Dunia Tanpa Nama

Dunia telah berubah.

Langit tampak lebih biru. Sungai-sungai mengalir jernih, dan pepohonan tumbuh subur di tanah yang dulunya hangus oleh perang sihir. Tak ada lagi retakan waktu.

Tak ada lagi kutukan yang memburu jiwa manusia. Kristal Neraka telah musnah. Pilar Arah Waktu kini tinggal reruntuhan diam, seperti tulang-belulang raksasa yang dilupakan sejarah.

Orchid berdiri di tepi tebing, memandang horizon.

“Aneh,” bisiknya. “Kenapa rasanya... ada sesuatu yang hilang?”

Di belakangnya, Aluna duduk di bawah pohon, memegang buku harian yang kosong.

Sudah tiga hari sejak cahaya dari Pilar Arah Waktu menelan semuanya. Aluna terbangun di atas rerumputan, sendirian, dan tidak bisa mengingat mengapa ia menangis saat sadar.

Yang ia tahu: dunia telah selamat.

Tapi setiap malam, dadanya terasa sesak. Seperti ada lubang yang tak bisa ia jelaskan.

---

Di tengah Kota Silvarion, patung-patung pahlawan baru mulai didirikan. Nama-nama pejuang tertulis di atas tugu: Orchid, Aluna, panglima dari utara, dan ratusan lainnya. Tapi ada satu tempat kosong di antara tugu-tugu itu. Tempat di mana semestinya nama terakhir tertulis.

“Ini bukan kesalahan?” tanya seorang warga kepada petugas pemahat.

Pemahat itu menggeleng. “Kami tak pernah menerima nama untuk tempat itu. Tapi semua orang merasa... tempat itu memang harus ada.”

Orchid mendekati Aluna yang sedang melihat tugu kosong itu.

“Kau merasakan... sesuatu?”

Aluna mengangguk. “Aku tidak tahu siapa, tapi... aku yakin seseorang yang sangat penting pernah berdiri di sini. Dan sekarang... dia sudah tidak ada.”

Orchid memejamkan mata.

Di dalam hatinya, muncul kilasan: sorot mata tajam yang pernah ia kenal, suara pemuda yang selalu berkata “Jangan menyerah”, dan senyum... yang sekarang terasa seperti mimpi.

---

Di tempat lain, Kirei bangun dari tidur panjangnya.

Ia terbangun di dalam hutan, tubuhnya penuh luka, tapi jiwanya utuh. Semua kekuatannya telah lenyap. Tak ada lagi Kristal Neraka, tak ada lagi kutukan waktu.

Ia berjalan tertatih, lalu berhenti di danau.

Wajahnya sendiri memantul. Tapi ia melihat sesuatu di balik bayangan air.

Seorang pemuda. Berdiri diam. Wajahnya samar, tapi... penuh cahaya.

Kirei memucat.

“Astraem…?” desisnya, meski ia tak tahu kenapa nama itu keluar.

Tapi saat ia mengedipkan mata, bayangan itu menghilang.

---

Sementara itu, di balik batas dunia yang tidak diketahui manusia, seorang gadis kecil sedang melukis dengan jari di udara. Lukisannya bukan bentuk atau warna, tapi ingatan.

Gadis itu adalah Nya, entitas penjaga Arah Waktu.

Di hadapannya, berbaring tenang Astraem. Tubuhnya tidak sepenuhnya manusia. Tapi juga bukan roh. Ia berada di antara waktu dan takdir—tempat di mana pengorbanannya disimpan.

“Semua berjalan sesuai pilihanmu,” kata Nya lembut. “Mereka selamat. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang mengingat namamu.”

Astraem membuka mata perlahan. Tatapannya tenang, namun kosong.

“Aku... masih ada?”

Nya mengangguk. “Dalam sejarah dunia, tidak ada kamu. Tapi dalam benakku... kamu akan selalu ada.”

Astraem menatap tangannya. Tak ada luka. Tak ada senjata. Hanya keheningan.

“Apa ini akhir bagiku?”

Nya tersenyum kecil.

“Belum tentu.”

---

Di Silvarion, Aluna mulai mengalami mimpi aneh.

Dalam mimpinya, ia selalu berada di tepi jurang, memanggil nama yang tidak bisa ia dengar. Tapi tiap kali ia hampir mengingat... ia terbangun dengan air mata di wajahnya.

Malam itu, ia berjalan sendirian ke reruntuhan Pilar Arah Waktu.

Ia berdiri di tempat terakhir kali semuanya meledak dalam cahaya. Tanah masih hangus, tapi rumput liar mulai tumbuh pelan-pelan.

Ia meletakkan tangan di tanah dan berbisik.

“Aku tidak tahu siapa kau... tapi kalau kau pernah menyelamatkan dunia ini... terima kasih.”

Tiba-tiba, dari sela bebatuan, angin bertiup. Sebuah benda kecil melayang pelan: sehelai kain hitam dengan simbol bulan perak—simbol yang entah kenapa membuat hatinya berdetak lebih cepat.

Ia menggenggam kain itu erat-erat.

---

Di dalam Ruang Antara Waktu, Astraem duduk di tepi cahaya.

Nya mendekat dan berkata, “Satu jalur baru mulai terbuka. Tapi ini bukan jalurmu.”

Astraem menatapnya. “Apa yang kau maksud?”

Nya menunjuk ke arah di mana dunia manusia bergelora. “Aluna mulai mengingat... bukan dengan pikirannya, tapi dengan jiwanya. Itu... belum pernah terjadi sebelumnya.”

Astraem terdiam. Sebuah emosi muncul dari kedalaman jiwanya: harapan.

Nya melanjutkan, “Jika seseorang mengingatmu tanpa nama, tanpa wajah... maka takdir bisa membentuk jalur baru.”

Astraem berdiri perlahan. “Artinya... aku bisa kembali?”

Nya menggeleng. “Belum. Tapi dia... bisa datang padamu.”

---

Malam itu, di mimpi Aluna, ia kembali ke tepi jurang.

Tapi kali ini, ia tidak sendiri.

Seorang pemuda berdiri membelakangi cahaya, siluetnya memudar tapi terasa begitu... hangat.

“Aku tahu kau ada,” kata Aluna pelan.

Siluet itu tak menjawab. Tapi angin berbisik lewat rambutnya.

“Siapa namamu...?” tanya Aluna, bergetar.

Pemuda itu perlahan menoleh. Tapi wajahnya tertutup cahaya.

Lalu, sebelum menghilang, ia berkata:

“Namaku... akan kau temukan sendiri.”

---

Keesokan harinya, Aluna menulis sesuatu di buku harian yang sebelumnya kosong.

Hanya satu kalimat:

“Aku akan menemukanmu, siapa pun kau, apa pun kau.”