Langit di atas Gurun Nuratsuma perlahan memudar jadi kelabu. Kabut tipis bergulir seperti uap napas makhluk purba yang tertidur terlalu lama. Di kejauhan, sebuah bangunan menjulang seperti tulang belulang raksasa yang membatu—Gerbang Tak Terbalik, kuil terakhir dari delapan kutukan.
Astraem melangkah pelan, kakinya terasa berat seolah tanah mencoba menahannya agar tak mendekat. Di sampingnya, Aluna menggenggam gagang pedang dengan kuat, meski matanya menyiratkan kegelisahan.
"Kutukan kedelapan ini... berbeda," gumamnya. "Tak ada penjaga. Tak ada suara. Hanya cermin—dan diri kita sendiri."
Astraem menatap bangunan itu. Pilar-pilarnya tidak kokoh, melainkan bengkok ke luar, seolah menolak untuk menopang atap. Dindingnya dipenuhi ukiran wajah-wajah kabur yang menatap lurus ke depan.
Tapi yang paling mencolok adalah pintu masuknya—sebuah cermin raksasa, setinggi lima meter, membentuk celah di tengah kuil.
Cermin itu... tak memantulkan mereka.
Melainkan menunjukkan sosok lain. Sosok yang menyerupai Astraem dan Aluna, namun tak memiliki warna di mata mereka—hanya kehampaan.
---
Mereka masuk.
Langit seketika menghilang. Hanya kegelapan dan lantai kaca yang tak pernah pecah di bawah langkah mereka. Di dalam kuil, cermin-cermin kecil menggantung, mengambang di udara, mengelilingi mereka seperti mata-mata tersembunyi.
Tiba-tiba, dari balik kabut tipis, suara berat bergema:
"Apa yang akan kalian pilih... jika kemenangan kalian berarti mengorbankan satu orang yang kalian sayangi?"
Astraem berhenti. Napasnya tercekat.
Sebuah cermin di depan mereka berpendar—dan muncul sosok dirinya, namun mengenakan jubah dewa, berdiri di atas lautan api. Di bawahnya, manusia berlutut, menangis, memohon.
"Aku menyelamatkan dunia," kata versi cerminan itu, "tapi harus membakar semua cinta dalam hatiku."
Cermin berputar. Kini muncul Astraem yang duduk di singgasana langit, namun... Aluna mati di kakinya, berlumuran darah.
"Kau terlalu lemah untuk memilih ini, Astraem yang asli. Tapi aku kuat. Aku tidak membiarkan dunia hancur hanya karena satu perempuan."
Astraem menggertakkan gigi. "Kau bukan aku."
"Tapi aku bisa menjadi kau... jika kau menyerah."
Tiba-tiba dari sisi lain, Aluna berteriak.
---
Ia juga sedang dikelilingi oleh bayangan dirinya sendiri. Salah satu Aluna mengenakan mahkota dewi, tapi wajahnya kaku seperti boneka porselen. Di sekelilingnya, kuil-kuil indah berdiri, namun semua kosong. Tak ada suara tawa. Tak ada cinta.
"Aku mencapai keabadian," kata bayangan itu, "tapi semua orang yang kusayangi mati duluan."
Aluna terjatuh. Suaranya bergetar. "Tidak... itu bukan aku..."
"Kau bilang kau kuat, Aluna. Tapi kekuatanmu hanyalah ilusi. Apa gunanya menjadi dewi jika kau tak bisa menyelamatkan orang-orang yang kau cintai?"
Bayangan lain muncul—Aluna kecil, menangis di samping mayat ibunya, mengatakan, “Semua yang dekat denganmu akan hancur.”
Astraem menghampirinya. Menarik Aluna ke pelukannya. "Jangan percaya mereka. Ini hanya ilusi."
Tapi Aluna menatap mata Astraem, air mata menetes. "Bagaimana kalau… mereka benar? Aku takut, Astraem."
"Kalau mereka benar... maka biarlah kita salah bersama. Tapi aku nggak akan ninggalin kamu. Dan kamu juga jangan tinggalin aku."
---
Cermin-cermin itu bergema. Retak.
Satu per satu, bayangan jahat itu berteriak. Terbakar oleh cahaya yang terpancar dari tubuh Astraem dan Aluna.
Kepercayaan. Itulah yang mereka pilih. Bukan kekuatan. Bukan takdir. Tapi percaya.
Gerbang di tengah kuil terbuka. Dan saat mereka melangkah keluar...
---
Langit di luar sudah berubah.
Kabut hilang, tapi matahari tampak seperti terhisap ke tengah pusaran cahaya. Awan-awan bergerak cepat, berputar seperti dilanda badai waktu.
Astraem memicingkan mata. "Tunggu... ini..."
Aluna menyentuh pasir. "Panasnya... beda. Waktu... terasa aneh."
Seketika suara batu berjatuhan terdengar. Dari balik bukit pasir, muncul sosok tunggangannya—Orchid, penjaga relik Cahaya yang biasanya tenang, kini wajahnya pucat.
"Kalian... kalian ke mana saja?! Sudah tiga hari berlalu sejak kalian masuk Gerbang Tak Terbalik!"
Aluna kaget. "Tiga hari?"
"Ya! Dunia berubah. Pilar Langit Timur mulai retak. Kirei... dia membuka Gerbang Cahaya Semu!"
---
Astraem mengepalkan tangan. “Berarti... dia sudah mulai menjalankan rencananya.”
"Dan kita kehabisan waktu," lanjut Orchid. "Kirei menuju Pilar Arah Waktu. Dunia ini... mungkin hanya punya dua minggu tersisa sebelum semuanya runtuh."
Aluna dan Astraem bertukar pandang. Mereka telah menaklukkan delapan kutukan, tapi ujian sejati baru akan dimulai.
Bukan tentang melawan iblis.
Tapi tentang menentukan batas antara terang dan gelap.
Dan siapa yang berhak menjadi dewa terakhir.