Pintu Ketujuh

Langit seperti menahan napas ketika Astraem dan Aluna berdiri di hadapan Gerbang Ketujuh—pintu terakhir menuju “Sumber Cahaya”, tempat para Dewa menyaksikan siapa yang pantas menyandang takdir tertinggi.

Gerbang itu menjulang tinggi, dilapisi ukiran tak dikenal, berpijar biru muda, dan berdenyut pelan seolah hidup. Di atasnya, tertera kalimat yang seolah ditulis dengan cahaya bintang: “Tak semua yang tiba, mampu masuk.”

Astraem menggenggam tangan Aluna yang gemetar. Ia tahu luka di pundak gadis itu masih belum pulih usai pertarungan melawan Bayangan Gelap di Sungai Kedelapan. Tapi Aluna, seperti biasa, tetap berdiri tegak di sisinya.

Di belakang mereka, Kheva, Gantar, dan Sinara menahan sisa-sisa pasukan bayangan yang berhasil keluar dari Retakan Waktu. Ledakan dan raungan terdengar dari kejauhan, tapi Astraem tahu: ini saatnya ia melangkah sendirian.

“Gerbang ini hanya bisa dibuka oleh satu jiwa,” ujar suara tua tiba-tiba dari balik kabut. Sosok berjubah kelabu muncul perlahan—Dewa Penjaga Gerbang Ketujuh. “Yang lain, tidak diizinkan masuk. Bahkan cinta pun, harus berhenti di ambang ini.”

Aluna melangkah maju, ingin membantah, tapi Astraem menahannya.

“Tidak apa,” ujar Astraem pelan. “Kalau ini harus kulalui sendiri, aku akan kembali dengan cahaya.”

Aluna menatapnya dalam, lalu melepas kalung dari lehernya—manik-manik berwarna langit senja—dan menggantungkannya di leher Astraem. “Kalau kamu lupa arah pulang, ini akan ingatkan kamu tentangku.”

Astraem menggenggam kalung itu sejenak, lalu melangkah maju. Begitu kakinya menyentuh lantai putih di depan gerbang, dunia seolah memudar.

Lalu, terbuka.

---

Ia tak tahu apakah ia masih di bumi atau sudah di dimensi lain. Tapi cahaya di sekitarnya begitu lembut, seakan memeluk seluruh tubuh dan menghapus segala suara. Tapi saat Astraem melangkah lebih dalam, ia melihat seseorang berdiri di tengah cahaya.

Seseorang... yang sangat ia kenal.

“Itu aku...?” bisiknya.

Sosok itu memang dirinya—tapi lebih tua, matanya tenang, sorotnya seperti lautan yang tak lagi beriak. Ia mengenakan jubah putih, lambang para Dewa. Tapi ada sesuatu yang hampa di wajahnya, seperti seseorang yang sudah lupa bagaimana rasanya tertawa.

“Aku adalah dirimu, jika kau lulus Ujian Dewa,” ucap sosok itu. “Dan aku datang untuk mengajukan satu pertanyaan.”

Astraem menegang.

“Jika kamu menjadi Dewa… siapa yang akan kamu tinggalkan?”

Pertanyaan itu terdengar sederhana. Tapi rasanya seperti petir yang menghantam dada.

“Aluna…” jawabnya lirih. “Dan Kheva, Sinara, Gantar… semua…”

“Lalu, apakah kamu siap kehilangan mereka? Tidak hanya dalam bentuk tubuh… tapi juga dalam ingatan. Dewa tidak diizinkan membawa kenangan manusia saat naik ke langit. Kamu akan melupakan mereka, satu per satu.”

Astraem menggertakkan giginya. “Kenapa harus begitu?”

“Karena Dewa tidak boleh memiliki ikatan personal. Hanya dengan hati yang kosong, seorang Dewa bisa melihat dunia dengan adil,” jawab sosok itu tenang. “Keadilan tidak berpihak pada cinta.”

Astraem menggeleng. “Tapi kalau aku melupakan cinta, apa gunanya jadi Dewa? Bukankah Cahaya lahir dari cinta?”

Sosok itu terdiam, lalu berkata, “Itulah ujian terakhir: bukan kekuatan, bukan kepintaran, tapi keberanian untuk memilih. Kamu bisa menolak jadi Dewa dan hidup sebagai manusia bersama mereka. Atau kamu naik… dan kehilangan semuanya.”

Astraem terduduk. Dunia di sekitarnya berubah—menampilkan bayangan masa depan. Ia melihat dirinya duduk sendirian di istana langit, tak mengenali siapa pun, tak mengenal bahkan nama Aluna. Tapi ia juga melihat bahwa dalam versi itu, dunia damai. Cahaya menyebar ke pelosok semesta.

Lalu bayangan lain muncul: ia memilih tetap bersama Aluna, membangun kehidupan biasa, tapi bayangan gelap dari Retakan perlahan menelan dunia. Dunia hancur karena ia tidak menjadi Dewa yang dibutuhkan semesta.

Pilihan itu seperti luka.

---

Tiba-tiba, suara jeritan menggema.

“Astraem!!”

Itu suara Aluna. Ia berlari ke dalam ruangan cahaya, tubuhnya berdarah, wajahnya pucat.

“Bagaimana kau bisa masuk?!” seru Astraem, bangkit panik.

“Sama sekali nggak penting! Jangan ragu hanya karena aku!” Aluna menatapnya dengan air mata. “Kau harus jadi Dewa… bukan demi aku, tapi demi semua anak-anak di bumi yang masih percaya pada cahaya!”

Suara itu membuat Astraem menoleh pada versi tuanya. Dan entah kenapa, sosok itu tersenyum tipis.

“Pilihan ada padamu. Tapi kini kau tahu, bahwa jadi Dewa adalah jadi yang paling sepi.”

Astraem menarik napas dalam. Matanya menatap langit-langit cahaya, lalu menunduk, lalu menggenggam kalung pemberian Aluna.

Ia menutup mata. Dan berkata:

“Kalau memang aku harus naik… aku akan naik dengan satu nama di hatiku. Jika langit mau menghapus, maka biarlah langit yang berdosa. Tapi aku tidak akan melepaskan kenangan.”

Cahaya meledak. Gerbang terakhir terbuka. Suara Dewa Agung menggema:

“Ujian terakhir telah dimulai.”

---

Di luar sana, langit pecah oleh kilatan cahaya. Kheva dan Gantar nyaris roboh menahan pasukan bayangan. Sinara, dengan sihir anginnya, memutar pusaran pelindung terakhir.

Namun ketika langit bersinar keemasan, seluruh pasukan bayangan membeku. Seolah ada kekuatan baru yang turun perlahan.

Astraem muncul dari Gerbang Ketujuh, tubuhnya bersinar putih keemasan. Tapi matanya tetap sama.

Ia menatap Aluna yang menangis.

Dan berkata:

“Belum selesai. Tapi aku tahu jalannya sekarang.”

Babak terakhir Ujian Dewa telah dimulai.