Langit bergemuruh. Cahaya dari tubuh Astraem tak lagi putih biasa. Ia berkilau keemasan, berpendar biru seperti aurora, tapi juga menyisakan bayangan hitam tipis yang menari di ujung jubahnya. Ujian belum selesai.
Dari balik Gerbang Ketujuh yang kini terbuka penuh, suara para Dewa menggema:
> “Wahai Astraem, yang membawa Cahaya dari bawah.
Kau telah memilih membawa kenangan.
Maka, sebelum naik ke Takhta Langit, lawanlah ragu dalam dirimu.
Karena langit tak menerima Dewa yang goyah.”
Tiba-tiba, tanah bergetar. Dari bawah kakinya, terbentuk lingkaran cahaya yang membentuk arena, luas, tanpa tepi, menggantung di antara langit dan bumi.
Lalu, dari sisi seberang arena, muncul sesosok makhluk…
Bukan, bukan makhluk.
Itu dirinya sendiri.
Tapi bukan yang tadi ia temui di ruang cahaya. Ini versi Astraem yang... kosong. Dingin. Mata hitam mengilat, jubah dewa tanpa simbol, ekspresi tanpa rasa.
"Siapa... kau?" tanya Astraem dengan suara parau.
Sosok itu berjalan pelan, namun mantap. “Aku adalah dirimu jika kau memilih jadi Dewa tanpa membawa apa pun dari dunia manusia. Aku adalah Astraem murni. Tanpa cinta. Tanpa nama. Tanpa Aluna.”
Jantung Astraem mencelos. Bukan karena takut, tapi karena ia bisa membayangkan betapa sunyinya sosok ini.
“Aku dipilih oleh langit. Bukan karena aku kuat, tapi karena aku bersih,” lanjut sosok itu. “Sedangkan kamu... terkotori oleh cinta dan janji. Langit tak bisa menerima Dewa yang membawa beban.”
Astraem menggenggam pedangnya yang perlahan muncul dari cahaya—Pedang Aegion, simbol Cahaya Leluhur. Tapi entah mengapa, hari ini pedangnya tampak lebih... hidup.
“Kalau kau benar-benar aku, kau pasti tahu,” ujar Astraem. “Cinta bukan beban. Ia bahan bakar. Dan ingatan bukan kotoran. Ia akar.”
“Lalu buktikan,” kata sosok itu dingin. “Karena hanya salah satu dari kita yang akan diterima langit.”
---
Duel dimulai.
Langit menghitam. Petir menyambar ke segala arah. Tubuh mereka berdua melesat ke tengah arena.
Benturan pertama menggetarkan ruang. Pedang mereka saling menghantam, menciptakan gelombang yang menyebar sejauh gunung dan lembah.
Di bawah sana, Aluna dan yang lain hanya bisa memandang dari kejauhan, mata mereka terbelalak, jantung berdebar seirama dengan dentuman di langit.
Serangan demi serangan datang. Tapi semakin lama, Astraem mulai sadar: lawannya tidak lelah. Tidak ragu. Tidak takut.
Karena... ia tidak punya apa pun.
Astraem mulai goyah. Bukan karena kalah kekuatan, tapi karena pikirannya dipenuhi bayangan: wajah Aluna, suara Kheva yang dulu mengajarinya ilmu tempur, tawa Sinara saat malam menjelang di lembah barat.
Semua kenangan itu... kini seperti pedang bermata dua.
Lawannya menyerang tanpa jeda. “Kau lemah karena kau mencintai!”
“Tidak!” balas Astraem, menangkis.
Tapi lawannya tertawa.
“Kalau benar cinta membuatmu kuat, kenapa kau menangis waktu kehilangan?”
Astraem berhenti sejenak.
Dan itu kesalahan fatal.
Pedang lawan menembus pertahanannya. Sayatan tipis muncul di lengan kiri. Darah menetes. Untuk pertama kalinya dalam ujian, Astraem berdarah.
---
Aluna berteriak dari kejauhan, tapi tak terdengar. Di arena, suara satu-satunya adalah detak jantung.
Astraem terhuyung. Lututnya menyentuh lantai cahaya. Pedangnya bergetar. Tapi justru saat itu... sesuatu muncul.
Bukan dari langit.
Tapi dari dalam dirinya sendiri.
Suara Ibu.
> “Nak, jangan takut jatuh. Karena yang jatuh… bisa melihat bintang lebih dekat.”
Lalu suara Ayah.
> “Kamu bukan anak terkuat, tapi kamu selalu tahu siapa yang perlu kamu lindungi.”
Dan terakhir, suara Aluna.
> “Kalau semua cahaya mati... kamu masih tetap nyala buat aku.”
Astraem perlahan berdiri. Darah masih menetes, tapi kini matanya menyala. Pedangnya bersinar lebih terang, kali ini dengan warna yang tak pernah muncul sebelumnya—ungu perak, warna yang melambangkan perpaduan antara Cahaya dan Hati.
Sosok kosong itu menatapnya.
“Apa yang kau lakukan?”
“Aku memilih,” jawab Astraem.
Lalu ia mengangkat pedang, dan kali ini... ia tidak menyerang.
Ia hanya membuka dada, menundukkan kepala.
“Kalau memang aku harus mengalahkanmu... bukan dengan kekuatan. Tapi dengan menerima bahwa aku punya luka. Dan luka itu yang membuatku manusia.”
Sosok itu tampak goyah.
“Langit tidak menerima keraguan...”
“Langit boleh menolak. Tapi bumi akan terus memanggil.” Suara Astraem mantap.
Tiba-tiba... cahaya di arena meluap. Sosok lawan Astraem menjerit—bukan karena kalah dalam duel, tapi karena lenyap oleh penerimaan. Ia bukan dikalahkan, tapi dibebaskan.
Ia adalah bagian dari Astraem yang menolak cinta, dan kini... diterima kembali ke dalam jiwa utuhnya.
---
Saat Astraem membuka mata, ia berdiri sendirian di tengah arena. Cahaya melingkupi tubuhnya, kali ini lebih lembut, tak menyilaukan.
Suara para Dewa kembali menggema.
> “Wahai Astraem, Cahaya dari Bawah.
Ujian Dewa telah selesai.
Kau bukan lagi murid.
Tapi pemilik jalan.
Kami undang kau ke langit,
untuk menerima Takhtamu.”
Langit terbuka.
Tangga cahaya menurun dari awan.
Aluna dan yang lain melihat dengan mata berkaca.
Astraem menoleh ke bawah, ke arah mereka. Ia menatap Aluna lama sekali.
“Terima kasih… sudah percaya, bahkan saat aku sendiri ragu.”
Aluna menahan tangis. “Jangan lupakan aku.”
Astraem tersenyum, menepuk dada tempat kalung itu tergantung.
“Aku tidak akan biarkan langit mencuri semua kenanganku.”
Ia melangkah ke atas tangga cahaya.
Langkah demi langkah, tubuhnya mulai melayang, jubahnya memanjang, auranya membesar. Dari bawah, terlihat seperti bintang baru lahir.
Sebelum ia menghilang sepenuhnya, ia sempat berbisik.
> “Tunggu aku di tepi langit.”