Langkah kaki Balmond terasa mantap, berirama, seolah ia menyatu dengan hutan. Eudora, di sisi lain, merasa seperti gajah yang tersesat di toko pecah belah. Setiap langkahnya canggung, sepatu botnya yang tebal terasa berat di lumpur, dan jaket labnya yang robek tersangkut di setiap dahan yang menjulur. Para pemburu lain berjalan di sekitar mereka, sesekali melirik Eudora dengan campuran rasa ingin tahu dan kewaspadaan. Mereka tidak berbicara, hanya berkomunikasi melalui isyarat tangan yang cepat dan tatapan mata yang tajam. Eudora, dengan latar belakang fisika kuantum, merasa sangat tidak siap untuk pelajaran antropologi dadakan ini.
"Jadi," Eudora mencoba memecah keheningan, meskipun ia tahu mereka tidak akan mengerti. "Kalian menyelamatkan hidupku. Terima kasih. Aku Eudora. Dari… tempat yang sangat jauh. Dengan banyak bangunan tinggi dan benda-benda yang berputar dan… oh, lupakan saja." Ia menghela napas. Ini akan menjadi perjuangan.
Balmond sesekali menoleh, matanya yang gelap memindai ekspresi Eudora, seolah mencoba membaca pikirannya. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda pemahaman, tetapi juga tidak mengabaikannya sepenuhnya. Ini adalah kemajuan, pikir Eudora, mengingat Beastkin yang baru saja mencoba menjadikannya makan siang. Setidaknya mereka tidak mencoba memakannya. Itu adalah standar baru yang sangat rendah untuk interaksi sosial.
Mereka berjalan selama apa yang terasa seperti berjam-jam, meskipun Eudora tidak memiliki arloji atau ponsel untuk mengukur waktu. Matahari kembar mulai condong lebih jauh ke barat, mewarnai langit dengan nuansa ungu dan oranye yang fantastis, memantul di dedaunan hutan yang aneh. Udara mulai terasa lebih dingin, dan suara-suara hutan berubah, menjadi lebih dalam dan misterius.
Akhirnya, kanopi hutan menipis, dan mereka tiba di sebuah celah alami di antara pepohonan raksasa. Di sana, tersembunyi dengan cerdik, adalah sebuah pemukiman. Bukan kota, bukan desa, melainkan kumpulan gubuk-gubuk sederhana yang terbuat dari kayu dan daun, tersusun melingkar di sekitar api unggun pusat yang memancarkan kehangatan dan cahaya. Asap tipis mengepul dari beberapa gubuk, membawa aroma kayu bakar dan sesuatu yang dimasak—daging, sepertinya.
Beberapa anak kecil, dengan kulit gelap dan rambut dikepang seperti Balmond, mengintip dari balik gubuk, mata mereka lebar karena penasaran. Wanita-wanita dengan pakaian kulit sederhana sedang sibuk di sekitar api, sementara beberapa pria tua duduk di dekatnya, mengukir patung-patung kecil dari kayu. Suasana terasa damai, kontras dengan kengerian yang baru saja Eudora alami.
Ketika Balmond dan kelompoknya masuk, semua mata tertuju pada Eudora. Bisikan-bisikan rendah terdengar, dan beberapa orang menunjuk ke arahnya, terutama ke pakaiannya yang aneh. Eudora tiba-tiba merasa sangat sadar diri. Jaket labnya yang compang-camping, celana kargo yang kotor, dan sepatu bot yang berlumpur jelas sangat berbeda dari pakaian kulit dan bulu yang dikenakan oleh penduduk suku. Ia merasa seperti alien yang baru saja mendarat, yang, secara teknis, memang benar.
Balmond membawa Eudora ke tengah pemukiman, di mana seorang pria tua dengan janggut putih panjang dan mata yang bijaksana duduk di atas sebuah batu besar. Pria itu mengenakan kalung dari gigi binatang dan bulu-bulu, dan auranya memancarkan otoritas. Kepala suku, Eudora menduga.
Balmond berbicara dengan cepat dalam bahasa mereka, menggunakan banyak isyarat tangan dan menunjuk ke Eudora. Kepala suku mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk. Matanya yang tajam meneliti Eudora dari ujung kepala sampai ujung kaki, seolah ia adalah spesimen baru yang menarik untuk dipelajari.
Ketika Balmond selesai, kepala suku berbicara. Suaranya dalam dan berwibawa, namun Eudora tidak mengerti sepatah kata pun. Ia hanya bisa berdiri di sana, tersenyum canggung, berharap senyum universal bisa menjembatani kesenjangan bahasa.
"Halo," Eudora mencoba lagi. "Nama saya Eudora. Saya… dari tempat yang jauh. Saya seorang… ilmuwan." Ia mencoba membuat gerakan seolah menulis di udara, lalu menunjuk ke kepalanya, berharap itu bisa menyampaikan gagasan tentang "pemikir".
Kepala suku memiringkan kepalanya, lalu membuat gerakan tangan yang rumit, menunjuk ke langit, lalu ke Eudora, lalu ke tanah. Eudora mengerutkan kening. Apakah ia bertanya dari mana ia berasal?
"Ya," Eudora mengangguk antusias. "Dari atas. Dari… portal. Lubang di angkasa. Seperti… pintu." Ia membuat gerakan seolah membuka pintu.
Kepala suku dan Balmond saling pandang, lalu Balmond menggelengkan kepalanya perlahan. Frustrasi mulai merayapi Eudora. Ini lebih sulit daripada memecahkan persamaan Navier-Stokes dalam tiga dimensi.
"Oke, mari kita coba ini," Eudora berkata pada dirinya sendiri. Ia mencari sesuatu di sakunya. Untungnya, ia masih memiliki pena dan buku catatan kecil yang selalu ia bawa. "Gambar. Gambar adalah bahasa universal, kan?"
Ia membuka buku catatannya ke halaman kosong. Dengan pena, ia mulai menggambar. Pertama, ia menggambar sebuah lingkaran dengan beberapa titik di dalamnya—planet Bumi. Lalu, ia menggambar sebuah portal, sebuah lubang berputar di angkasa. Kemudian, ia menggambar dirinya sendiri, jatuh melalui portal itu, dan mendarat di hutan ini, dengan dua matahari di langit.
Ia menunjukkan gambar itu kepada kepala suku dan Balmond. Mereka mendekat, mata mereka membesar saat melihat gambar-gambar itu. Kepala suku menyentuh gambar dirinya, lalu menunjuk ke Eudora, mengucapkan namanya lagi.
"Eudora," ia mengulang, mengangguk. "Ya. Itu aku."
Kepala suku menunjuk ke gambar Bumi, lalu membuat suara mendengung dan menunjuk ke langit.
"Itu rumahku," Eudora menjelaskan, menunjuk ke gambar Bumi. "Jauh sekali. Aku ingin pulang." Ia membuat gerakan seolah terbang jauh.
Kepala suku menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk ke hutan di sekitar mereka, lalu ke matahari kembar, dan membuat gerakan seolah mengunci sesuatu. Eudora mengerti. Ia terjebak di sini. Tidak ada jalan pulang. Setidaknya tidak sekarang.
Rasa putus asa yang dingin merayapi dirinya, tetapi ia segera menekannya. Panik tidak akan menyelesaikan apa pun. Ia adalah seorang ilmuwan. Masalah ini hanyalah persamaan yang lebih besar dan lebih rumit yang perlu dipecahkan.
Seorang wanita muda dengan mata cerdas mendekat. Ia membawa semangkuk bubur kental yang mengepul. Ia tersenyum pada Eudora, senyum yang tulus dan ramah.
"Makan," katanya, mengucapkan satu-satunya kata yang Eudora kenali.
Eudora mengangguk, mengambil mangkuk itu dengan rasa terima kasih. Bubur itu terbuat dari semacam biji-bijian lokal, rasanya hambar tapi menghangatkan. Ia menyadari betapa laparnya ia.
Malam tiba dengan cepat di Aetheria. Matahari keemasan telah terbenam, meninggalkan matahari keperakan sendirian di langit, memancarkan cahaya lembut yang membuat hutan tampak seperti negeri dongeng yang diselimuti kabut. Api unggun di tengah pemukiman menjadi pusat perhatian, memancarkan kehangatan dan keamanan.
Eudora duduk di dekat api, mengamati suku. Mereka berbicara, tertawa, dan berbagi cerita dalam bahasa yang tidak ia mengerti, namun ia bisa merasakan kebersamaan mereka. Ia merasa seperti seorang pengamat, terpisah oleh dinding bahasa dan budaya. Kesepian yang dalam merayapi dirinya. Ia merindukan laboratoriumnya, rekan-rekannya, obrolan tentang fisika kuantum yang rumit, bahkan kopi instan yang rasanya seperti lumpur.
Seorang anak kecil mendekatinya, memegang sebuah patung kayu kecil berbentuk Beastkin. Anak itu tersenyum dan menawarkan patung itu padanya. Eudora mengambilnya, terkejut dengan kebaikan hati yang sederhana itu.
"Terima kasih," katanya, tersenyum pada anak itu.
Anak itu menunjuk ke rambut Eudora, lalu ke patung Beastkin, dan membuat suara mendesis lucu. Eudora mengerutkan kening. Apa maksudnya?
Ia menyentuh rambutnya. Masih berantakan, dan ia merasa ada sedikit listrik statis yang menempel di sana. Ia ingat insiden listrik statis yang tidak terkontrol di Bumi, bagaimana ia pernah menyetrum kucing tetangga secara tidak sengaja. Mungkinkah…
Tiba-tiba, anak itu menyentuh tangannya. Sebuah percikan kecil terasa, tidak menyakitkan, hanya kejutan listrik statis yang ringan. Rambut anak itu, yang tadinya rapi, kini berdiri tegak, seolah ia baru saja menjentikkan balon ke kepalanya. Anak itu tertawa terbahak-bahak, dan beberapa orang dewasa di dekatnya juga ikut tertawa, menunjuk ke rambut anak itu dan kemudian ke Eudora.
Eudora menatap tangannya, lalu ke rambut anak itu yang berdiri tegak, lalu ke ekspresi geli di wajah orang-orang suku. Ia menyadari. Kekuatan petirnya, yang seharusnya menjadi alat yang dahsyat, kini bermanifestasi sebagai listrik statis yang memalukan dan tidak terkontrol. Ia adalah "wanita aneh dengan rambut berlistrik" di mata suku.
Ia menghela napas, lalu tersenyum tipis. Setidaknya ia memberikan hiburan. Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah titik awal. Jika ia bisa memahami dan mengendalikan listrik statis ini, mungkin ia bisa memahami Aether itu sendiri, dan mungkin, hanya mungkin, menemukan jalan pulang. Atau setidaknya, membuat hidupnya di sini sedikit lebih… tidak terlalu memalukan. Ini adalah tantangan ilmiah yang baru, dan Eudora, sang fisikawan, tidak bisa menolak tantangan.
Ia akan mulai mencatat semuanya, setiap detail, setiap anomali. Ia akan mengubah kebingungan ini menjadi data, dan dari data itu, ia akan menemukan jawaban. Ini adalah janji yang ia buat pada dirinya sendiri, di bawah cahaya lembut matahari keperakan Aetheria.