medan sihir; Juro, pendekar bayangan; dan Velna, mantan pemimpin pasukan sistem bawah—berdiri di hadapan portal.
Satu demi satu mereka melangkah masuk.
Yang mereka lihat di balik gerbang bukan langit penuh awan, melainkan dunia paralel bercahaya keperakan. Tanahnya mengambang di antara bintang, pepohonannya seperti kristal, dan langitnya... berdenyut seperti nadi. Tempat itu bukan surga, tapi laboratorium sempurna bagi para dewa.
“Tempat ini… tak punya gravitasi alami,” bisik Juro. “Kita ada di dunia buatan.”
Langkah mereka terhenti ketika sebuah suara menggema di seluruh ruang:
“Selamat datang, para pengkhianat.”
Sosok tinggi muncul di antara kabut. Seorang lelaki bersayap transparan, wajahnya tenang, namun aura di sekelilingnya membuat tanah bergetar.
“Aku adalah Veydar. Dewa Penjaga Rantai. Dan kalian... telah membuka jalur terlarang.”
Astraem melangkah maju. “Kalau kau ingin menyelamatkan dunia dengan ancaman, maka hari ini, ancamanmu berhenti.”
Veydar tersenyum. “Kau berpikir ini tentang ancaman? Tidak, Astraem. Ini tentang keseimbangan. Sistem Cahaya yang kau pegang... terlalu kuat untuk dunia bawah.”
Ia menjentikkan jarinya. Mendadak, empat duplikat dirinya muncul, masing-masing membawa senjata berbeda: pedang, busur, tombak, dan sabit.
“Lawan kami,” ujar Veydar. “Atau biarkan sistemmu kami ambil kembali.”
---
Pertarungan meletus.
Velna meluncur ke arah duplikat bersenjata busur. Satu panah nyaris menembus dadanya, tapi ditangkis dengan perisai medan dari Nareth.
Juro bergerak seperti bayangan, menghadapi Veydar pemegang sabit. Tapi lawannya bergerak di luar logika waktu, menghilang lalu muncul di punggung Juro, hampir menebas lehernya.
Sementara itu, Astraem langsung menantang Veydar asli.
Pukulan mereka bentrok, menimbulkan gempa ringan di dunia atas. Cahaya dari Sistem Astraem menyembur ke segala arah, melawan aura tenang dari sang dewa.
Namun, setiap kali Astraem menyerang, serangan itu terasa... tertahan. Seperti dibelokkan oleh sesuatu yang tak kasatmata.
“Energi langit tak bisa dilawan dengan kekuatan biasa,” kata Veydar. “Bahkan jika kau anak dari Kaelion.”
Astraem mundur. Keringat menetes dari dahinya. Lalu ia teringat... lembar terakhir jurnal Kaelion.
“Langit bukan untuk dihancurkan. Tapi untuk diubah dari dalam. Gunakan denyutnya. Masuk ke dalam sistem mereka. Buka pintunya.”
Astraem memejamkan mata. Lalu ia menyerap semua pecahan sistemnya, dan dalam sekejap—menghilang.
Veydar terkejut.
“Dia masuk ke pusat sistem langit...” bisik Erdelia.
---
Di sisi lain dunia, Astraem tiba-tiba muncul di tengah ruang kristal raksasa—inti pusat Dimensi Langit.
Di sana, ia melihat ribuan tabung energi, masing-masing berisi jiwa-jiwa manusia yang diserap untuk memberi daya sistem para dewa.
Ia berjalan pelan. Beberapa wajah di dalam tabung itu ia kenali. Warga dari dunia bawah. Mantan penjaga sistem. Bahkan... Tetua lama yang ia kira telah wafat.
Ia menggenggam pecahan terakhir sistem, dan membisikkan:
“Waktunya... mengembalikan semua ini.”
Ia menancapkan pecahan itu ke pusat kristal.
Ledakan energi meledak keluar seperti badai cahaya.
---
Sementara itu, di medan pertempuran, tubuh-tubuh duplikat Veydar mulai hancur satu per satu. Veydar sendiri mundur, kesulitan menjaga keseimbangan.
“Apa yang dia lakukan?!” teriaknya.
Dari langit, muncul kilatan seperti aurora yang menjalar ke seluruh dimensi, dan satu per satu tabung jiwa mulai pecah—membebaskan energi yang tertahan selama ribuan tahun.
Cahaya itu kembali ke dunia bawah. Ke hutan. Ke gunung. Ke lautan. Ke tubuh manusia.
Energi itu bukan hanya sistem. Tapi kesadaran. Sebuah jaringan hidup yang selama ini disalahgunakan.
Erdelia tersenyum melihat ke langit. “Dia berhasil... dia menulis ulang sistem langit.”
---
> Di pusat sistem langit, tubuh Astraem bersinar seperti bintang kecil. Tapi ia juga mulai kehilangan bentuk manusiawinya.
Ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Kalau aku harus jadi jembatan antara langit dan bumi, maka biarlah aku jadi cahaya yang menghubungkan keduanya.”