Malam pertama Eudora di pemukiman suku adalah perpaduan antara kelegaan dan ketidaknyamanan ekstrem. Kelegaan karena ia tidak lagi sendirian di hutan yang penuh Beastkin, dan ketidaknyamanan karena ia tidur di atas tumpukan daun kering yang gatal di dalam gubuk yang pengap. Aroma tanah basah dan asap kayu bakar memenuhi udara, dan suara-suara hutan di luar terasa jauh lebih dekat tanpa dinding beton yang biasa ia kenal. Ia merindukan kasur pegasnya, bantal empuknya, dan selimut katun Mesir yang dingin. Tapi, seperti yang ia katakan pada dirinya sendiri, ini adalah data baru. Setiap ketidaknyamanan adalah variabel dalam persamaan adaptasi.
Pagi hari datang dengan cepat, ditandai oleh cahaya keperakan dari matahari kedua yang menembus celah-celah gubuk. Eudora terbangun dengan punggung yang pegal dan rambut yang lebih berantakan dari sebelumnya. Ia mencoba merapikan jaket labnya yang kini penuh lumpur dan robekan, menyadari betapa tidak praktisnya pakaian ini di lingkungan hutan. Kantong-kantongnya yang biasanya penuh dengan pena, penggaris geser, dan kalkulator ilmiah kini terasa kosong dan tidak berguna.
Ketika ia keluar dari gubuk, udara pagi terasa dingin dan lembap. Beberapa wanita suku sudah sibuk di sekitar api unggun, menyiapkan makanan. Anak-anak berlarian, bermain dengan tongkat dan batu. Suasana terasa damai, seolah ancaman Beastkin semalam hanyalah mimpi buruk. Namun, luka goresan di lengannya dan lumpur yang menempel di celananya adalah bukti nyata.
Balmond mendekatinya, membawa seikat kulit binatang yang digulung. Ia meletakkannya di depan Eudora, lalu menunjuk ke pakaiannya yang kotor dan compang-camping, dan kemudian ke kulit binatang itu. Ia membuat gerakan seolah melepas pakaian dan mengenakan yang baru.
Eudora mengerutkan kening. "Pakaian? Maksudmu… ini?" Ia menunjuk ke jaket labnya. "Oh, ya, ini memang sudah tidak layak pakai. Tapi… kulit binatang?"
Balmond hanya mengangguk, ekspresinya serius. Ia mengambil salah satu lembaran kulit, yang tampak seperti kulit rusa yang sudah diolah, dan menunjuk ke pinggang Eudora, lalu membuat gerakan seolah mengikatnya.
Eudora menghela napas. Ini akan menjadi tantangan. Ia terbiasa dengan kain sintetis yang ringan dan tahan air, bukan kulit mentah yang mungkin masih berbau binatang. Namun, ia tidak punya pilihan. Pakaiannya saat ini adalah bencana ekologis yang berjalan.
Dengan sedikit enggan, Eudora masuk kembali ke gubuknya. Ia menanggalkan jaket labnya yang kotor, lalu celana kargonya yang berlumpur. Ia menggantungnya di salah satu tiang gubuk, berharap ada keajaiban yang bisa membersihkannya. Kemudian, ia mengambil lembaran kulit binatang itu.
Kulit itu terasa kasar di kulitnya, dan ada sedikit bau musky yang menempel. Ia mencoba membalutkannya di pinggangnya, seperti yang Balmond tunjukkan. Ini lebih sulit dari yang terlihat. Kulit itu terlalu kaku, dan ia tidak tahu bagaimana cara mengikatnya agar tidak melorot. Setelah beberapa kali percobaan yang canggung, kulit itu akhirnya terpasang, meskipun terasa longgar dan tidak nyaman. Ia merasa seperti mengenakan karung kentang yang terbuat dari binatang.
"Oke, Eudora, ini adalah pelajaran dalam adaptasi," gumamnya pada dirinya sendiri. "Kenyamanan adalah kemewahan, bukan kebutuhan. Fokus pada fungsionalitas."
Ia keluar dari gubuk, merasa sedikit canggung. Beberapa wanita suku yang melihatnya menahan tawa, dan beberapa anak kecil menunjuk ke arahnya, cekikikan. Eudora merasa pipinya memerah. Ia adalah seorang ilmuwan terkemuka, dan sekarang ia berjalan-jalan dengan pakaian yang membuatnya merasa seperti karakter dari film dokumenter prasejarah yang buruk.
Seorang wanita tua dengan rambut kepang abu-abu mendekatinya. Ia tersenyum ramah, lalu menunjuk ke kulit yang melilit Eudora, dan kemudian membuat gerakan seolah mengencangkan dan menyesuaikannya. Eudora mengangguk, membiarkan wanita itu membantunya. Dengan beberapa gerakan cekatan, wanita itu berhasil mengencangkan ikatan kulit itu, membuatnya terasa sedikit lebih pas, meskipun masih jauh dari nyaman.
"Terima kasih," kata Eudora tulus.
Wanita itu hanya tersenyum, lalu menunjuk ke sepatu bot Eudora yang berlumpur. Ia menggelengkan kepala, lalu menunjuk ke kakinya sendiri yang telanjang. Eudora mengerti. Sepatu botnya juga tidak praktis.
"Baiklah," ia menyerah. "Sepatu bot juga. Ada alas kaki yang lebih… alami?"
Wanita itu mengangguk, lalu membawa sepasang sandal sederhana yang terbuat dari serat tanaman. Eudora mencoba memakainya. Rasanya aneh, telapak kakinya langsung bersentuhan dengan tanah. Tapi setidaknya, ia tidak akan terpeleset di lumpur lagi.
Sepanjang hari itu, Eudora mencoba beradaptasi dengan pakaian barunya. Ia merasa setiap gerakannya kaku, dan kulit itu terasa panas dan gatal di bawah matahari kembar. Ia merindukan kebebasan bergerak yang diberikan oleh pakaian modernnya. Namun, ia juga mulai menyadari keuntungannya. Pakaian kulit itu lebih tahan terhadap goresan dahan dan gigitan serangga, dan sandal serat tanaman memberinya cengkeraman yang lebih baik di medan yang tidak rata.
Saat ia berjalan di sekitar pemukiman, ia melihat orang-orang suku melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Beberapa pria mengasah tombak, beberapa wanita menganyam keranjang dari serat tanaman, dan anak-anak bermain di lumpur. Mereka semua tampak begitu menyatu dengan lingkungan mereka, begitu efisien dalam setiap gerakan. Eudora, dengan segala pengetahuannya tentang fisika dan matematika, merasa seperti orang yang paling tidak efisien di seluruh alam semesta.
Ia mencoba membantu seorang wanita mengumpulkan buah-buahan dari semak-semak. Ia membungkuk, dan kulit yang melilit pinggangnya terasa longgar, hampir melorot. Ia segera menegakkan tubuh, merasa canggung. Wanita itu menahan senyum, lalu menunjuk ke cara ia membungkuk, menunjukkan bagaimana ia harus sedikit menekuk lutut dan menjaga punggungnya tetap lurus agar pakaiannya tidak kendur. Eudora mencoba meniru gerakannya, merasa seperti robot yang sedang belajar menari.
"Ini seperti pelajaran anatomi terapan," gumamnya. "Siapa sangka pakaian bisa begitu rumit?"
Momen paling lucu terjadi saat ia mencoba minum dari sungai. Ia berjongkok, dan kulit itu terasa sangat ketat di pahanya. Ketika ia mencoba berdiri, kulit itu tersangkut, dan ia kehilangan keseimbangan, hampir jatuh ke sungai. Seorang pria muda yang sedang memancing di dekatnya melihatnya dan tertawa terbahak-bahak. Eudora merasa wajahnya memerah padam.
"Sangat lucu," ia mendesis pada pria itu, meskipun ia tahu pria itu tidak akan mengerti sarkasmenya. "Aku senang aku bisa menghiburmu."
Ia menghabiskan sisa hari itu dengan mencoba membiasakan diri dengan pakaian barunya, melakukan gerakan-gerakan sederhana berulang kali, mencoba menemukan cara untuk bergerak dengan lebih luwes. Ia merasa seperti seorang ilmuwan yang sedang melakukan eksperimen pada dirinya sendiri, mengamati reaksi tubuhnya terhadap variabel baru.
Saat senja tiba, dan api unggun kembali menyala, Eudora duduk di dekatnya, mengamati bayangan yang menari-nari di dinding gubuk. Ia masih merasa canggung dengan pakaian barunya, tetapi ia juga merasakan sedikit perubahan. Ada rasa kebebasan yang aneh, terlepas dari semua lapisan kain modern yang biasanya ia kenakan. Ia bisa merasakan angin di kulitnya, tanah di telapak kakinya. Itu adalah pengalaman sensorik yang berbeda, yang memaksa otaknya untuk memproses informasi dengan cara baru.
Ia mengeluarkan buku catatannya lagi. Di bawah tulisan tentang "dua matahari" dan "Beastkin tidak aerodinamis", ia menambahkan catatan baru: "Pakaian suku: bahan kulit binatang, adaptasi gerakan tubuh diperlukan. Hipotesis: desain pakaian primitif memaksa efisiensi biomekanik. Perlu penelitian lebih lanjut."
Ia tersenyum tipis. Bahkan di tengah semua kegilaan ini, otaknya masih berfungsi seperti seorang ilmuwan. Ini adalah hal yang baik. Ini berarti ia belum sepenuhnya gila. Atau setidaknya, belum.
Malam itu, saat ia berbaring di gubuknya, ia tidak lagi merasa gatal. Kulit binatang itu terasa sedikit lebih lembut, dan ia mulai terbiasa dengan baunya. Ia masih merindukan kenyamanan rumahnya, tetapi ia juga merasakan percikan rasa ingin tahu yang aneh. Dunia ini, dengan segala keanehannya, adalah laboratorium raksasa yang menunggu untuk dijelajahi. Dan Eudora, sang ilmuwan, siap untuk melakukan penelitian. Bahkan jika itu berarti harus berurusan dengan pakaian yang merepotkan dan tawa geli dari suku.