Awal - Di Balik Kota Bernama Vireon

Kota ini dibangun oleh cahaya, tapi dikendalikan oleh bayangan.

Vireon. Kota paling maju di wilayah tenggara bumi.

Pusat dari teknologi, ekonomi, dan ilusi kesejahteraan.

Di atas permukaannya, Vireon terlihat sempurna:

Mobil terbang, gedung pencakar langit bersinar, AI mengatur lalu lintas dan distribusi makanan, bahkan penjahat pun jarang terlihat.

Tapi di balik semua algoritma dan mesin itu… ada sistem lain yang bekerja. Sistem yang tidak tercatat.

Sistem yang menjaga stabilitas dengan cara yang tak pernah masuk berita.

Di sinilah Aven Kuro hidup.

Seorang pria tanpa suara. Tanpa masa lalu. Tanpa wajah di dunia maya.

Yang tersisa hanyalah reputasi.

---

Nama kodenya: Red Sigil.

Tandanya: sebuah lingkaran merah dengan satu garis vertikal di tengah — dicoret di dinding, ditinggal di sarung peluru, atau hanya terpantul di layar musuh sebelum mati.

Di antara dunia kriminal bawah tanah, simbol itu punya satu makna:

Kematian telah dikonfirmasi.

---

Aven bukan pembunuh kejam. Dia hanya mesin.

Tidak emosional, tidak terlibat, tidak pernah gagal.

Dia hidup di Distrik 7, di sebuah kamar apartemen tersembunyi di bawah tumpukan kabel dan generator tua. Semua yang dia miliki bisa dibawa dalam satu koper besi:

Senjata rakitan, tablet pengacak sinyal, dan sebuah jam tangan rusak yang selalu menunjukkan pukul 3:14.

Waktu saat hidupnya berubah.

Waktu saat seseorang di masa lalu — atau masa depannya — memaksanya memilih jalan ini.

---

Di dunia bawah tanah Vireon, semua orang punya harga.

Politikus. Ilmuwan. Polisi. Bahkan pembunuh seperti Aven.

Malam ini, klien misterius menghubunginya lewat jaringan terenkripsi.

Targetnya adalah seorang pejabat muda Dewan Kota.

Biasa. Standar. Bayarannya tinggi. Tanpa banyak pertanyaan.

Tapi ada sesuatu yang aneh.

File targetnya kosong. Tidak ada nama, tidak ada foto. Hanya satu perintah:

“Kill on sight. No trace. No evidence. Dead before midnight.”

Aven hanya mengangguk. Menyimpan file-nya.

Dan mulai mempersiapkan senjatanya.

---

Di luar jendela, drone iklan melintas membawa cahaya biru dan ungu ke dalam kamarnya yang suram.

Tapi dia tidak melihat cahaya itu. Dia hanya menatap pantulan wajahnya di layar tablet — dingin, tenang, kosong.

Karena di kota ini, mereka yang punya perasaan akan mati lebih dulu.

Dan Aven Kuro… tidak pernah punya perasaan sejak lama.

---

“Saat peluru pertama ditembakkan, tidak akan ada jalan kembali.”

– Catatan pribadi, Aven Kuro.