Kirei yang Tersembunyi

Malam di padang berbatu itu masih menggigilkan. Tapi hati Astraem lebih dingin dari udara. Bayangan percakapan Kirei dengan sosok bermahkota duri masih terus berputar di kepalanya.

Aluna duduk bersandar di batu, menatap langit yang kembali tenang.

“Kalau benar Kirei bersekongkol... berarti semua yang kita alami bisa jadi bagian dari rencananya?” gumamnya lirih.

Astraem tidak menjawab. Ia berjalan menjauh, menuju tepi jurang yang menghadap lembah gelap. Angin meniup rambutnya yang mulai memanjang, dan tongkatnya terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena beban fisik—tapi beban pertanyaan yang menumpuk.

Mereka memutuskan bermalam satu hari lagi di dekat Menara Hampa. Besok, mereka harus kembali ke Hutan Gelap, tempat kutukan kedelapan menanti. Tapi malam ini, Astraem memutuskan untuk mencoba sesuatu.

Ia membuka gulungan tua yang diberi oleh Leluhur Cahaya beberapa bab sebelumnya—yang belum pernah ia baca karena konon hanya bisa dibuka saat “hati diguncang keraguan”.

Dan malam ini... hatinya penuh keraguan.

Gulungan itu terbuka perlahan, seperti disentuh tangan tak terlihat. Tulisan-tulisannya menyala dalam bahasa kuno. Aluna menghampiri, terdiam saat melihat isi naskah itu:

"Dari tujuh pewaris Cahaya Timur, hanya satu yang akan menemukan jalur murni. Yang lain akan diputar, dibelokkan, atau ditelan oleh cahaya semu. Musuh terbesar bukan kegelapan, tapi cahaya yang berpura-pura menjadi terang."

Aluna membaca cepat.

“Lihat bagian ini—ada nama. ‘Pewaris Cahaya Semu: ...Ki—’ hurufnya kabur.”

Tinta di bagian itu memang luntur, seolah waktu sengaja menghapus nama itu.

Tapi satu huruf muncul jelas: "Ki"

Aluna menggigit bibir. “Bisa aja bukan Kirei... mungkin Kiyo, atau Kiram...”

Astraem menghela napas. “Tapi kemungkinan itu terlalu sempit. Dan... aku nggak bisa bohong. Dari awal ada sesuatu dalam diri Kirei yang... aku nggak ngerti. Dia terlalu tahu segalanya. Bahkan lebih dari kita yang ngalamin langsung.”

Malam itu, mereka tidur dengan kegelisahan sebagai bantal. Dan saat fajar menyingsing, mereka sudah memutuskan: sebelum menuju kutukan kedelapan, mereka akan menemui satu orang—Kael, saudara angkat Kirei, yang tinggal di reruntuhan Kuil Putih di Timur.

Kael adalah satu dari sedikit yang pernah hidup bersama Kirei semasa kecil, sebelum Kirei dibawa ke Akademi Cahaya.

---

Perjalanan ke Timur memakan waktu satu setengah hari. Di sepanjang jalan, Astraem dan Aluna mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Udara terasa lengket, dan suara alam lebih hening dari biasanya.

Saat mereka sampai di Kuil Putih, tempat itu tak lagi seperti yang diceritakan orang.

Dulu, kuil itu adalah tempat para penjaga waktu tinggal. Kini hanya tersisa tiang-tiang batu, dinding setengah runtuh, dan aura menyeramkan.

Tapi Kael masih di sana.

Seorang pria berambut perak duduk di tengah altar, memandangi langit. Di sekelilingnya ada puluhan burung kecil dari cahaya, beterbangan seperti kupu-kupu bercahaya.

“Astraem,” sapa Kael tanpa menoleh. “Akhirnya kau datang juga.”

Aluna saling pandang dengan Astraem. “Kamu tahu kami akan ke sini?”

Kael mengangguk pelan. “Bukan karena ramalan. Tapi karena aku tahu Kirei menyimpan terlalu banyak rahasia. Dan cepat atau lambat... rahasia itu akan menghancurkanmu kalau tidak dihadapi.”

Astraem duduk di depannya. “Kael. Apa Kirei pernah... terhubung dengan makhluk dari dunia lain? Sesuatu yang bukan manusia? Bukan dewa?”

Kael menghela napas panjang.

“Saat kami kecil... Kirei pernah menghilang selama tiga hari. Saat kembali, dia... berubah. Ia jadi lebih dewasa, lebih tajam, dan... seolah tahu sesuatu yang bahkan para guru kami tak paham. Aku tanya padanya, ke mana saja. Dia jawab: ‘Aku baru saja bicara dengan bayangan cahaya.’”

Aluna meneguk ludah. “Itu... terdengar seperti sosok yang kamu lihat di penglihatan waktu itu, As.”

Kael berdiri perlahan, menatap puncak kuil yang nyaris runtuh.

“Dan sejak saat itu, Kirei mulai belajar hal-hal yang tak diajarkan oleh siapa pun. Ia bisa memanggil cahaya dari tempat kosong. Bisa membaca pikiran orang hanya dengan menyentuh tanah. Bahkan... bisa membalikkan kutukan tanpa konsekuensi.”

Astraem menatap Kael dalam-dalam. “Kamu pikir dia—”

“—berkhianat?” Kael memotong. “Aku nggak tahu. Tapi kalau dia memang punya tujuan tersembunyi... maka dia sedang berada di depan kalian, dan kalian baru mengejarnya dari belakang.”

---

Sore itu, Aluna memanggil Astraem ke pinggir danau di belakang kuil.

“Aku mimpi aneh semalam. Dalam mimpi itu, Kirei datang... tapi bukan dia. Matanya putih semua. Suaranya... kosong.”

Astraem duduk di sampingnya. “Kamu takut?”

Aluna menggeleng pelan. “Bukan takut. Tapi sedih. Karena... aku pernah percaya sama dia. Kita semua pernah.”

Matahari tenggelam, meninggalkan semburat oranye. Astraem mengambil keputusan.

“Besok pagi... kita kembali ke jalur kutukan. Tapi setelah itu, kita cari dia. Kita hadapi dia. Kalau perlu... kita hentikan dia.”

Aluna menatapnya tajam. “Kamu yakin siap?”

Astraem menjawab, “Kalau dia memang temanku... aku akan selamatkan dia. Tapi kalau dia musuh dunia ini... aku akan hentikan dia, dengan cara apa pun.”

Langit malam itu tak lagi merah, tapi percakapan mereka membuat malam jadi terasa lebih berat.

---

Keesokan paginya, mereka meninggalkan Kuil Putih dan bersiap menghadapi kutukan kedelapan. Tapi kini langkah mereka bukan lagi sekadar mencari pembebasan. Tapi mencari kebenaran terakhir.

Dan jauh di sisi lain dunia—di sebuah menara putih tempat langit bertemu laut—Kirei berdiri di depan cermin dari es abadi. Di belakangnya, sesosok bayangan raksasa bermahkota duri perlahan muncul, membisikkan kata-kata dalam bahasa kuno.

“Waktunya semakin dekat. Mereka akan memilih.”

Kirei menatap bayangannya sendiri, lalu bergumam:

“Dan aku... sudah lama memilih.”