Tangga itu bukan sekadar cahaya. Ia hidup. Ia bernapas.
Setiap anak tangganya terbuat dari waktu. Dari kenangan. Dari serpihan doa yang dulu dilantunkan manusia saat menengadah ke langit, mengharapkan keajaiban. Dan kini, Astraem melangkah di atasnya.
Satu langkah ke atas, lalu ke atas lagi.
Dan setiap langkah terasa seperti menjauh dari dunia yang telah membesarkannya.
Dari bawah, bumi tampak seperti bulatan kecil yang bersinar biru, dikelilingi awan tipis dan gelombang kabut cahaya. Ia bisa melihat lembah tempat ia dilahirkan, reruntuhan kuil tua tempat ia dilatih, dan… bayangan Aluna yang berdiri menatapnya, dari antara kerumunan manusia.
Astraem menutup mata. Ia ingin mengabadikan wajah itu, sebelum langit menghapus segalanya.
> “Langit bukan tempat untuk yang masih memandang ke bawah,” bisik suara gaib dalam benaknya.
Tapi ia menjawab dalam hati:
“Aku tak memandang ke bawah—aku memandang akar.”
Dan langkahnya terus berlanjut.
---
Langit bukan satu ruang. Ia berlapis.
Astraem melewati Langit Pertama, di mana suara masa lalu menggema. Ia mendengar suara anak kecil—dirinya sendiri—menangis di malam badai. Lalu suara ibunya menenangkan dengan nyanyian lembut.
> “Kalau kau takut, peluk cahaya dalam dada.”
Langkahnya terhenti sejenak.
Ia ingin berbalik. Tapi tangga tak mengizinkan. Di langit, hanya ada satu arah: naik. Maka ia menarik napas dan melanjutkan.
---
Di Langit Kedua, udara berubah.
Suhu di sini bukan dingin atau panas, tapi penuh keraguan. Angin menggiring bisikan:
> “Kau yakin layak jadi Dewa?
Bagaimana jika ada yang lebih kuat?
Apa kau sanggup menanggung harapan umat?”
Astraem terdiam.
Ia nyaris kehilangan keseimbangan.
Namun dari lehernya, kalung Aluna menyentuh kulit.
Dan tiba-tiba, suara gadis itu muncul dalam ingatannya:
> “Kalau kamu tidak yakin, izinkan aku jadi yakinnya kamu.”
Tangga kembali bersinar.
Langkah demi langkah, Astraem naik, dan bisikan pun menghilang seperti debu.
---
Langit Ketiga.
Cahaya di sini keemasan. Awan tak lagi putih, tapi perak. Di sini, ia disambut oleh roh para Dewa Leluhur.
Tiga sosok melayang di sekelilingnya, jubah mereka panjang, wajah mereka penuh ketenangan.
Salah satu dari mereka—seorang perempuan bertanduk cahaya—bertanya:
> “Astraem, apa kau tahu apa yang akan kau tinggalkan?”
Astraem mengangguk.
“Nama. Tubuh. Dan waktu.”
Sosok itu melayang lebih dekat. “Dan kau rela?”
Astraem menatap lurus. “Tidak. Tapi aku memilih.”
Jawaban itu membuat ketiga sosok itu tersenyum samar, lalu lenyap perlahan, seperti kabut yang diterpa fajar.
Tangga terus naik.
---
Di Langit Keempat, langit gelap. Gelap total. Seperti ruang hampa.
Astraem melangkah, dan setiap langkah terasa seperti menembus kabut kenangan. Wajah-wajah yang dulu ia temui muncul sekilas: Kheva, Sinara, Ren, anak-anak desa, guru-gurunya, bahkan musuh-musuh lamanya.
Namun ada satu yang muncul terakhir, paling jelas—Bayangan dirinya sendiri saat pertama kali tiba di bumi, tanpa ingatan, tanpa nama.
> “Kau sudah sejauh ini.
Tapi masih membawa aku?”
Astraem tersenyum lelah. “Karena kalau aku tinggalkan kamu, aku tak tahu siapa aku sekarang.”
Bayangan itu menunduk. “Kalau begitu, biarkan aku tinggal di bumi.”
Dan perlahan, ia menghilang.
Kini, Astraem benar-benar sendiri.
---
Langit Kelima.
Tangga semakin tipis, seperti benang cahaya yang nyaris tak terlihat. Udara di sini… berat. Tapi juga ringan. Tak ada suara. Tak ada rasa.
Hanya satu yang tersisa: kesadaran.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya sejak naik tangga ini, Astraem menangis.
Bukan karena takut.
Tapi karena ia tahu, sesampainya di atas, ia akan jadi Dewa—dan tidak akan pernah bisa kembali menjadi Astraem yang dikenali oleh Aluna dan dunia.
Ia akan jadi simbol. Bukan manusia.
Dan tangis itu... bukan untuk dirinya.
Tapi untuk janji yang mungkin tak bisa ia tepati.
---
Namun, saat air matanya menetes, cahaya di dadanya berpendar. Kalung itu bergetar pelan.
Lalu suara lembut—sangat lembut—berbisik dari entah mana:
> “Aku tak butuh kamu jadi manusia selamanya.
Aku cuma butuh kamu ingat siapa kita dulu.”
Itu suara Aluna.
Atau mungkin hanya gema hatinya sendiri.
Tapi suara itu cukup untuk membuatnya melangkah sekali lagi.
Tangga terakhir. Anak tangga ke-108.
Saat kakinya menginjak puncak, cahaya meledak di sekeliling.
Dan Astraem tiba di Langit Keenam—Gerbang Utama.
---
Gerbang itu megah. Tak berbentuk dinding, tapi pusaran cahaya membentuk lengkungan yang berubah warna. Di hadapannya berdiri Empat Penjaga Langit, masing-masing memegang senjata dan kitab.
Salah satu dari mereka melangkah maju.
> “Astraem, Cahaya dari Bawah.
Kau telah menyelesaikan 45 bab ujian di bumi.
Telah melewati tangga Cahaya.
Tinggalkan nama dunia, dan kami akan lantik kau sebagai Dewa penuh.”
Astraem diam.
Kemudian ia bertanya:
“Kalau aku tinggalkan nama... siapa yang akan mereka panggil saat berdoa?”
Salah satu Penjaga menjawab, “Nama tak penting di langit. Yang penting adalah cahaya.”
Tapi Astraem menggeleng.
> “Kalau begitu, biarkan aku jadi Dewa dengan nama yang mereka kenal.
Astraem. Yang pernah mencintai. Yang pernah gagal. Yang pernah berjanji.
Karena kalau tidak... aku cuma dewa, bukan harapan.”
Para Penjaga saling berpandangan.
Lalu salah satu dari mereka—yang paling tua—tersenyum.
> “Baiklah, Astraem.
Dewa pertama yang naik ke langit dengan luka terbuka dan cinta utuh.
Kami akan hormati itu.”
Gerbang pun terbuka perlahan.
Astraem melangkah masuk.
---
Dan di dalam…
Langit sejati terbentang.
Bukan awan. Bukan bintang.
Tapi cahaya tak berujung, dan takhta besar yang terbuat dari puing waktu dan serpihan harapan manusia.
Di sana, ia akan dilantik.