Jejak yang Tak Terhapus

Angin fajar berhembus pelan di atas reruntuhan Pilar Arah Waktu. Embun menggantung di ujung rumput, dan cahaya mentari menyusup lewat celah-celah bebatuan yang dulu menyimpan rahasia semesta.

Di tengah reruntuhan itu, Aluna berdiri sendiri, mengenakan jubah coklat lusuh dan membawa buku harian yang kini sudah tak lagi kosong.

Setiap halaman dipenuhi nama-nama. Nama-nama pejuang. Nama-nama korban. Nama-nama sahabat.

Dan satu halaman terakhir... kosong.

Hanya satu simbol yang tergambar di situ—lambang bulan perak yang ia temukan tempo hari. Ia belum tahu maknanya. Tapi setiap kali menatapnya, dadanya bergemuruh, seolah jiwanya berbicara sendiri.

“Siapa pun kamu,” bisik Aluna. “Aku akan mencarimu. Meskipun dunia ini tak lagi mengenalmu.”

Orchid, yang kini menjabat sebagai Penasihat Tinggi Silvarion, mendekatinya dari belakang.

“Kau masih memikirkan mimpi-mimpi itu?”

Aluna mengangguk. “Aku tak bisa mengabaikannya. Ada sesuatu... atau seseorang... yang menunggu.”

Orchid menatap reruntuhan dengan pandangan nanar.

“Setiap kali aku bermeditasi, aku melihat bayangan seseorang yang pernah kupercayai. Tapi aku tak bisa mengingat namanya. Rasanya... seperti kehilangan lengan kanan, tapi tak tahu kapan ia terpotong.”

“Bagaimana kalau kita mulai mencari?” kata Aluna.

“Mencari apa?”

“Jejak. Di luar dunia yang kita kenal. Di batas antara takdir dan ingatan.”

---

Hari itu, perjalanan mereka dimulai.

Orchid dan Aluna menembus belantara, mendaki gunung, melintasi hutan-hutan yang dihuni makhluk penjaga waktu. Setiap tempat yang mereka datangi, mereka bertanya pada penduduk, pada penjaga roh, pada batu-batu kuno:

“Apakah kau pernah melihat sosok yang tidak bernama?”

Jawabannya selalu sama: diam.

Hingga suatu malam, saat mereka berkemah di lembah dekat Danau Ruma, seekor burung putih datang dan menjatuhkan gulungan kertas ke pangkuan Aluna.

Saat dibuka, hanya satu kalimat tertulis:

> “Jalanmu bukan ke masa lalu. Tapi ke tempat di mana waktu tak pernah berjalan.”

Orchid menatap langit.

“Itu... Ruang Antara Waktu.”

Aluna menggenggam pesan itu. “Bagaimana kita ke sana?”

“Aku tidak tahu. Tapi ada satu makhluk yang mungkin tahu.”

---

Mereka pergi menemui Kirei, yang selama ini mengasingkan diri di Hutan Minerva.

Kirei tampak jauh berbeda. Wajahnya tak lagi dipenuhi kebencian, dan rambutnya telah memutih sebagian. Ia seperti seseorang yang sedang menebus masa lalunya.

“Aku tahu kalian akan datang,” katanya pelan.

“Kami ingin tahu,” ujar Aluna, “bagaimana caranya masuk ke Ruang Antara Waktu.”

Kirei terdiam lama. Kemudian ia membuka lengan bajunya, menunjukkan luka berbentuk spiral yang memancarkan cahaya biru redup.

“Waktu adalah kutukan sekaligus kunci. Dulu, aku menggunakannya untuk kehancuran. Tapi mungkin... kalian bisa memakainya untuk pengharapan.”

Ia menyerahkan sebuah serpihan kristal kecil.

“Pecahan terakhir dari Pilar Arah Waktu. Satu-satunya jalur masuk ke Ruang Antara. Tapi hanya bisa dibuka oleh dua jiwa yang memiliki... kenangan yang tak pernah terucap.”

Aluna dan Orchid saling berpandangan.

“Apa maksudnya?” tanya Orchid.

“Artinya,” jawab Kirei, “kalian harus percaya pada sesuatu yang bahkan tak kalian ingat. Hanya dengan itu jalur akan terbuka.”

---

Malam itu, mereka berdua berdiri di tepi tebing. Aluna menggenggam pecahan kristal, dan memejamkan mata.

“Aku tidak tahu siapa dia,” bisiknya, “tapi aku tahu... aku pernah menangis karenanya. Dan aku ingin bertemu lagi.”

Orchid pun mengangkat tangannya. “Dan aku... pernah bertarung bersamanya. Aku percaya itu.”

Begitu kata terakhir terucap, angin berhenti. Langit mendadak diam.

Dan sebuah pintu—melengkung, bercahaya seperti cermin air—muncul di udara. Bergetar pelan, menunggu untuk dilintasi.

Tanpa ragu, mereka melangkah masuk.

---

Mereka terjatuh ke dalam ruang hampa.

Tidak ada langit. Tidak ada tanah. Hanya cahaya yang membentuk jalur-jalur seperti jaring laba-laba. Di kejauhan, sosok Nya berdiri menunggu, matanya seperti bintang.

“Kalian datang,” katanya.

“Di mana dia?” tanya Aluna. “Pemuda yang namanya tak kami ingat?”

Nya tersenyum kecil. “Dia ada di sini. Tapi dunia telah melupakan namanya. Hanya kalian yang bisa membangunkannya.”

Ia menunjuk ke sebuah pohon putih di kejauhan. Di bawahnya, Astraem tertidur. Napasnya pelan. Tubuhnya nyaris transparan.

Orchid dan Aluna mendekat.

Aluna berlutut. “Aku... aku tidak tahu namamu. Tapi aku tahu rasanya kehilanganmu. Aku tahu aku pernah tertawa dan menangis bersamamu.”

Air mata menetes.

“Aku tahu aku mencintaimu.”

Dan saat kata terakhir itu keluar, tubuh Astraem mulai bersinar.

---

Pelan-pelan, jiwanya kembali padat.

Ia membuka mata. Pandangannya kabur, tapi... ia mengenali suara itu.

“Aluna...?”

Suara itu gemetar. Tapi nyata.

Aluna terisak.

“Aku menemukamu... akhirnya...”

Orchid tersenyum. “Selamat datang kembali, Astraem.”

---

Langit Ruang Antara pecah dengan cahaya emas.

Nya berdiri di balik mereka, tersenyum lebar. “Dengan kalian mengingatnya... dunia akan menulis ulang takdir.”

Astraem berdiri, tubuhnya kini utuh.

“Kenapa aku masih hidup?”

Nya menjawab, “Karena kau tak pernah mati. Kau hanya tersembunyi dari sejarah. Tapi jiwa manusia yang benar-benar mengingat... tidak bisa dibungkam oleh waktu.”

Dengan satu gerakan tangan Nya, sebuah pintu baru muncul—menuju dunia luar. Tapi kini, dunia itu telah berubah. Ia telah menyimpan kembali nama yang hilang: Astraem.

---

Tiga bulan kemudian.

Festival Cahaya diadakan kembali di Silvarion.

Kali ini, ada tugu terakhir yang sebelumnya kosong... kini memiliki nama: ASTRAEM – Sang Penjaga Arah Waktu.

Orchid berdiri di sampingnya, mengenakan pakaian penasihat.

Di tengah kerumunan, Astraem menggenggam tangan Aluna. Keduanya berjalan perlahan di antara tenda-tenda, dikelilingi sorak-sorai.

“Jadi... bagaimana rasanya menjadi legenda yang dilupakan lalu diingat kembali?” tanya Aluna.

Astraem tersenyum. “Luar biasa. Tapi yang paling penting... aku kembali bersamamu.”

Aluna menyandarkan kepala di bahunya.

Dan di langit malam, ribuan lentera terbang, membawa nama-nama, membawa harapan, membawa cinta yang melintasi waktu.