Tanda-Tanda Langit Pecah

Langit Timur sudah tak biru lagi.

Awan menggumpal seperti luka menganga di angkasa, menghitam dan bergerak liar, seolah ada sesuatu yang tak kasatmata sedang menarik langit dari balik cakrawala. Cahaya mentari hanya berupa siluet putih yang retak, seperti kaca pecah yang tak mampu menyinari dunia dengan utuh.

Astraem berdiri di puncak Bukit Ghaïra, memandang dari kejauhan arah Pilar Arah Waktu yang mulai tampak—tinggi menjulang seperti tombak dewa yang menusuk langit. Tapi kini, pilar itu... bergetar. Dan dari ujungnya, cahaya merah keunguan membubung. Cahaya yang menandakan celah antara dunia ini dan dunia takdir mulai terbuka.

“Langit mulai pecah,” gumam Orchid, menatap ke atas dengan cemas. “Dan kalau retakannya sampai ke Pilar Cahaya, semua garis waktu akan kacau. Termasuk... yang milikmu, Astraem.”

Astraem menoleh cepat. “Maksudmu?”

“Jika garis waktu hancur, semua keputusanmu bisa dihapus. Semua yang sudah kau perjuangkan bisa... tidak pernah terjadi.”

Aluna mencengkeram lengan Astraem. “Bahkan kita… bisa tak pernah bertemu.”

Astraem menghela napas dalam. Dunia seakan mengepung mereka dari segala arah.

---

Mereka turun dari bukit dan berkumpul di tenda kecil yang dijaga oleh para Penjaga Relik Cahaya, pasukan terakhir yang masih setia pada perjanjian kuno antara manusia dan langit.

Di tengah tenda, peta besar tergelar di atas meja batu. Garis-garis cahaya mewakili kutukan-kutukan yang telah berhasil ditaklukkan. Tapi di ujung peta, satu lingkaran menyala sangat terang—Pilar Arah Waktu, tempat Kirei kini bergerak.

“Dia sudah mendahului kita,” kata Jirell, salah satu Penjaga yang matanya ditutup kain biru. “Kirei membawa Kristal Neraka dan Sisa Jiwa Dewa Kegelapan. Ia akan gunakan itu untuk membuka pintu waktu balik.”

“Pintu waktu balik?” tanya Aluna.

“Gerbang kuno yang memungkinkanmu... memutar ulang dunia. Tapi dengan harga besar. Siapa pun yang menggunakannya harus mengorbankan seluruh waktu pribadinya. Ia tak akan punya masa lalu, tak dikenal, tak dikenang... menjadi bayangan.”

Astraem terdiam.

“Jadi itu rencana Kirei?” gumamnya. “Menghapus masa lalu untuk membuat masa depan sesuai keinginannya.”

Orchid mengangguk. “Dan dia tahu kau satu-satunya yang bisa menghentikannya.”

---

Saat malam tiba, mereka kembali naik ke punggung Roc bernama Suvaya, menuju lembah Sinar Viyora, tempat satu-satunya pintu teleportasi lintas pilar masih bisa digunakan.

Angin di atas pegunungan begitu dingin, membawa butiran es meski belum musim salju. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Suvaya meraung keras dan menukik.

“Pegangan!” teriak Orchid.

Tiba-tiba dari langit turun panah cahaya ungu, menembus awan, menyambar nyaris menghantam Aluna. Roc itu oleng, dan mereka terpaksa mendarat darurat di sisi Lembah Kuunari.

Di tanah, sosok berjubah kelabu sudah menunggu.

“Penantang Cahaya tak bisa lewat semudah itu,” katanya. Suaranya datar. Wajahnya tersembunyi di balik topeng besi.

Astraem menarik pedangnya. Aluna siap dengan mantra perisai.

“Tunggu,” bisik Orchid, “Itu dia... Erthar—Penjaga Waktu Palsu. Dulu adalah murid dari Kirei. Tapi gagal dalam ritual Penyerapan Takdir.”

Erthar mengangkat tangan dan seketika waktu di sekeliling mereka melambat. Angin membeku. Daun berhenti jatuh. Detak jantung jadi berat.

Astraem menahan napas. Dunia terasa seperti kaca cair yang menggumpal.

“Kirei tak ingin kalian mengganggu,” ucap Erthar. “Dan aku pun... ingin melihat seperti apa wajah ketakutan seorang pahlawan yang akan dilupakan oleh waktunya sendiri.”

Serangan dimulai.

---

Astraem menebas ke arah Erthar, tapi pedangnya terhenti di udara, seolah ditahan oleh kekosongan. Aluna melontarkan mantra cahaya tapi cahaya itu seperti tersedot ke balik waktu.

Orchid berteriak, “Serang jantungnya—di balik dada kiri! Dia menanam Mesin Waktu Hampa di sana!”

Astraem berpindah posisi cepat. Melompat ke sisi kiri, memutar pedang, lalu—

Clanggg!

Sabetan itu mengenai perisai waktu Erthar. Tapi retak.

Erthar mundur selangkah. Matanya, kini terlihat di balik topeng, menatap Astraem dengan kebencian.

“Kenapa kamu?” bisiknya. “Kenapa bukan aku yang terpilih jadi Penjaga Waktu Sejati?!”

Astraem menatap tajam. “Karena kau menyerah pada waktu. Aku memilih melawan.”

Dengan sekuat tenaga, Astraem mengisi pedangnya dengan energi dari Delapan Kutukan yang telah ditaklukkan. Cahaya di pedangnya bersinar seperti pelangi pecah.

Lalu—serangan terakhir!

Pedang menusuk dada Erthar. Mesin waktu di tubuhnya meledak, memecahkan waktu lokal di sekitar mereka menjadi serpihan cahaya.

Erthar jatuh, perlahan meleleh menjadi debu berkilau.

Sebelum menghilang, ia berkata pelan, “Kirei... akan memutar waktu... kalian akan melihat kegelapan... sejak kalian lahir...”

---

Mereka kembali naik Roc dan akhirnya tiba di Gerbang Teleportasi Pilar Waktu.

Dunia di sekitar mereka sudah tak tenang. Cahaya dari langit meruncing seperti tombak-tombak dewa. Suara gaib terdengar dari celah-celah udara. Dunia merintih.

“Kita tinggal punya satu minggu,” kata Orchid. “Setelah itu... langit pecah, waktu lumpuh.”

Astraem dan Aluna berdiri di depan gerbang. Cahaya emas menyelimuti mereka.

Perjalanan terakhir telah dimulai.

Tujuan mereka: Pilar Arah Waktu. Tempat semua cerita berakhir.