Surat Rahasia dari Langit

Astraem terbangun lebih awal dari biasanya. Api unggun sudah padam, hanya meninggalkan bara merah yang berkerlip pelan. Di sebelahnya, Aluna masih tertidur, menggenggam sarung pedangnya yang terbungkus kain lusuh.

Namun ada sesuatu yang aneh pagi itu.

Langit yang biasanya cerah di waktu fajar, kini dipenuhi kilatan cahaya lembut berwarna biru keperakan. Seolah ada gerbang tak kasatmata yang perlahan terbuka dari dimensi lain.

Astraem berdiri pelan. Di atas langit, muncul selembar kertas bercahaya, melayang turun seperti bulu burung raksasa yang ringan. Ia menadahkan tangannya, dan surat itu mendarat tepat di telapak tangannya.

Tulisan di permukaan kertas itu terukir seperti cahaya yang hidup.

"Untuk Astraem. Jangan percaya pada bayangan yang akan menyamar jadi cahaya. Mereka bukan datang untuk menolongmu—tapi untuk menggiringmu ke arah yang salah. Temuilah ‘Dia yang Tak Bernama’ sebelum bulan merah bersinar penuh. Jika tidak, kamu akan terlambat membalik takdir."

Astraem menatap surat itu lama. Kata-katanya seperti ditulis oleh angin, penuh misteri dan ancaman sekaligus. Tapi siapa pengirimnya?

“Pagi-pagi udah dapet surat cinta dari langit?” suara Aluna terdengar, sedikit serak.

Astraem menoleh. Ia menyerahkan surat itu padanya. Aluna membaca dengan kening mengernyit.

“‘Dia yang Tak Bernama’?” ulangnya. “Itu legenda tua. Konon dia adalah satu-satunya makhluk yang berhasil keluar dari dimensi waktu para dewa. Tapi dia... lenyap berabad-abad lalu.”

Astraem mengangguk pelan. “Kalau benar dia ada, kita harus menemuinya.”

---

Perjalanan kali ini membawa mereka ke utara, melintasi Padang Senyap, tempat waktu berjalan lebih lambat. Di padang itu, setiap suara hanya bergema setengah, dan angin hanya berhembus dari arah barat.

Di tengah padang, mereka bertemu seseorang tak terduga.

Seorang anak laki-laki, duduk di atas batu besar. Wajahnya pucat, dan bola matanya berwarna ungu keperakan. Ia seperti bukan berasal dari dunia ini.

“Aku menunggumu, Astraem,” katanya pelan, tanpa memperkenalkan diri.

Astraem mendekat, waspada. “Siapa kamu?”

“Aku... adalah perantara. Antara dunia nyata dan dunia para penolak takdir.”

Aluna bersiap dengan pedangnya. Tapi bocah itu hanya tersenyum kecil.

“Aku bukan musuhmu. Tapi waktumu sedikit. Bulan merah akan muncul dalam tiga malam. Dan ‘Dia yang Tak Bernama’ hanya muncul di tempat di mana waktu patah: Menara Hampa.”

Astraem mengernyit. Ia pernah membaca legenda tentang tempat itu. Menara yang tidak memiliki pintu masuk, berdiri di atas jurang waktu yang tidak pernah selesai. Tempat yang pernah dikutuk oleh para dewa karena dianggap menyimpan rahasia kematian pertama.

“Kalau kami ke sana, apa kami bisa bertemu dengannya?”

Bocah itu menggeleng. “Dia tidak bisa ditemui. Dia harus memanggil kalian.”

Aluna menatap Astraem. “Jadi... kita harus bikin dia tertarik?”

Bocah itu tersenyum, lalu menjentikkan jari. Di tangannya muncul batu kecil, transparan dan hangat.

“Ini Batu Seruan. Letakkan di kaki menara saat bulan merah menyentuh puncaknya. Tapi ingat, setelah itu… apa pun bisa muncul. Termasuk masa lalumu yang belum selesai.”

---

Dua hari berikutnya, mereka tiba di tebing berbatu tempat Menara Hampa berdiri. Dari kejauhan, menara itu menjulang seperti bayangan raksasa, tanpa jendela, tanpa pintu, tanpa celah.

Astraem merasakan napasnya tercekat. Tempat itu… dingin dan bisu.

Aluna meletakkan Batu Seruan di tanah berbatu di kaki menara. Saat batu itu menyentuh tanah, langit langsung bergemuruh. Kilat menyambar ujung menara. Lalu—hening.

Mereka menunggu.

Satu jam.

Dua jam.

Matahari tenggelam. Malam menelan sekeliling. Dan akhirnya, bulan merah naik, mengambang besar dan menakutkan di atas menara.

Lalu—tanpa aba-aba—tanah di depan mereka membelah. Cahaya biru menyembur dari bawah, dan dari lubang itu... muncul sesosok manusia tua berjubah compang-camping, wajahnya tertutup topeng yang hanya punya satu lubang mata.

Aluna tersentak. “Itu dia... ‘Dia yang Tak Bernama’.”

Makhluk itu melayang pelan ke depan Astraem.

“Kau yang dipilih oleh langit dan bumi... tapi belum memilih jalanmu sendiri,” katanya dengan suara seperti ribuan gema.

Astraem menatapnya. “Aku ingin tahu kebenaran. Tentang kutukan ini. Tentang para dewa. Tentang aku.”

‘Dia yang Tak Bernama’ mengangguk. Lalu mengangkat tangannya. Waktu di sekitar mereka berhenti. Angin berhenti. Bahkan denyut jantung pun seakan dipaksa diam.

“Dengar baik-baik, Astraem. Kutukan yang kau coba hapus... bukan hanya dibuat untuk menghancurkan dunia. Tapi untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk: kebangkitan dewa terakhir yang salah.”

Astraem mengerutkan dahi. “Apa maksudmu...?”

“Di antara semua calon dewa, hanya satu yang akan benar-benar jadi pemegang Cahaya Timur. Tapi ada yang menyamar. Seseorang yang terlihat seperti pahlawan... tapi sebenarnya dirasuki oleh kegelapan kuno.”

Seketika, bayangan wajah Kirei melintas di benak Astraem.

“Siapa yang kau maksud?”

Tapi Dia yang Tak Bernama tidak menjawab. Ia justru mengangkat tangannya lagi, dan dari balik kabut muncul sosok holografis... Kirei, sedang berbicara dengan sesosok bayangan besar bermahkota duri.

Astraem terpaku.

“Dia... bersekongkol?” Aluna terengah.

Gambaran itu hilang secepat datangnya.

‘Dia yang Tak Bernama’ menatap Astraem dari balik topeng.

“Kau hanya punya dua kutukan lagi. Tapi ingat, semakin dekat ke puncak, semakin kuat mereka yang ingin menjatuhkanmu.”

Lalu ia perlahan menghilang kembali ke dalam tanah, dan Batu Seruan meleleh menjadi debu.

Waktu kembali mengalir.

Astraem dan Aluna berdiri diam, terdiam lama, sampai akhirnya Aluna berbisik:

“Kau percaya... Kirei berkhianat?”

Astraem menggenggam tongkatnya. “Aku... nggak tahu. Tapi aku akan cari tahu. Dan aku nggak akan berhenti sampai semua kebenaran terbuka.”

Langit di atas mereka kini tak lagi merah. Tapi dingin yang tertinggal terasa jauh lebih menusuk dari sebelumnya.