Kegelapan..
Suara mendengung, seperti frekuensi gelombang elektrik memenuhi pikirannya. Tubuhnya terasa ringan, seperti hanyut di ruang hampa.
"Apa... ini? Apakah aku mati?"
Kilatan cahaya terakhir yang dia ingat adalah panel kontrol meledak, proyek serum kesadaran yang selama ini dia bangun... gagal. Lin Wei, ilmuwan muda berbakat dari kota canggih Xinjing, kini tidak lagi berada di dunia yang dia kenal.
Tiba-tiba, hawa dingin menusuk kulitnya. Napasnya tercekat. Tubuhnya menggigil. Ia membuka mata—perlahan.
KRIK-KRIK.
Suara jangkrik? Bukan... terlalu nyaring. Ia menatap langit-langit kayu tua. Bau kapur barus dan jamur menyeruak.
"Apa ini pondok tua?"
Kepalanya nyeri saat mencoba duduk. Rambut panjang tergerai ke pundak. Tangannya kecil, putih pucat, dengan luka gores memanjang. Jantungnya berdetak lebih cepat.
"Tuan putri... Anda sudah sadar?"
Sebuah suara lirih datang dari seorang gadis muda berpakaian kuno yang tengah membawa kain basah. Matanya membengkak karena menangis.
"Apa maksudmu? Siapa aku ini?"
Pelayan itu gemetar. "A-anda... Nona ketiga, Xiao Lian dari keluarga bangsawan Xiao. Nona lupa? Ini Nubi, pelayan nona dari kecil..."
Xiao... Lian...?
Lin Wei menatap bayangan dirinya di baskom air. Wajah seorang gadis muda dengan memar di pipi dan mata sayu menatap balik. Ia... bukan Lin Wei lagi.
"Aku.. aku-"
Tenggorokannya tercekat, segera pelayan disampingnya memberi minum. Air dicangkir bulat itu pun di teguk nya habis, terdengar helaan nafas lega.
"kenapa menangis?" Xiao Lian menatap pelayan di depannya, wajah yang lelah dan air mata berderai dengan pakaian yang tidak terawat.
"hikss.. Nubi senang nona Xiao bangun, Nubi kira nona tidak akan bangun lagi haaaaaa nonaa~ Nubi sangat bersyukur."
Dia menangis, pelayan itu memeluk kaki Xiao Lian. Sedangkan gadis yang disebutnya Nona mengernyitkan dahi seraya terkejut.
Tiba tiba ingatannya kembali, sekelebat bayangan bagaimana ia di siksa dan dicekoki miras oleh seorang wanita muda di depan semua orang. Ia juga mengingat siapa dirinya sebenarnya.
Bayangan ingatan..
Dia adalah Lin Wei, ilmuwan muda berbakat dari kota canggih Xinjing, "Aku mati? Atau ini hanya mimpi?" ucapnya berbicara sendiri.
Nubi melihat nona nya bingung, ia merapikan rambut nona nya, "Nona, apa nona merasakan sakit? Nona?" tanyanya khawatir.
Xiao Lian tersadar dan menggeleng cepat merespon, "Ah aku baik baik saja, Nubi!" Xiao Lian.
"Nama mu Nubi?" tanyanya sekali lagi.
Pelayan itu mengangguk.
"Aku merasa kepalaku sedikit pusing, sepertinya aku melupakan sesuatu. Kamu bisa bantu aku jelaskan apa yang terjadi?"
Ia sekali lagi mengangguk cepat.
"Tiga hari lalu nona menyinggung nona pertama, nona pertama sangat tidak menyukai nona. Wanita jahat itu menyiksa nona, jadi Nubi pergi untuk mencari bantuan. Tapi saat Nubi kembali, nona sudah jatuh ke air danau dengan kepala terbentur batu. Maafkan Nubi, nona. Nubi gagal menyelamatkan nona dari nona pertama, hikss.."
"Jadi aku anak bangsawan yang malang? Haha cukup menarik.."
Makan Malam Keluarga Bangsawan Xiao..
Langkah kakinya berat menuju ruang makan utama. Pelayan yang mengantarnya menunduk dalam ketakutan.
Ruangan itu penuh. Di ujung meja duduk seorang wanita anggun namun berhati dingin. Madam Zhou, ibu tiri Xiao Lian. Di sekeliling meja, saudari tiri cantik, adik laki-laki pemalas, dan sang Ayah yang dingin dan acuh.
"Dia.. Dia.."
Xiao Lian merasa sedikit pusing, matanya familiar dengan wajah gadis yang sedang asik berkumpul disana dengan senyuman mengejek. Rupanya dia adalah wanita yang di sebut nona pertama oleh pelayannya.
"Wanita sialan.."
Xiao Lian geram, menahan nafasnya panas.
"Akhirnya kamu muncul juga," ucap Madam Zhou dengan suara licin. "Setelah membuat malu keluarga, kamu bahkan tidak tahu caranya minta maaf."
Xiao Lian menunduk kaku... lalu tersenyum kecil.
"Maafkan aku... karena selama ini terlalu lemah untuk melawan kalian."
Semua menatapnya, terkejut. Xiao Lian biasanya akan gemetar ketakutan. Tapi kali ini... ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya.
Madam Zhou menyipitkan mata, senyum liciknya memudar sedikit. "Apa maksudmu? Berani sekali kau berbicara seperti itu di hadapan Ayahmu!" matanya melotot.
Tuan Xiao ayah Xiao Lian hanya melirik sekilas, "Jangan libatkan aku dalam urusan kalian."
Xiao Lian tertawa pelan. "Tentu saja, Ayah. Karena itu, sejak dulu aku diperlakukan bukan seperti anak, melainkan sampah di halaman rumah sendiri," tawanya miris.
Semua mata melebar. Bahkan pelayan-pelayan di tepi ruangan saling berpandangan, ngeri. Gadis yang biasanya diam itu… kini berbicara seperti bukan dirinya.
Nona pertama, putri Xiao Yuyan, menyandarkan dagunya di tangan, suaranya manis namun tajam. "Kau tak pernah berguna. Hanya bisa menangis dan menyusahkan. Kini tiba-tiba jadi berani? Apa kau terbentur batu terlalu keras?" sindirnya memainkan sendok.
Xiao Lian menatapnya tajam. "Kalau benar begitu, mungkin itu hadiah dari langit agar aku melihat siapa musuh sebenarnya."
Madam Zhou berdiri. "Kurang ajar! Kau bicara pada siapa, hah?! Dasar anak tak tahu diuntung! Lihat dirimu, bahkan pelayan lebih berharga dari keberadaanmu!"
Sebuah suara kecil memotong, "Itu tidak benar!"
Semua menoleh. Nubi, si pelayan kecil, maju dengan mata berkaca-kaca.
"Semua yang menyiksa Nona selama ini kejam! Nona tidak pantas diperlakukan seperti itu! Dia baik, dia kuat… dan dia sangat berharga!"
Madam Zhou hendak menampar Nubi.
Tapi tangan Madam Zhou dihentikan di udara. Dipegang erat oleh Xiao Lian.
Tatapannya dingin. "Berani menyentuh satu-satunya orang yang setia padaku, aku tidak akan diam lagi."
Madam Zhou menarik tangannya, syok.
Xiao Lian mengambil napas pelan, lalu berbicara.
"Aku mungkin kehilangan ingatanku... tapi aku tidak kehilangan akal sehatku. Mulai hari ini, aku akan belajar. Dan melihat situasi dan kondisi sekarang, kalian bukan keluarga atau orang terdekatku!" hardiknya.
"Dan satu lagi," ia menatap ke seluruh meja makan, "Aku akan mengangkat kembali nama Xiao Lian. Bukan sebagai boneka keluarga ini, tapi sebagai wanita yang tak akan kalian injak lagi—bukan sekarang, bukan selamanya."
Tak bisa ia pungkiri, pemilik tubuh lemah ini merespon menangis tanpa isakan.
Ayahnya hanya menghela napas panjang, lalu melanjutkan makannya tanpa komentar. Meski dia tau putri kecilnya itu tengah menahan perih dan sesak di dadanya.
Tanpa mendapat respon balik, Xiao Lian berjalan balik ke belakang, meninggalkan meja makan dan gong gongan anjing pencakar. Nubi si pelayan setia mengikutinya dari belakang.
Malam itu, di kamarnya yang gelap dan dingin, Xiao Lian membuka lemari kayu tua yang reot. Di sana ia menemukan tumpukan buku-buku kuno berdebu, dan beberapa perkamen tentang ramuan dan tata letak formasi energi.
Xiao Lian sekilas melihat sekeliling, dia adalah anak dari konglomerat terkaya di asia. Kini, dia harus tinggal pada tubuh lemah.
Berjalan sedikit menemukan cermin lapuk, melihat dirinya sendiri yang baru. Bekas lebam luka dan bercak keunguan di tubuh kurus ini menjadi perhiasan aksesoris paling membekas.
"Gadis yang malang.."
"Nona, buku yang nona cari Nubi temukan!" teriak pelayan itu kesenangan.
Kembali ke buku buku yang mereka temukan. Dengan bantuan Nubi, dia mulai menyalin dan mempelajari semuanya. Ia menyempurnakan teknik pembacaan cepat dari masa depannya, memperkirakan bahan kimia tradisional seperti senyawa logam, senyawa fermentasi, bahkan mulai merancang prototipe alat kecil dari barang-barang bekas. Jam matahari mini, lensa pembesar sederhana dari kristal bekas hiasan, dan metode pengawetan makanan.
Dengan pengalamannya, itu mudah. Tapi dimana ia bisa mendapatkan semua bahan bahan itu disini?
Ia mulai menulis di buku kosong yang disediakan pelayannya.
"Dunia ini terbelakang," gumamnya sambil menulis. "Tapi aku bisa memajukannya... dan berdiri di atasnya."
Besok paginya...
Desas-desus pun menyebar. Nona ketiga yang biasanya linglung dan bisu kini duduk di perpustakaan keluarga sejak subuh, membaca naskah filsafat dan teknik.
Para pelayan berbisik. "Apa dia kerasukan?"
"Pelayan yang semalam tidak sengaja lewat bilang, kalau putri ketiga itu sudah gila karena jatuh ke air."
"Benarkah?"
"Hemm..."
"Kemarin juga putri ketiga berani melawan keluarganya,"
"Aneh sekali."
"Iya aneh sekali, seperti bukan dia."
Namun di antara semua orang, hanya satu yang tersenyum tulus dan penuh harapan.
Nubi, si pelayan kecil dan setia. Dia menemui tuannya dan mengatakan segala sesuatu dan rumor yang menyangkut nona nya itu.
"Mereka mengatakan semua itu seperti anjing bodoh, nona. Putri Xiao Lian ini lah itu lah, Nubi benar benar muak melihat mereka tidak percaya dengan nona..."
Xiao Lian mendengarnya terkekeh, gemas dengan ekspresi lucu dari pelayannya.
Ketika Xiao Lian merapikan kertas kertas di mejanya.
Tok. Tok. Tok.
"Siapa itu?" tanya Nubi mendekat ke jendela.
Jantungnya berdegup pelan tapi mantap. Ia melangkah pelan, membuka tirai. Tapi yang terlihat hanya halaman kosong.
Lalu... suara itu datang dari balik pintu lemari.
Krekkk…
Mereka berdua menoleh bersama. Pintu lemari terbuka sedikit, padahal tadi Nubi sudah menutupnya rapat.
Di dalamnya… secarik kain merah tergantung, berlambang naga hitam mencakar bulan—simbol kuno keluarga kerajaan yang telah lama dihapus dari sejarah.
"Simbol ini mirip seperti formasi..."
Dan bersama kain itu, secarik surat dengan tinta emas.
"Xiao Lian. Jika kau membaca ini, maka waktumu sudah hampir habis. Diam, atau mati seperti ibumu."
Tangannya bergetar. Napasnya tercekat.
"Ibu...?"
Tiba-tiba, suara langkah kaki tergesa dari luar kamar.
"Nona!" teriak pelayan lain dari balik pintu. "Ada yang ingin menemui Anda... dari istana."
Xiao Lian menatap kain merah itu sekali lagi. Tak ada jalan mundur.