Kami duduk di meja panjang dekat jendela besar. Dari sini, aku bisa melihat taman belakang sekolah yang dipenuhi pepohonan tua dan air mancur. Cahaya senja menyelinap masuk lewat celah kaca, memberikan warna keemasan yang aneh—hangat tapi juga muram.
Wooyoung dan Hakho pergi lebih dulu ke barisan makanan. Keduanya tampak akrab dan sesekali tertawa kecil, seperti tidak ada beban. Tapi entah kenapa, gerak-gerik mereka terlalu terkontrol. Bahkan saat memilih makanan, Taehyung hanya menunjuk tanpa banyak bicara, dan Jungkook seolah memperhatikan sekeliling, bukan sekadar menunggu antrian.
Sementara itu, aku duduk di antara Hyunmin dan Jiseok, dengan Jooan dan Jina di seberang. Kyumin duduk paling ujung, menyilangkan tangan dan menatap ke luar jendela. Ia tampak tidak tertarik untuk ikut terlibat.
“Jadi Hana...” Hyunmin membuka percakapan, nada suaranya lembut dan pelan, tapi jelas membuatku jadi pusat perhatian di meja ini. “Kamu tinggal di mana sebelumnya?”
Aku ragu sejenak. “Di rumah... aku home schooling sejak kecil. Baru sekarang masuk sekolah formal.”
“Oh, jadi kamu belum pernah sekolah seperti ini sebelumnya?” sambung Jiseok dengan senyum hangat.
Aku mengangguk. “Iya... ini pengalaman pertama.”
Jina meletakkan gelas jus di mejanya, lalu menatapku cukup lama. “Kamu pasti kaget ya, soalnya ini hari pertama mu sekolah di sekolahan yang normal.”
"iya dan lagi kamu pasti kaget soalnya Bangtan school, beda dari yang lain." timpal Jiseok.
"iya beda banget....." jawab ku tanpa berpikir.
*Jooan* tertawa pelan. “Tunggu saja. Kamu akan terbiasa. Tapi sekolah ini… punya aturannya sendiri.”
"nah soal aturan, emang di Bangtan school aturannya apa aja?." tanyaku penasaran
Jooan menatapku sekilas namun tatapan itu kembali melembut sembari ia menjelaskan padaku, "gak ada yang istimewa, semua aturan disini memiliki sistem yang sama seperti sekolahan pada umumnya, hanya itu."
Kalimat itu terasa menggantung. Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi ada sesuatu dari cara mereka menatapku—ramah, tapi menyelidik. Seolah mereka juga sedang menilai... apakah aku bisa bertahan di sini.
“Orangtuamu pasti orang penting, ya?” tanya Wooyoung tiba-tiba, muncul kembali dengan nampan makanan di tangannya. Hakho mengikutinya tanpa suara.
Aku menggeleng pelan. "aku nggak merasa kalo orangtuaku juga termasuk orang yang penting, cuma ya gitu.... Mereka sibuk di perusahaannya masing-masing."
"dan aku lebih sering sendiri di rumah." timpalku lagi.
Hakho duduk tepat di seberangku, pandangannya tajam, seperti sedang mengukur jawabanku.
“Sendiri itu... menyenangkan atau menyedihkan?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Menurutku... tergantung,” jawabku akhirnya. “Kalau terlalu sering, rasanya kosong.”
“Di sini juga begitu,” gumam Kyumin, suaranya nyaris tak terdengar. Tapi kami semua mendengarnya.
“Maksudnya?.” aku tak bisa menahan diri untuk bertanya.
Dia menoleh sebentar, matanya dingin. “Nggak ada yang benar-benar kamu kenal di sini, Hana. Bahkan kalau kamu duduk di meja yang sama.”
Hening. Ucapannya menggantung di udara seperti kabut.
Hyunmin cepat-cepat memotong suasana. “Kyumin memang suka dramatis. Padahal dia yang paling setia kalau udah dekat sama orang.”
Jiseok ikut menimpali, tertawa kecil. “Dia cuma belum makan aja, makanya sensitif.” sembari merangkul pundak Kyumin.
Tawa ringan mengalir di meja, tapi tidak membuatku sepenuhnya tenang. Semua kalimat mereka… terasa seperti lapisan pertama dari sesuatu yang lebih dalam.
Aku memandangi mereka satu per satu. Senyum mereka tampak biasa saja. Tapi di baliknya, aku tahu… semua dari mereka menyimpan sesuatu. Entah rahasia, entah luka, entah... niat tersembunyi.
Dan aku tahu, ini baru permulaan.
> “Mereka menatapku seperti aku teka-teki yang harus dipecahkan.
> Tapi nyatanya…
> merekalah teka-teki terbesar di sekolah ini.”