Aku selalu bermimpi bahwa aku terus memiliki nilai informasi yang lebih tinggi dari biasanya, namun itu itu hanya sering ada di mimpi dan tidak pernah menjadi kenyataan yang sesungguhnya.
Bahkan salah satu mimpi itu pernah menunjukkan sesuatu yang mencengangkan ku, yaitu informasi yang ku punya adalah sebuah nilai informasi paling tinggi hingga menduduki peringkat paling atas, bahkan sampai tahap nilai informasi fundamental yang bersifat konseptual.
Namun, sudah jelas dengan apa yang aku katakan barusan. Itu semua hanyalah mimpi dan angan-angan saja yang kosong tanpa ada secercah cahaya harapan yang bisa datang.
Langit biru dengan awan-awan yang terus bergerak secara perlahan, burung-burung terus berkicau, menghidupi suasana pagi yang sedang segar ini.
“....”
“?!”
Aku merasakan adanya sebuah sinar yang menyinari mataku, sinar cahaya yang cukup terang itu mengganggu tidurku yang enak. Kemudian, Aku membuka sedikit mataku untuk mencoba melihat kembali sinar itu, layaknya melihat kembali sebuah sinar harapan yang dapat bersama dengan terbitnya matahari.
Ternyata sinar matahari itu menembus kaca yang ada di samping kananku, sehingga itu menyilaukan mataku saat mencoba melihatnya.
Aku menutupi wajahku untuk menghalangi sinar matahari itu menyinari mataku dengan satu tangan, yaitu tangan kananku. Lalu kembali ke posisi awal untuk melihat sekitar.
Seorang perempuan, berumur 18 tahun, memiliki rambut yang anggun tergerai indah hingga ke punggung, yang ku rawat dengan baik dengan warna abu-abu atau mungkin iron, dengan warna mataku yang cukup mencolok yaitu merah layaknya Ruby.
Mengenakkan kemeja hitam dengan dasi abu yang cocok dengan rambutku, dilengkapi dengan jas seragam sekolahku yang berwarna abu-abu shadow, tentu saja dengan rok warna hitam.
Itulah aku, Kiana Engage.
DING DONG...
Diikuti oleh suara dari Penyiar kereta yang menggunakan mic terdengar di seluruh gerbong kereta serta penumpangnya.
“Perhatian kepada para penumpang, Tempat pemberhentian selanjutnya adalah stasiun Lunar. Harap untuk sabar menunggu pemberhentian.”
Aku berada di kereta yang memiliki tujuan ke stasiun lunar, stasiun yang terletak di ibu kota Galar, Lunarc City. Sebuah kereta canggih dengan lantai putih metalik, kursinya yang hanya tersedia satu di setiap bagian untuk satu penumpang, dengan dihiasi oleh lampu-lampu neon warna biru terang yang berada di setiap sisi kereta, ditambah lagi dengan sebuah lampu yang ada di atas kereta.
Aku bertujuan untuk ke sekolahku yang memang terletak di ibu kota, karena jarak dari rumahku ke ibu kota itu cukup jauh, karena itulah aku menggunakan kereta.
Aku tersenyum santai, sambil menyandarkan kepala serta badanku ke kursi, dan mataku yang melihat kearah luar jendela yang berupa pemandangan kota dari atas. Dengan diikuti oleh sinar matahari yang terus naik keatas.
Sebuah kota yang sangat canggih, dengan warna-warna yang dominan putih metalik, mungkin sekarang disebutnya sebagai 'Futuristik'.
Teknologi di Eos sudah semakin maju dari abad ke abad, dari dekade ke dekade. Semua hal yang berhubungan dengan sosial sudah sangat canggih, seperti kereta ini, alat komunikasi, dan semacamnya.
Tidak hanya sampai di bumi saja, Manusia-manusia di Eos bahkan membuat koloni di luar angkasa. Membuat sebuah istilah yang bernama Spinning Spacecraft koloni yang berisi jutaan manusia yang ada.
Spinning Spacecraft itu memiliki nama yaitu Moonchild, yang berdekatan dengan bulan tapi tidak menghalangi orbit bulan untuk terus bergerak mengelilingi Eos.
DING DONG...
Suara penyiar terdengar kembali.
“Perhatian kepada para penumpang, Kita sudah sampai di Stasiun Lunar. Harap berdiri di depan pintu.”
Oh, Itulah pemberhentian ku, sebaiknya aku cepat berdiri.
Dengan santai, Aku berdiri dari duduk ku di kursi kemudian membawa tas yang berada di samping kiri kursi. Seluruh penumpang yang nampaknya memiliki tujuan yang sama yaitu ke stasiun lunar juga ikut berdiri.
Saat aku mengakhiri kereta, aku mendengar kebisingan yang sering terjadi dan ada di stasiun kereta. Ramai orang yang keluar dari kereta, ramai juga orang yang masuk ke dalam kereta. Aku menginjakkan kakiku di lantai stasiun lunar, keluar dari kereta.
“Akhirnya sampai juga.”
Baiklah, sekarang aku harus menuju ke sekolah. Aku tidak ingin terlambat, dengan sebuah alasan yang cukup konyol.
Aku mulai berjalan kaki demi menuju ke sekolah yang tak jauh dari sini.
[Halaman depan Akademi Timeline — Jam 07.10 1978 SY]
Dengan susah payah, aku berhasil untuk sampai ke halaman depan Akademi Timeline.
Sebuah akademi yang memiliki fasilitas paling canggih dibandingkan dengan akademi lain di Eos, akademi ini dibangun pada 1920 SY. Ide tercipta di adalah dari seorang ilmuwan yang juga mengembangkan koloni, bernama Joe Fanselthon.
Beliau membangun akademi ini akibat ia terinspirasi dengan akademi pada jaman dahulu kala, pada saat 1500 tahun yang lalu, yaitu Diver Series Academy. Yang kini, Diver Series Academy sudah menjadi sejarah pendidikan yang sangat baik di kerajaan. Beliau, Joe Fanselthon, terinspirasi dengan struktur dan pendidikan yang terdapat pada Diver Series Academy.
Diver Series Academy sudah menjadi monumen bersejarah yang melihat terus perkembangan teknologi, informasi dan sistem manusia dalam beberapa abad. Namun, pada 899 SY akademi ini resmi ditutup karena sebuah insiden yang melibatkan ribuan siswa disana terlibat dalam perang melawan makhluk yaitu Revolt.
Pondasi awal dari terciptanya ide untuk membuat Akademi Timeline adalah perkembangan teknologi, informasi dan sistem manusia, itulah yang dicari oleh beliau, dan diterapkan pada Akademi Timeline sebagai landasan utama akademi.
Itulah yang sedang kucari juga, mengenai informasi tentang landasan utama akademi ini yang bisa menjadi salah satu akademi yang sangat identik dengan teknologi, informasi dan data.
Aku meneruskan perjalanan ku untuk menuju ke arah kelasku, yang berada di lantai dua, tepatnya kelas 3-S.
Melewati setiap pelajar yang lain, yang asik menikmati kehidupan, kehidupan masa muda yang sangat indah di kala waktu-waktu seperti ini.
Setelah berjalan cukup lama, Aku sampai di depan kelas 3-S, kemudian masuk kedalam. Lalu sebuah sapaan akrab menyapaku dari depan.
“Oh, Kiana, Selamat pagi.”
Itu adalah sapaan dari teman baikku, Sena Himeya. Teman pertamaku di sekolah dan tidak ada lagi, karena kau tahu... Eh aku cukup introvert dibanding yang lain.
Seorang perempuan berumur 18 tahun yang sama denganku, berambut biru layaknya lautan, beserta dengan mata biru seperti sapphire. Dan ia sudah jelas mengenakan pakaian yang sama dengan yang aku kenakan, seragam Akademi Timeline.
Ia duduk di kursi yang berada di depan kursiku, yaitu kursi kiri dekat jendela. Sepertinya ia tadi sedang bermain smartphone.
“Selamat pagi, Sena. Kau nampaknya datang lebih awal dari biasanya.”
“Hehe. Aku hanya tidak ingin kamu mengalahkan aku lagi seperti kemarin, kamu mengalahkan rekor ku terus sih.”
Aku tertawa kecil mendengarnya, apa yang ia katakan memang benar. Aku selalu datang lebih awal darinya bahkan dari siapapun, karena aku memiliki alasanku tersendiri.
Tapi tumben sekali ia paling pertama datang, biasanya ia datang setelah ku. Apakah ia dendam padaku karena aku terus mengalahkannya?
Dia bukan tipe perempuan pendendam sih. Kemudian, aku pun duduk di bangku kursiku. Lalu ia kembali berbicara.
“Hei, Kiana. Apakah kau sudah bisa mendaftar ke universitas yang impianmu? Kelulusan sudah semakin dekat lho”
“Belum. Aku akan menemui kepala universitas itu nanti, karena aku memiliki kenalan cukup dekat dengan kepalan yayasan universitas. Jadi mungkin itu adalah kesempatan emasku.”
“Oh begitu ya.”
Universitas Azurium. Universitas yang ingin ku tuju sekarang, universitas itu adalah universitas paling bergengsi di seluruh penjuru tempat dan negara di Eos. Sekaligus paling susah untuk masuk kesana, banyak sekali siswa yang mencoba masuk ke Universitas Azurium, namun dari sekian banyak siswa yang mendaftar hanya beberapa saja yang diterima.
Dan itu bisa diitung oleh jari, dari setiap abad, pasti ada saja yang berhasil untuk berdiri tegak dan masuk kedalam universitas meski mendapatkan hambatan.
Termasuk Joe Fanselthon, beliau adalah alumni yang pernah belajar sebagai pelajar di Universitas Azurium. Karena, Universitas Azurium sudah berdiri sejak seribu lima ratus enam belas tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 462 SY, dan terus berdiri hingga sekarang.
Itu memang cukup gila, semua orang mempertanyakan hal itu 'Kenapa Universitas ini terus ada dari 1517 tahun yang lalu, dan masih berdiri hingga sekarang?' namun masih ada penjelasan yang lebih logis dari pertanyaan itu.
Yaitu, setiap generasi yang lulus dari universitas itu rata-rata adalah orang yang sudah sangat pintar dan akhirnya meneruskan kembali universitas itu dibawah naungannya.
Sembari menjaga citra baik dari universitas meski dianggap sebagai universitas paling sulit untuk diraih, namun dalam pengertian yang sangat baik.
Kemudian, aku bertanya pertanyaan yang sama dengan yang Sena tanyakan.
“Kalau kamu bagaimana, Sena? Apakah ada universitas yang ingin kau capai?”
“Hmmmm... Ada sih, aku ingin masuk ke universitas yang sama dengan Eiji-san. Jadi aku ingin terus bersamanya.”
Sepertinya aku salah untuk menanyakan hal itu kepadanya, ia meneruskan ocehan yang 'sangat' penting baginya.
“Aku akan terus bersama Eiji-san di universitas, belajar bersamanya, berpegangan tangan dengan lembut, menonton bersamanya! Lalu setelah lulus, aku akan menikah dengannya!”
Aku mencoba menghentikannya dari halu nya yang tinggi.
“Wow, wow. Sena, kau terus mengoceh tanpa henti!”
Ia nampak tidak menghiraukan ucapanku tadi, layaknya menganggap perkataan ku tadi hanyalah sebuah angin yang sekadar numpang lewat.
Ia meneruskan ocehan yang 'sangat' penting baginya dalam membicarakan ia dengan pacarnya yang bernama Eiji Spade.
“Melakukan malam pertama dengannya, lalu beberapa tahun kemudian memiliki anak dan hidup bahagia bersamanya! Ahh~ sungguh menakjubkan~”
“Kamu memang cerewet dari lahir ya.”
Kemudian, sebuah suara sapaan terdengar kembali di kupingku. Suara laki-laki ikemen yang khas, seketika membuatku dan Sena yang tadinya mengoceh tanpa hambatan terhenti.
“Yo.” ucapnya.
Seorang laki-laki dari kelasku, berambut hitam, beserta dengan mata biru seperti lautan yang sangat luas. Mengenakkan seragam akademi Timeline, dengan yang membedakan dari seragam perempuan adalah celananya yang berwarna perak.
Dengan wajah yang cukup tampan, di mata perempuan. Karena itulah, daritadi Sena mengoceh tidak jelas tentang dirinya.
“Selamat pagi, kalian berdua.”
“Oh, Eiji, selamat pagi.” ucapku untuk membalas sapaannya.
“Selamat pagi, Eiji-san!”
“Pagi, Sena. Tapi Sena, mulai sekarang bisakah kau berhenti memanggilku dengan 'Eiji-san'?”
Sontak membuatku dan Sena kaget mendengar itu, tidak mungkin ia memutus hubungan antara dia dan Sena.
“Eh?”
“Kenapa?” tanya Sena.
Sena nampak khawatir seketika setelah Eiji berkata seperti itu, reaksi alami yang memang cukup membuat seseorang menjadi lebih khawatir dari sebelumnya.
Sepertinya baik aku maupun Sena, akan segera mendapatkan jawabannya. Jika memang benar bahwa ia memutus hubungan percintaan mereka berdua, aku akan segera memarahinya.
Eiji kemudian berkata dengan santai.
“Aku ingin kau memanggilku dengan namaku saja, tanpa perlu terlalu formal.”
Itu membuat Sena menjadi salah tingkah, wajahnya mulai memerah merona. Matanya terbuka lebar, dengan tangannya yang menutupi mulutnya.
Eiji kemudian meneruskan perkataannya.
“Aku hanya ingin kita ini terlihat memang seperti memang sepasang kekasih.”
Sena menjadi semakin salah tingkah, ia tidak bisa menahannya, asap keluar dari kepalanya, darah juga keluar dari hidungnya.
“Sena!”
Aku terkejut melihat itu terjadi pada Sena, reaksi yang berlebihan menyebabkan ia menjadi lebih salting dari biasanya, alias salah tingkah. Apalagi, Eiji mengatakannya setelah Sena mengoceh panjang lebar mengenai halu nya di masa depan.
Sudah jelas membuat Sena menjadikan istilah salah tingkah ketingkat yang lebih tinggi lagi, dari sekadar hanya salah tingkah biasa.
Aku dan Eiji nampak panik dengan keadaan Sena yang tiba-tiba pingsan itu, ia pingsan di kursi, sambil wajahnya yang masih terus merah merona dengan blush, dan darah mengalir dari hidungnya alias mimisan.
“Dia sepertinya menjadi salah tingkah setelah kau mengucapkan hal yang membuatnya lebih salting lagi dari sebelumnya.”
“Sebelumnya? Dia sebelumnya salah tingkah akibat apa?”
Aku akan menjelaskan bagaimana Sena bertingkah laku sesuai apa yang aku ingat, bertingkah layaknya membayangkan masa depan yang cerah dan sangat indah.
“Sebelumnya, kami hanya sedang mengobrol biasa sembari membahas mengenai universitas yang akan dituju oleh kami berdua.”
“Ohh.”
“Dan pada saat aku menanyakan hal itu kepadanya, ia mulai mengoceh tentangmu.”
“Aku?”
“Ya, ia berkata bahwa dia ingin ke universitas yang sama dengan—Muhmhm!”
Mulutku tiba-tiba ditutup oleh sebuah tangan, membuat penjelasanku menjadi terpotong oleh tangan tiba-tiba itu. Tangan itu adalah tangan sena yang masih mimisan, sembari mencoba menahan diriku untuk menceritakan kejadian sebelumnya.
“Sena?”
Eiji kebingungan dengan sikap Sena, tidak hanya ia, aku juga sama.
“Hehe tidak apa-apa kok, Eiji. Jangan terlalu khawatir denganku hehe.” ucapnya dengan senyuman lembut kepada Eiji.
Aku mencoba untuk bergerak, mencoba meronta-ronta agar bisa dilepaskan oleh Sena. Sena menahan ku dengan cukup kuat, sehingga aku tidak bisa terlalu banyak untuk bergerak.
“Lepaskan aku Sena!” ucapku dengan suara yang teredam oleh tangan sena.
Kemudian, setelah susah payah untuk lepas dari tahanan Sena. Aku berhasil untuk lepas dari tangan sena, dan bernafas lega karena keberhasilan itu.
“Apa-apaan sih, Sena? Mulutku jangan di bekam seperti tadi dong.”
“Maaf, Kiana. Habisnya kamu berkata yang tidak-tidak.”
“Yang tidak-tidak? Bukannya itu adalah fakta?”
“Fakta darimana? Dari koloni? Kau jelas berkata yang tidak-tidak mengenaiku.”
“Justru itu aku mengatakan itu agar Eiji tahu bahwa kau sempat salah tingkah sebelum Eiji datang.”
Eiji mencoba untuk melerai pertikaian kecil kami berdua, walau sebenarnya tidak pantas juga disebut pertikaian sih.
“Sudah-sudah, nanti wajah manis kalian bisa hilang jika terus marah.”
“Kalau Eiji berkata begitu, baiklah.”
Wajah muramku kembali ke sebuah senyuman santai, sambil melihat kearah Sena. Yah itulah pertemanan ku dengan Sena, ada banyak pertikaian kecil selalu terjadi diantara kami, namun itu bukanlah sebuah halangan.
Kemudian, aku memperingatkan kepada Sena mengenai hidungnya yang masih mimisan.
“Baiklah, Sena. Sepertinya kamu harus menjaga kesehatan hidungmu.”
“Oh iya!”
Dengan sopan, layaknya seorang pahlawan kesatria yang datang pada putri di sebuah taman bunga. Ketika putri itu bersin, dengan sigap Eiji memberikan sebuah tisu kepada Sena.
Sena menerimanya dengan senang hati, serta sebuah senyuman manis yang terpancar dari wajahnya. Sena mengelap mimisannya menggunakan tisu yang Eiji beri.
Aku tersenyum melihat itu, layaknya ibu yang melihat anaknya bahagia bersama dengan pujaan hatinya. Walau untuk sekarang, kemesraan mereka cukup membuatku geli.
Sekarang yang bisa kulakukan adalah mendukung mereka dari jauh saja, dan juga mendukung diriku sendiri untuk mencoba masuk kedalam universitas Azurium.