Langit biru itu adalah hal pertama yang Eudora sadari, bukan biru yang dikenalnya dari langit Bumi yang kadang berawan, kadang kelabu, atau bahkan jingga saat senja. Ini adalah biru yang terlalu sempurna, terlalu jernih, seolah alam semesta baru saja dicuci bersih. Dan ada dua matahari. Dua. Bukan satu, melainkan dua bulatan raksasa yang menggantung angkuh di cakrawala, satu berwarna keemasan yang familiar, satu lagi dengan rona keperakan yang aneh, memancarkan cahaya yang lebih lembut namun tak kalah intens. Cahaya kembar itu menembus kanopi hutan yang menjulang tinggi, melukis lantai hutan dengan pola cahaya yang bergerak, yang menurut Eudora adalah pengingat konstan bahwa ia tidak lagi berada di bawah fisika satu matahari yang bisa diprediksi.
Kepalanya berdenyut, rasa sakit yang tumpul namun persisten, seolah otaknya baru saja digunakan sebagai sasaran tembak dalam permainan dart kosmik. Ada bau tanah basah, lumut, dan sesuatu yang asing—manis namun tajam, seperti campuran bunga tropis dan logam yang dipanaskan. Eudora mencoba menggerakkan jari-jarinya. Berhasil. Lalu lengannya. Juga berhasil, meski terasa berat, seolah setiap ototnya baru saja menyelesaikan maraton tanpa pemanasan. Ia mengerang, suaranya serak dan asing di telinganya sendiri.
"Ugh… di mana aku?" bisiknya, tenggorokannya kering dan perih. Kata-katanya terdengar hampa, ditelan oleh keheningan hutan yang hanya dipecah oleh suara serangga aneh yang berdengung dan gemerisik daun.
Ia mencoba membuka mata sepenuhnya, kelopak matanya terasa seperti terbuat dari timah. Ketika berhasil, pandangannya kabur sesaat, lalu perlahan fokus pada dedaunan raksasa di atasnya. Daun-daun itu berwarna hijau zamrud, tapi ada juga yang ungu tua, bahkan merah menyala, menciptakan mosaik warna yang memusingkan. Batang pohonnya tebal, ditutupi lumut berpendar yang memancarkan cahaya redup, bahkan di bawah terik matahari kembar. Ini bukan hutan di Bumi. Tidak mungkin.
Eudora, seorang fisikawan teoretis dengan spesialisasi dalam mekanika kuantum dan teori medan, terbiasa dengan ketertiban dan prediksi. Alam semesta baginya adalah serangkaian persamaan elegan yang bisa dipecahkan, bahkan jika hasilnya kadang-kadang aneh. Tapi ini? Ini adalah anomali yang belum pernah ia temui. Insiden portal. Itu adalah kata terakhir yang ia dengar sebelum kegelapan menelannya. Sebuah eksperimen yang seharusnya membuka jalan bagi perjalanan antar dimensi yang aman, sebuah terobosan yang akan mengubah peradaban. Seharusnya.
Ia mencoba duduk, rasa pusing menyerangnya lagi. Tangannya menyentuh sesuatu yang lembut dan lembap—tanah. Ia mengenakan pakaian kerjanya: jaket lab yang robek di bahu, celana kargo yang kotor, dan sepatu bot lapangan yang sudah usang. Tidak ada luka serius yang terlihat, hanya memar di sana-sini dan rasa sakit di sekujur tubuh. Rambutnya yang biasanya terikat rapi kini tergerai berantakan, beberapa helainya menempel di pipinya yang kotor.
"Baiklah, Eudora," ia berbicara pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Analisis situasinya. Lingkungan asing, dua matahari, vegetasi non-terestrial. Hipotesis: perpindahan dimensi atau… mimpi yang sangat, sangat realistis. Mengingat rasa sakit ini, aku condong ke hipotesis pertama."
Ia berhasil duduk tegak, bersandar pada batang pohon yang ditumbuhi jamur pipih berwarna biru neon. Matanya memindai sekeliling. Hutan ini terasa hidup, namun juga mengancam. Setiap bayangan tampak menyembunyikan sesuatu, setiap suara gemerisik daun terasa seperti langkah kaki predator. Insting primitif yang jarang ia rasakan di laboratoriumnya yang steril kini berteriak di otaknya.
Tiba-tiba, sebuah gerakan di semak-semak menarik perhatiannya. Eudora menahan napas. Otaknya, yang terbiasa memproses data kompleks, secara otomatis mulai mengkatalog: ukuran sekitar satu meter, empat kaki, kulit bersisik hijau tua, dan sepasang mata kuning yang memantulkan cahaya matahari kembar. Itu bukan kadal biasa. Cakar-cakarnya terlalu besar, gigi-giginya terlalu tajam, dan liur yang menetes dari moncongnya memiliki viskositas yang mencurigakan, membentuk untaian lengket yang menetes ke tanah.
Oke, catat, pikirnya dengan panik, aku akan dimakan oleh seekor kadal berotot yang tidak aerodinamis. Ini adalah akhir yang ironis untuk seorang fisikawan teoretis.
Makhluk itu, yang kemudian ia kenali sebagai Beastkin kecil, mengeluarkan suara mendesis rendah, seperti uap yang keluar dari katup yang rusak. Ia melangkah maju, perlahan, seolah menguji reaksi Eudora. Eudora mencoba mundur, tetapi punggungnya sudah menempel pada batang pohon. Jantungnya berdebar kencang di dadanya, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Otot-ototnya tegang, siap untuk melarikan diri, meskipun ia tidak tahu ke mana.
"Hei, Nak," Eudora mencoba, suaranya gemetar. Ia mengangkat tangannya, gerakan universal untuk "jangan mendekat". "Tenang saja. Aku tidak punya makanan. Aku juga tidak enak. Aku lebih banyak kafein dan kecemasan daripada daging."
Beastkin itu hanya memiringkan kepalanya, matanya yang kuning menatapnya dengan intens. Kemudian, dengan kecepatan yang mengejutkan, ia menerjang. Eudora berteriak, bukan teriakan ilmiah yang tenang, melainkan jeritan murni, insting bertahan hidup yang mengambil alih. Ia berguling ke samping, menghindari terkaman Beastkin yang nyaris mengenai kakinya.
Ia bangkit, kakinya goyah, dan mulai berlari. Tidak ada arah yang jelas, hanya keinginan untuk menjauh dari makhluk bersisik itu. Hutan terasa seperti labirin yang tak berujung, setiap pohon tampak sama, setiap semak terasa seperti jebakan. Cabang-cabang menggores wajah dan lengannya, lumpur lengket menghisap sepatu botnya. Ia bisa mendengar suara Beastkin itu di belakangnya, suara cakar yang berderap di tanah, napas mendesis yang semakin dekat.
Paru-parunya terasa terbakar, otot-ototnya menjerit protes. Ia bukan seorang atlet; sebagian besar hidupnya dihabiskan di depan layar komputer atau papan tulis, menulis persamaan yang rumit. Lari maraton bukanlah keahliannya. Ia tersandung akar pohon yang menonjol, jatuh tersungkur ke tanah yang lembap. Beastkin itu segera mendekat, moncongnya yang runcing hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya. Bau napasnya busuk, seperti bangkai yang membusuk dan belerang.
Eudora memejamkan mata, menunggu gigitan yang tak terhindarkan. Ini dia, pikirnya pasrah. Akhir dari seorang ilmuwan yang terlalu penasaran.
Namun, gigitan itu tidak pernah datang. Sebaliknya, ia mendengar suara benturan keras, diikuti oleh lolongan kesakitan dari Beastkin. Eudora membuka matanya. Di depannya, Beastkin itu terlempar ke samping, menabrak pohon dengan bunyi gedebuk. Di antara dirinya dan makhluk itu berdiri sesosok tubuh tinggi dan kekar, memegang tombak kayu yang ujungnya diasah tajam.
Itu adalah seorang pria, atau setidaknya, sosok yang menyerupai pria. Kulitnya gelap, dihiasi tato rumit yang tampak seperti pola petir. Ia mengenakan pakaian minimalis yang terbuat dari kulit binatang dan dihiasi bulu-bulu aneh. Rambutnya diikat ke belakang dengan kepang tebal, dan matanya setajam elang, memindai sekeliling dengan waspada. Di belakangnya, beberapa sosok lain muncul dari balik pepohonan, juga membawa tombak dan busur sederhana. Mereka tampak seperti pemburu.
Pria itu mengeluarkan suara seruan yang dalam, menunjuk ke arah Beastkin yang kini mencoba bangkit dengan susah payah. Dua pemburu lain segera bergerak, mengakhiri penderitaan makhluk itu dengan cepat dan efisien.
Eudora menatap penyelamatnya, otaknya masih memproses apa yang baru saja terjadi. Ia baru saja diselamatkan oleh… suku primitif? Di dunia lain? Ini semakin aneh.
Pria itu berbalik padanya, ekspresinya sulit dibaca. Ia tidak tersenyum, tetapi juga tidak menunjukkan permusuhan. Ia menunjuk ke arah Eudora, lalu ke arah Beastkin yang sudah tak bernyawa, dan kemudian membuat gerakan tangan yang aneh, seolah meniru sesuatu yang jatuh dari langit.
"Aku… aku jatuh," Eudora mengangguk, mencoba berbicara dengan jelas. "Dari… dari sana." Ia menunjuk ke langit, ke arah dua matahari yang kini mulai condong ke barat.
Pria itu mengerutkan kening, jelas tidak mengerti. Ia mengulang gerakan tangannya, lalu menunjuk ke dirinya sendiri, mengucapkan serangkaian suku kata yang terdengar seperti "Bal-mond."
"Balmond?" Eudora mengulang, mencoba meniru pengucapannya. "Aku… Eudora."
Ia menunjuk dirinya sendiri. Balmond mengangguk perlahan, lalu menunjuk ke arah hutan yang lebih dalam, membuat gerakan mengundang. Eudora ragu. Ia adalah seorang ilmuwan, bukan seorang petualang. Kepercayaan pada orang asing di tempat asing seperti ini bukanlah bagian dari protokolnya. Namun, Beastkin yang mati di dekatnya adalah pengingat yang cukup kuat tentang bahaya sendirian.
"Baiklah," katanya, berdiri dengan hati-hati. Kakinya masih gemetar, tapi rasa takut akan Beastkin lebih besar daripada ketidakpastian akan para pemburu ini. "Kurasa aku tidak punya pilihan lain."
Ia mengikuti Balmond dan kelompoknya, melangkah lebih dalam ke dalam hutan Aetheria yang aneh dan berbahaya. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dalam halaman buku teks yang belum pernah ditulis, sebuah realitas yang menentang setiap hukum fisika yang ia kenal. Namun, di tengah semua kebingungan dan ketakutan itu, ada percikan rasa ingin tahu yang tak bisa ia padamkan. Sebagai seorang ilmuwan, ia tidak bisa tidak tertarik pada misteri yang terbentang di hadapannya.
Mungkin, hanya mungkin, ada penjelasan ilmiah untuk semua ini. Dan Eudora, sang fisikawan teoretis, bertekad untuk menemukannya. Bahkan jika itu berarti harus berurusan dengan kadal berotot yang tidak aerodinamis dan suku yang berbicara dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Ini akan menjadi… menarik. Atau sangat, sangat mematikan. Ia belum yakin yang mana.