Langit di atas Pilar Arah Waktu tampak seperti pusaran takdir yang sedang menulis ulang sejarah.
Astraem melangkah masuk ke wilayah suci itu bersama Aluna dan Orchid. Pilar raksasa yang menjulang dari pusat dunia berdiri megah, membelah langit dan bumi, tertutup pahatan kuno yang bersinar samar.
Di sekitarnya, tanah retak seperti cangkang telur, menandakan bahwa sesuatu yang lebih tua dari dunia ini... sedang bangkit.
“Tempat ini tidak hanya menyimpan waktu,” bisik Orchid. “Tapi juga... keputusan yang belum pernah diambil.”
Aluna menggenggam tangan Astraem. “Kau merasa... aneh?”
Astraem mengangguk. “Seperti semua pilihan yang pernah kuambil... sedang menatap balik padaku.”
---
Mereka terus berjalan melewati lapisan-lapisan waktu. Ruang di sekitar mulai berubah. Bukan hanya warna dan suhu yang bergeser, tapi juga kenyataan.
Sesekali, Astraem melihat sosok dirinya sendiri—versi dirinya yang lain—berjalan berlawanan arah, menatap dengan tatapan kosong. Ada yang tersenyum, ada yang menangis, ada pula yang berdarah-darah.
“Bayangan waktu,” kata Orchid. “Kau sedang melewati kemungkinan yang tak jadi kau pilih.”
Di satu sisi, Astraem melihat dirinya tengah duduk bersama ibunya, tertawa lepas. Tapi dunia itu retak, dan ibunya memudar seperti kabut.
Astraem memalingkan wajah. Hatinya mulai bergetar.
“Kalau aku gagal di sini, semua versi itu akan hancur,” ucapnya pelan.
---
Tiba-tiba, mereka sampai di tangga besar menuju puncak Pilar. Di sana berdiri Kirei, mengenakan jubah hitam berhias simbol jam pasir yang membelah dua.
Di belakangnya, Kristal Neraka melayang di udara, mengisap cahaya dari segala arah. Dan di tangannya, Sisa Jiwa Dewa Kegelapan berdenyut seperti jantung dunia.
“Kau datang juga, Astraem,” kata Kirei tanpa menoleh. “Aku tahu kau akan sampai ke sini. Karena waktu... selalu membawamu padaku.”
Astraem maju satu langkah. “Kau mau memutar ulang dunia hanya demi egomu sendiri?”
Kirei perlahan menoleh. Matanya bukan lagi mata manusia. Tapi seperti pusaran tinta dan bintang yang berputar—mata yang sudah menatap waktu dari luar.
“Dunia ini gagal. Manusia selalu mengulangi kesalahan. Aku hanya ingin mengulang semuanya. Tapi kali ini... aku yang menulisnya.”
Aluna mengangkat tongkat sihirnya. “Kalau kau menghapus semua waktu, kau juga menghapus harapan, cinta, tawa, bahkan pertemuan kita!”
Kirei tertawa pelan.
“Itu harga kecil untuk masa depan yang sempurna.”
---
Pertarungan dimulai.
Kirei membentangkan tangannya, dan waktu di sekitar membeku. Awan diam di langit. Angin berhenti berhembus. Detak jantung seolah berdentum lambat sekali.
Tapi Astraem bergerak.
Ia mengaktifkan Jantung Cahaya, warisan dari Pilar Ketujuh yang telah ia taklukkan. Cahaya keemasan membungkus tubuhnya, dan ia menebas ruang di depan.
CLANGG!!
Pedangnya menabrak dinding waktu milik Kirei. Benturan itu menggetarkan seluruh puncak pilar.
Aluna memanggil roh penjaga, dan dari tanah muncul naga cahaya yang melesat menabrak Kirei. Tapi Kirei hanya mengangkat satu jari. Naga itu membeku di udara dan hancur jadi debu.
“Semuanya percuma,” kata Kirei. “Aku sudah satu dengan waktu.”
Tapi Astraem berteriak, “Tapi kau bukan satu dengan harapan!”
Ia melompat dan menghujamkan pedangnya dengan seluruh kekuatan kutukan yang telah ia taklukkan. Setiap kutukan berubah jadi cahaya: api, es, angin, bayangan, gemuruh, racun, kesunyian, dan kematian.
Delapan cahaya bersatu.
Pedang itu menabrak pelindung Kirei—dan retak.
Kirei terkejut. “Mustahil—!”
Saat perlindungan waktunya hancur, Aluna meluncurkan mantranya. Tapi sebelum mengenai Kirei, semuanya membeku.
---
Tiba-tiba, Astraem membuka mata.
Ia berada di padang rumput. Matahari bersinar terang. Tak ada Pilar. Tak ada Aluna. Tak ada Kirei.
“Ini… apa?” bisiknya.
Suara lembut menjawab dari belakangnya.
“Kau telah memasuki Ruang Inti Waktu. Di sinilah semua keputusan terakhir harus diambil.”
Astraem menoleh. Seorang pria tua duduk di atas batu. Wajahnya... mirip Astraem sendiri. Tapi lebih tua, lebih lelah, dan penuh luka.
“Aku... adalah kamu,” katanya. “Versi yang gagal menghentikan Kirei dulu.”
Astraem menelan ludah.
“Kenapa kau gagal?”
“Aku takut membuat pilihan terakhir. Takut mengorbankan sesuatu.”
Astraem terdiam. Hatinya gemetar. Ia tahu... ia juga harus memilih.
“Kau hanya bisa menghentikan Kirei,” lanjut sang bayangan, “kalau kau bersedia... menghapus semua ingatan tentangmu dari semua orang. Termasuk... Aluna.”
---
Astraem terduduk.
“Jadi... kalau aku menang... semua orang akan lupa aku pernah ada?”
“Ya. Tapi dunia akan selamat. Aluna akan hidup. Ibumu akan tersenyum lagi. Takdir akan tetap berjalan. Tanpa ingatan tentangmu.”
Astraem menutup mata. Semua kenangan datang seperti hujan badai: Aluna yang tertawa. Pertarungan dengan Orchid. Hari ia menolak menyerah meski sendiri.
Akhirnya ia berdiri.
“Baik,” ucapnya. “Kalau itulah harga menyelamatkan mereka... aku siap.”
Bayangan dirinya tersenyum. “Maka... kau adalah Astraem yang sejati.”
---
Tiba-tiba semuanya kembali. Pilar, langit, Kirei, Aluna—semua kembali bergerak. Tapi sekarang, mata Astraem menyala terang. Pedangnya bersinar seperti cahaya pertama dunia.
Dengan satu tebasan, ia menembus Kristal Neraka dan membelah Sisa Jiwa Dewa Kegelapan.
Kirei menjerit. Cahaya meledak. Pilar Arah Waktu bergetar hebat. Dunia seperti dicuci ulang oleh cahaya.
Dalam hening yang tiba-tiba, Astraem berlutut. Cahaya menyelubunginya, dan tubuhnya mulai memudar.
Aluna berlari, menjerit, “ASTRAEM!!”
Tapi cahaya itu menyerap segalanya. Dan dalam detik terakhir, Astraem berbisik:
“Terima kasih... sudah pernah mengenalku.”
Lalu ia lenyap.
Seperti tak pernah ada.