Undangan Kerajaan

Udara terasa menegang. Nubi berdiri di depan jendela, menatap Xiao Lian yang masih terpaku pada lemari tua terbuka itu.

"Kau pergilah! Aku yang akan menyiapkan putri."

Pelayan tersebut mengangguk paham dan pergi, selanjutnya terlihat Nubi yang menghampiri Xiao Lian yang termenung.

"Nona..." panggilnya pelan, "Apa nona baik-baik saja?"

Xiao Lian meraih surat itu, tangan kirinya menggenggamnya erat, sementara tangan kanan meraih kain merah dengan simbol naga hitam mencakar bulan. Matanya menelisik setiap jahitan pada kain itu, simbol kuno yang tak pernah ia lihat dalam sejarah resmi manapun—tapi ia tahu maknanya. Ia pernah melihat simbol serupa dalam teks kuno di universitas saat meneliti kerajaan yang pernah dihancurkan oleh kekuasaan baru. Dinasti itu hilang dari catatan sejarah.

"Ibu…" gumamnya lagi. Dada Xiao Lian terasa sesak. Bukan karena takut. Tapi karena luka lama yang tidak ia mengerti mulai terbuka.

"Aku merasakan rasa sakit dan derita pemiliK tubuh asli ini, apa tuhan memang ingin aku menyelesaikan semuanya untuk Xiao Lian?"

Tok. Tok.

Pintu diketuk lagi, kali ini lebih keras. Suara langkah kaki di luar pondok semakin banyak.

Nubi membuka pintu kembali, dia terkejut dan menoleh pada tuannya. "Nona..." panggilnya pelan menghampiri tuannya.

Seorang pelayan dari rumah utama maju, mengatakan hal yang mengejutkan tuan dan pelayannya itu.

“Nona ketiga Xiao Lian,” suara pelayan dari keluarga utama terdengar gugup, “Yang Mulia utusan Putra Mahkota, telah tiba. Mereka menunggu nona di aula luar.”

Mata Xiao Lian menyipit.

“Utusan… dari istana?” gumamnya.

Nubi membatu, wajahnya pucat. “Nona… apakah ini tentang pertunangan rahasia yang dulu disebut-sebut oleh Nona Pertama? Tapi bukankah itu untuk—”

“Shh,” Xiao Lian memotong pelan. Ia menyelipkan kain merah dan surat ancaman ke bawah papan lantai yang sudah copot di salah satu sudut ruangan. “Kita tidak bisa menunjukkan ini pada siapapun. Belum saatnya.”

Nubi mengangguk, ia berjalan kembali ke pintu. "Nona ku mengerti," semua pelayan itu mengangguk dan pergi bersamaan.

Lalu dengan sigap, ia mengganti pakaiannya dibantu Nubi. Ia memilih jubah putih sederhana dengan bordiran awan dan angin, lalu mengepang rambutnya rapi ke belakang. Tidak terlalu mencolok, tapi tetap anggun.

“Bantu aku, Nubi. Saat mereka datang, perhatikan gerak-gerik semua orang. Siapa yang gugup, siapa yang terlalu diam.”

“Baik, nona.”

Mereka pun berjalan menuju aula luar. Langkah Xiao Lian tenang namun waspada. Matanya memperhatikan detail-detail kecil. Pelayan yang menunduk terlalu dalam, dua pengawal baru di halaman yang tidak ia kenal, dan pandangan penuh tanya dari beberapa pembantu keluarga utama.

Saat tiba di aula, dua lelaki berpakaian resmi berwarna biru tua telah berdiri di tengah ruangan. Mereka memakai lambang naga emas bersayap—lambang resmi dari istana pusat.

Madam Zhou sudah duduk di kursi utama, wajahnya dipenuhi senyum formal. Di sampingnya, Nona Pertama Xiao Yuyan berdiri anggun, lengkap dengan baju mahal berwarna merah delima. Ayah mereka, Tuan Xiao, berdiri dengan tangan di belakang punggung, matanya kosong seperti biasa.

“Selamat datang di kediaman keluarga Xiao,” ucap Madam Zhou. “Bolehkah kami tahu apa tujuan kunjungan istana hari ini?”

Utusan utama, pria berwajah tirus dengan janggut rapi, memberi salam hormat. “Kami datang atas perintah Putra Mahkota. Sebuah pengumuman penting akan disampaikan kepada Nona Ketiga… Xiao Lian.”

Semua mata tertuju pada Xiao Lian, yang melangkah ke depan perlahan. Ia membungkuk sedikit, sopan.

“Hamba mendengarkan.”

Utusan itu mengeluarkan gulungan sutra, lalu membukanya dengan hati-hati.

“Dengan ini diumumkan, berdasarkan perintah langsung dari Putra Mahkota Kerajaan Tianji.. maka ditetapkan bahwa Nona Ketiga keluarga Xiao, Xiao Lian, telah terpilih sebagai salah satu kandidat Pendamping Mahkota. Nona diminta hadir dalam pemilihan formal di Istana Selatan dalam waktu tiga hari.”

Suasana hening seketika.

Wajah Madam Zhou menegang. Wajah Xiao Yuyan memucat sesaat, meski dengan cepat ia tersenyum pahit.

“A-apa maksudnya? Bukankah… Putra Mahkota telah—” ucap Madam Zhou, namun tak melanjutkan.

Utusan itu tersenyum kecil. “Kami hanya menyampaikan titah. Penentuan akhir akan dilihat dari ujian karakter, kecerdasan, dan kebangsawanan para kandidat.”

Xiao Lian tersenyum tenang. “Saya menerima kehormatan ini dengan hati terbuka. Mohon sampaikan terima kasih saya kepada Yang Mulia.”

“Bagus.” Sang utusan membungkuk. “Kami akan kembali dalam tiga hari untuk menjemput Anda ke istana.”

Setelah mereka pergi, ketegangan pecah seperti badai.

“Kau tidak pantas! Ini jelas kesalahan!” teriak Yuyan, mengepalkan tangan. “Aku—aku sudah dilatih sejak kecil! Bahkan surat pertunangan yang lama itu—”

“Sudah tidak berlaku,” sahut Ayah mereka datar. “Istana berhak memilih siapa pun. Dan keputusan Putra Mahkota tak bisa digugat.”

“Yuyan, diam,” potong Madam Zhou dengan suara bergetar. “Kita akan mencari cara lain. Belum tentu dia lolos.”

Xiao Lian menatap mereka satu per satu.

“Aku akan ikut pemilihan itu. Tapi jangan berharap aku datang ke istana hanya untuk dihina. Aku tidak akan pergi sebagai boneka.” Xiao Lian.

Sambil berkata begitu, ia berbalik. Tapi sebelum pergi, ia berhenti sejenak.

“Oh, dan satu hal lagi…” katanya, menoleh pada Yuyan yang masih menahan amarah. “Apa kau ingat betul saat aku dicekoki miras dan dipermalukan? Aku juga ingat.”

Wajah Yuyan menegang.

“Aku belum menuntut balasan. Tapi waktuku belum habis.” Tatapan Xiao Lian tajam seperti belati. “Tunggu saja.”

Xiao Lian berbalik pergi meninggalkan aula, diikuti pelayannya membawa senyum kemenangan.

"Kau pikir kau bisa merebut tempatku? Aku bersumpah, Xiao Lian... kau akan menyesali keberanianmu hari ini!" teriak Yuyan.

Malamnya..

Di balik kabut tipis dan cahaya lentera yang menggantung redup di halaman belakang, Nubi membantu Xiao Lian mempersiapkan perjalanannya ke istana.

“Jika nona pergi… bagaimana dengan ancaman surat itu?” tanya Nubi cemas.

“Kita tidak akan diam,” jawab Xiao Lian. “Aku akan menyelidiki kematian ibuku. Dan aku yakin… semua ini berkaitan.”

Ia menatap peta kecil yang ia salin dari buku tua perpustakaan. Di sana, ia menemukan sesuatu yang menarik. Lambang naga hitam ternyata pernah digunakan oleh kelompok rahasia bernama Yinlong Hui—disebut-sebut sebagai penjaga terakhir darah kerajaan yang tersisa sebelum dinasti mereka dimusnahkan.

Dan satu lokasi disebutkan dengan samar di peta itu… tepat di balik bukit selatan Istana Tianji.

Mata Xiao Lian menyala. “Nubi… kita akan ke istana, tapi bukan hanya untuk pemilihan Pendamping Mahkota. Di sana, aku akan mulai membongkar semua kebusukan ini.”

Nubi mengangguk tegas. “Nubi akan selalu bersama nona.”

Di luar kamar mereka, bayangan seseorang berdiri diam di atap pondok. Tanpa suara, ia memantau dari kejauhan. Matanya menyipit menatap cahaya dari jendela kamar Xiao Lian.

“Xiao Lian…” gumamnya. “Jadi kau benar-benar menantang nasib mu?"

Angin malam membawa bisikan rahasia. Tapi malam itu... tidak seperti biasanya. Di balik langit tenang, kekuasaan mulai bergetar. Dan Xiao Lian baru saja mengguncang papan permainan.

Ada banyak yang akan terjadi.

Tapi yang pasti, ini barulah langkah pertama dari jalannya yang panjang.