Matahari pagi menyelinap lembut melalui kisi jendela kamar kecil di sudut kediaman keluarga Xiao. Aroma embun bercampur kayu tua menyusup masuk, menyentuh kulit Xiao Lian yang duduk diam di depan cermin retak. Tangan mungilnya menyentuh pipi yang mulai tak sekurus saat ia pertama kali menetap di tubuh ini. Matanya menatap bayangan dirinya, bukan dengan ketakutan seperti dulu… melainkan tekad.
"Aku tidak akan masuk ke istana dengan wajah seperti ini," bisiknya pelan, seakan berbicara pada bayangannya sendiri. "Kalau aku terlihat lemah, mereka akan menggigitku hidup-hidup."
Di belakangnya, Nubi yang sedang menyisir rambutnya terhenti sejenak. “Nona… ini pertama kalinya aku mendengar suara seperti itu dari Anda.”
Xiao Lian tersenyum kecil. “Aku baru sadar, Nubi. Kalau aku ingin selamat di dunia ini, aku tak bisa menunggu diselamatkan. Aku harus menciptakan jalan untuk diriku sendiri.”
"Maksud nona?"
Xiao Lian tersenyum, dia mengetuk dahi pelayan polosnya itu.
Beberapa jam kemudian, mereka pergi ke pasar.
Tentu saja, bukan dengan wajah polos dan rambut kusut seperti biasanya. Nubi menyisir rambut Xiao Lian dengan sabar, mengepangnya rapi dan menambahkan pita kain biru muda—warna yang lembut, tapi menyegarkan. Gaun kusam lama dicuci bersih dan dijahit ulang hingga pas di tubuh.
Xiao Lian bahkan menambahkan perona bibir buatan sendiri dari kelopak bunga bugenvil yang ditumbuk dengan madu. Tentu ia yang menyuruh Nubi menyiapkan semua bahan itu dan ia yang membuatnya.
Wajahnya belum secantik wanita-wanita bangsawan lainnya, tapi ada sesuatu yang bersinar—anggun, bersih, dan hidup.
Mereka keluar melalui jalur belakang, menyelinap dari kediaman utama yang tak pernah peduli ke mana Xiao Lian pergi. Jalanan di luar terasa seperti dunia lain.
Riuh, berwarna, penuh aroma manis dan suara tawa.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya… Xiao Lian merasa bebas.
“Pasar ini… terasa seperti napas pertama setelah keluar dari penjara,” gumamnya sambil berjalan melewati deretan pedagang.
Nubi menatapnya dengan mata berair. “Aku senang Nona bisa tersenyum seperti ini…”
Xiao Lian mengangguk, lalu menunjuk ke sebuah gerobak kecil yang menjual kalung kaca dan hiasan logam. “Kita harus mulai berpikir tentang uang. Aku tak akan bergantung pada ayah, apalagi keluarga ini.”
Nubi mengangguk, "Nona pasti akan kaya raya!" teriaknya.
"Kayaaa!" sorak mereka bedua tertawa gembira.
Mereka mendekati pedagang tua berjanggut putih. Di atas meja lapaknya ada jam saku, susuk rambut, bahkan batu kristal palsu yang dipoles seolah berlian.
“Boleh lihat ini?” tanya Xiao Lian sopan, mengambil salah satu liontin.
"Nona itu jelek sekali, nona yakin mau membeli itu?" ujar Nubi.
Xiao Lian tak merespon, dia pokus dengan barang yang ia pegang.
Si kakek memandangnya sekilas, lalu mengangguk. “Jarang gadis muda mau lihat barang seaneh ini.”
"Bukan aneh," ujar Xiao Lian. Ia membalik liontin itu, lalu menekan bagian tengah. Mekanisme tersembunyi terbuka.
"Ini mekanisme sederhana, tapi kalau dipadukan dengan batu yang bisa menyimpan aroma, bisa jadi liontin pewangi. Aku bisa buat yang lebih baik.”
Nubi bertepuk tangan, kagum mendengar penjelasan tuannya.
Kakek itu mengangkat alis. "Kau tukang ukir?"
"Bukan. Tapi aku tahu cara membuat benda kecil jadi luar biasa. Jika aku membuat beberapa contoh… apa kau mau membelinya?"
Kakek itu terkekeh, lalu mengangguk. "Tunjukkan padaku. Kalau bagus, aku akan titip jual."
Xiao Lian mengangguk hormat. "Terima kasih, Paman. Aku beli ini satu."
Setelah urusan dagang awal itu selesai, mereka lanjut menyusuri lorong pasar. Nubi, untuk pertama kalinya, berani tertawa keras saat mencicipi kue kacang isi manisan bunga jeruk. Xiao Lian mencoba teh susu hangat dari penjaja asing yang berbicara dengan aksen berat. Mereka membeli rempah-rempah, kain sisa, dan alat kecil dari toko pandai besi murah. Semua untuk eksperimen dan produk buatan tangan yang Xiao Lian rencanakan.
Saat melangkah ke gang tenang di sisi timur pasar, Xiao Lian tanpa sengaja menabrak seseorang.
Brakk!
Xiao Lian hampir terjatuh, untung saja Nubi segera menghalangi tubuhnya dari belakang.
"Maafkan saya," kata Xiao Lian, segera menunduk, ia menatapnya bersalah.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia balik menatap wajah Xiao Lian lama, sebelum akhirnya berkata, "Tak banyak wanita yang berani menatapku langsung, apalagi di tempat seperti ini."
"Kau tak takut menatapku, gadis kecil?" tanyanya dingin. Suaranya berat, nyaris seperti bisikan yang menusuk langsung ke tulang belakang.
Pria itu tampak lebih muda dari dugaan, mengenakan jubah hitam dengan sulaman perak di kerahnya. Wajahnya tajam dan pucat, matanya hitam legam menatap lurus ke dalam mata Xiao Lian—dalam, tenang… tapi menyimpan bahaya.
Xiao Lian mengangkat dagu sedikit. “Mengapa harus takut pada seseorang yang bahkan belum menyebutkan namanya?”
Sudut bibir pria itu terangkat. “Menarik.”
Nubi menarik lengan Xiao Lian pelan. “Nona… sebaiknya kita pergi—”
Namun sebelum mereka bisa bergerak, sebuah bayangan muncul dari balik gang. Seorang pria lain, dengan pakaian militer rahasia istana, berjalan cepat ke arah mereka.
“Yang Mulia… para penjaga istana sudah mencarimu. Anda tidak bisa berlama-lama di sini…”
Xiao Lian dan Nubi membeku.
Yang mulia?
Pria berjubah hitam itu tak merespon, ia masih menatap Xiao Lian lekat, seperti mencoba mengurai siapa dirinya hanya dari sorot mata.
"Nama?" tanyanya dingin.
Xiao Lian mengangkat dagu, tak ingin menunjukkan gentar. "Apakah semua bangsawan suka bertanya tanpa memperkenalkan diri lebih dulu?"
Tangannya meremas roknya sendiri.
Sang prajurit pengawal di belakang pria itu tampak tergagap. “Yang Mulia, kita harus—”
Namun sang pria mengangkat tangan, menghentikannya. Ia melangkah mendekat, kini hanya berjarak beberapa jengkal dari Xiao Lian.
"Ini terlalu... dekat."
Xiao Lian menahan nafas.
"Menarik... sangat menarik. Biasanya gadis-gadis hanya menunduk dan bicara terbata-bata saat bertemu denganku." Suaranya rendah dan tenang, tapi membawa tekanan tak kasat mata. Aura dominan yang membuat Nubi si pelayan kecil refleks bersembunyi di belakang Xiao Lian.
"Dan kau… memancarkan sesuatu yang berbeda." Ia berhenti sejenak, matanya menyipit. "Kau adalah wanita yang ku cari."
Xiao Lian menatapnya balik. Matanya yang jernih memantulkan bayangan lelaki itu dengan tajam. "Aku tidak berniat menjadi salah satu dari wanitamu."
Untuk sesaat, waktu terasa membeku. Keramaian pasar di kejauhan menjadi gumaman samar, hanya tatapan mereka yang saling bersilang di tengah lorong sempit itu.
Pria itu tersenyum samar. Senyum yang tidak hangat, namun... berbahaya.
"Xiao Lian, ya?" ucapnya akhirnya, seolah baru saja mengonfirmasi dugaannya sendiri.
Xiao Lian menegang. Ia tidak pernah menyebutkan namanya.
"Kau... siapa sebenarnya?" tanyanya waspada.
Namun pria itu hanya berbalik pelan. Jubah hitamnya berkibar ringan tertiup angin. “Kau akan tahu saat kita bertemu lagi."
Setelah kepergian pria itu, Xiao Lian tak langsung bergerak.
Dadanya terasa berat, bukan karena takut… tapi karena intuisi lamanya sebagai ilmuwan memberi sinyal kuat, pria itu bukan orang yang bisa dilawan dengan otak kosong.
"Nona baik baik saja?" bisik Nubi dengan suara tercekat.
"Hemm, sebaiknya kita pulang sekarang." jawab Xiao Lian pelan.
Ia mengepalkan tangan. Ia harus bersiap.
Malamnya…
Xiao Lian duduk di kamarnya, memutar-mutar liontin dari pasar siang tadi. Ia sudah membongkar bagian dalamnya, lalu mulai menggambar ulang desain baru—lebih rumit, lebih elegan, dan bisa menyimpan aroma minyak atsiri sekaligus menyembunyikan pesan rahasia.
Nubi menatap tuannya kagum. "Nona… apakah semua benda ini akan Nona bawa ke istana?"
Xiao Lian mengangguk. "Kalau aku ingin bertahan, aku harus punya sesuatu yang bahkan bangsawan pun tidak punya, kecerdasan."
Ia membuka kembali salah satu buku tua yang disalin dari perpustakaan: "Formasi Energi Dasar. Harmoni Elemen." Di bagian pojok halaman, ia menemukan goresan tangan kuno.
"Gerbang tersembunyi hanya terbuka pada darah yang bangkit dari abu."
Xiao Lian menggigit bibirnya. Kalimat itu… entah kenapa, membuat bulu kuduknya berdiri.
"‘Bangkit dari abu’... seperti aku?" gumamnya.
Suara angin berdesir lewat celah jendela, meniup lembaran-lembaran kertas hingga berhenti di satu halaman bergambar sketsa gua bawah tanah, dengan lambang naga hitam di pojok kanan bawahnya.
"Aku tidak sabar melihat matahari besok..."
Keesokan paginya...
Langit sudah mulai memerah saat Xiao Lian memetik apel di halaman samping. Pagi buta sekali energi gadis itu sudah terkumpul. Tenang, bersenandung bersama burung merpati.
"Nona! pengawal istana mencari nona."
Datang Nubi berlari cepat entah datang dari mana, ngos ngosan menghampiri tuannya membawa kabar.
Tanpa berbicara apapun, Xiao Lian mendengarnya segera bergegas melangkahkan kaki mereka, cepat namun tetap tenang, membawa bungkusan berisi apel apel yang baru ia petik.
Namun saat mereka tiba di gerbang samping, seorang pria berpakaian hitam resmi dengan lambang naga bersayap berdiri tegak, ditemani dua penjaga istana.
"Xiao Lian?" tanya sang pria sambil membuka gulungan kecil bersegel. "Saya datang atas perintah Putra Mahkota. Anda diminta hadir dalam jamuan makan di rumah mawar hari ini sebagai persiapan sebelum keberangkatan anda besok."
Xiao Lian menerima gulungan itu. Matanya menyipit, membaca tulisan resmi itu dengan cepat.
Jamuan kehormatan?
Ini bukan tentang menghormatinya. Ini tentang menekan mentalnya sebelum berangkat
"Baiklah. Aku akan datang," jawab Xiao Lian tenang. "Berikan aku waktu satu jam untuk bersiap."