BAB 5 // TIGA BAYANGAN YANG TAK PERNAH PERGI DARI KU

Langkah kami menyusuri lorong utama Bangtan School, hingga akhirnya di sebuah persimpangan taman sekolah, kami berhenti.

‎“Aku dan Jina harus ke ruang OSIS. Ada rapat soal festival sekolah,” ucap Jooan, seraya merapikan kancing jasnya. Ia terlihat seperti pemimpin sejati—tenang, penuh perhitungan.

‎Jina menepuk pelan bahu Jooan sambil tersenyum ke arahku. “Kalau kamu butuh sesuatu nanti, tinggal datang ke ruang OSIS, ya.”

‎Aku mengangguk kecil. “Terima kasih...”

‎“Yaaah kita beda jalan nih,” sela Jiseok sambil pura-pura cemberut. “Aku mau ke ruang seni sama Kyumin. Hari ini ada latihan musik.”

‎Kyumin, yang berdiri di belakangnya, hanya melirikku sekilas sebelum berjalan lebih dulu, tanpa pamit. Tatapannya dingin tapi bukan karena benci—lebih seperti... dia terlalu lelah untuk peduli. Tapi entah kenapa, langkahnya tetap tenang. Jiseok menatapku sambil tertawa kecil, “Jangan khawatir soal dia, Kyumin emang gitu. Tapi dia perhatian, cuma caranya aneh.”

‎Aku tersenyum tipis. “Iya, aku ngerti… kayaknya.”

‎Dan akhirnya hanya tersisa kami berempat: aku, Wooyoung, Hakho, dan Hyunmin.

‎“Terus kamu mau ke mana sekarang?” tanya Hyunmin, berdiri di sampingku dengan tangan di belakang punggungnya, wajahnya sedikit dimiringkan seperti anak kecil yang penasaran.

‎Aku menggeleng. “Belum tahu. Aku juga belum hafal tempat ini.”

‎“Aku bisa jadi peta hidupmu, noona~” celetuk Wooyoung tiba-tiba sambil mengangkat alis dengan ekspresi konyol. Nadanya dramatis banget, kayak tokoh pangeran di drama. Aku nggak bisa menahan tawa. “Kalau kamu tersesat, aku akan muncul seperti cahaya dari langit—”

‎Hakho langsung menimpali dengan nada datar, “Dan bawa kamu ke arah yang salah.”

‎“Yaa! Hakho!” Taehyung memukul pelan bahu Hakho sambil cemberut, dan aku tertawa lagi.

‎“Aku pikir sekolah ini menyeramkan, ternyata isinya komedian semua,” kataku pelan sambil senyum, merasa sedikit lebih nyaman.

‎“Gini nih, kebanyakan orang baru selalu ngira Bangtan School itu tempatnya dingin dan kaku,” ujar Hyunmin sambil berjalan mundur di depan kami. “Tapi kamu bakal lihat sisi lain dari tempat ini… kalau kamu tahu ke mana harus melihat.”

‎“Misalnya?” tanyaku, sedikit tergelitik dengan ucapannya.

‎Hakho dan Wooyoung saling pandang sebelum Jimin menjawab, “Nanti aja. Semua orang punya caranya masing-masing buat tau.”

‎Aku terdiam sebentar, memperhatikan mereka bertiga yang berjalan di sisiku. Hyunmin dengan senyum lembutnya, Hakho dengan tatapan tenangnya, dan Wooyoung yang sesekali mengangkat ranting di jalan lalu melemparkannya seperti anak kecil yang nggak pernah tumbuh dewasa.

‎Di antara mereka… aku merasa sedikit lebih aman.

‎> Tapi tetap saja, di balik tawa-tawa itu, aku tahu...

‎Mereka menyembunyikan sesuatu.

‎Bukan karena jahat. Tapi karena terbiasa menyimpan terlalu banyak rahasia.

‎ ~•••~

‎“Kalau kamu bisa pilih satu tempat buat sembunyi di sekolah ini, kamu pilih di mana?” tanya Hakho tiba-tiba, serius.

‎Pertanyaan itu aneh. Tapi aku tetap menjawab, “Mungkin… perpustakaan.”

‎“Klise banget,” celetuk Wooyoung sambil meringis. “Kamu belum coba rooftop tengah malam.”

‎“Ya, Wooyoung!” protes Hyunmin. “Itu rahasia!”

‎“Oops~” jawabnya dengan nada iseng.

‎Aku menatap mereka satu per satu. Mereka seperti orang-orang yang selalu membawa canda ke mana pun mereka pergi. Tapi mataku menangkap sesuatu dari cara mereka saling menatap. Ada kode, atau semacam pemahaman tak terlihat.

‎Dan aku mulai sadar. Aku bukan hanya murid baru.

‎Aku sedang melangkah ke dunia mereka—dunia yang tidak bisa dipahami hanya dengan senyuman.

‎---

‎> “Terkadang candaan mereka terdengar lucu…

‎> Tapi aku tahu, mereka hanya sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin mereka bagi dengan siapa pun.”