Matahari belum sepenuhnya naik saat markas Server X kembali sibuk. Setelah data tentang BlackRoom bocor ke tangan mereka, semua anggota bergerak cepat.
Lim dan Mugi kembali berkutat di depan layar, menyaring data dari lokasi-lokasi yang mencurigakan. Salah satunya, sebuah koordinat di wilayah utara, di luar perbatasan legal pemerintahan. Wilayah itu dingin, sepi, dan tak tercatat di peta sipil.
Keter berdiri di depan layar holografik.
“Agung, Sora. Kalian dua orang terbaik untuk ini,” katanya tegas.
Agung mengangguk. Sora menyesuaikan sarung tangannya, wajahnya serius.
“Kami berangkat sekarang.”
---
Perjalanan ke utara bukan hal mudah. Mobil khusus Server X melaju membelah hutan-hutan mati dan jalanan retak yang ditinggalkan peradaban. Jalan itu menanjak, menukik, dan kadang tak tampak lagi sebagai jalan.
Di dalam mobil, Agung duduk di kursi kemudi, tenang seperti biasanya. Sora duduk di sebelahnya, menatap layar peta sambil menggigit bibir.
“Menurutmu, tempat ini benar-benar markas BlackRoom?” tanya Sora akhirnya.
“Kalau datanya akurat,” jawab Agung. “Dan biasanya Mugi tidak pernah salah.”
“Tapi kenapa harus sejauh ini? Tempat dingin, tak terjangkau, tanpa sinyal. Apa mereka pikir anak-anak itu tidak layak hidup di tempat layak?”
Agung menghela napas. “Karena manusia lebih mudah menyiksa kalau mereka bisa berpura-pura tidak melihat korbannya.”
Perjalanan itu memakan hampir 6 jam, dengan cuaca yang perlahan berubah menjadi lebih beku. Salju tipis mulai terlihat di sisi jalan. Hutan semakin sunyi, dan tidak ada lagi rumah, tower, atau jejak kehidupan lainnya.
Mereka berhenti di sebuah lembah yang ditandai Mugi lewat koordinat. Di sanalah mereka menurunkan drone.
---
Sementara itu, di markas Server X, Lim dan Mugi mengamati transmisi visual dari drone secara real time.
“Drone sudah masuk ke jalur bawah tanah…” gumam Lim.
Gambar di layar menunjukkan sebuah lorong gelap, dengan dinding logam berkarat. Drone meluncur perlahan, menyusuri terowongan sempit yang akhirnya terbuka ke sebuah ruangan besar.
“Ini seperti… ruang observasi?” Mugi memicingkan mata.
Drone terus maju, melintasi tumpukan barang rusak dan bekas tempat tidur kecil. Lalu... terdengar suara.
Awalnya hanya gemerisik.
Lalu, samar-samar, sebuah nyanyian. Suara anak-anak. Lambat, tak beraturan. Seolah… seperti suara dari mimpi buruk.
“Agung… kau dengar itu?” tanya Sora dari alat komunikasinya. “Seperti nyanyian… tapi tidak alami.”
Agung menggenggam kendali drone. “Kita tarik. Sekarang.”
Namun sebelum sempat ditarik, suara baru muncul—seperti rekaman suara yang diputar ulang dari pita usang.
"Kami tidak ingin dibentuk lagi…"
Lim membeku.
Mugi bergumam, “Mereka… mereka masih ada?”
Seketika layar menjadi hitam. Drone hilang kontak.
Lim langsung mencoba menyambung ulang jalur transmisi, namun tidak berhasil.
“Jaringan mereka dilapisi sistem kamuflase organik,” gumamnya.
“Organik?” Mugi bertanya, heran.
“Ya. Seolah-olah bangunan itu bernapas...,” jawab Lim, wajahnya mulai tegang. “Kita berhadapan dengan teknologi yang belum pernah tercatat.”
Di sisi lain dunia, Ao berjalan pelan di sepanjang lorong yang gelap. Ia kini mengenakan mantel hitam panjang, dan di belakangnya, dua anak kecil berjalan diam tanpa suara. Mata mereka kosong.
Di dalam ruangan observasi, pria berambut pirang—yang belum diketahui namanya—menatap layar transparan. Di sana, rekaman drone Server X yang sempat masuk masih terekam sebelum sinyal terputus.
“Kenapa kau biarkan mereka sampai ke pintu?” tanyanya datar.
Ao tertawa kecil. “Karena aku ingin tahu... siapa yang cukup nekat menyentuh jantung proyek ini.”
Ia melirik anak-anak di belakangnya.
“Apa kau akan menggunakannya?” tanya pria itu sambil mengangkat alis.
Ao menyeringai. “Tentu. Sudah waktunya kita perkenalkan senjata utama BlackRoom…”
Salah satu anak itu melangkah maju, lalu dengan suara datar berkata: “Perintah diterima. Target: Server X.”
Ao hanya tertawa pelan.
Di markas Sensper, beberapa jam setelah sinyal drone Server X menghilang
Tenku berdiri di depan layar besar, menatap data mentah dari utara. Gambar kabur dari satelit dan catatan rekaman terakhir drone Server X diputar ulang terus-menerus.
"Koordinat itu... mereka benar-benar menemukannya," gumamnya.
Rani masuk, membawa folder hasil pemantauan. "Kita tidak bisa menyangkal lagi. Proyek BlackRoom aktif. Dan Server X lebih dulu menyentuhnya."
Seorang agen di sudut ruangan menambahkan, “Kami mencatat gangguan sinyal berasal dari teknologi organik. Belum pernah terdaftar di sistem kita.”
Tenku mengangguk pelan. Ia berjalan ke tengah ruangan, lalu berhenti. “Sudah saatnya kita jawab panggilan itu.”
Rani memicingkan mata. “Kau yakin? Mereka kelompok peretas. Pembunuh. Penjahat.”
Tenku menatap layar, wajahnya tegas. “Dan mereka satu-satunya yang sudah sampai di depan pintu neraka, tanpa terbakar. Jika kita tetap berdiri di luar, kita hanya akan menunggu giliran hancur.”
Rani terdiam.
Tenku melanjutkan, “Hubungi mereka. Kirim pesan. Katakan bahwa Sensper ingin berbicara. Bukan sebagai musuh, tapi sebagai... penyintas yang masih peduli pada dunia ini.”
Di dalam mobil yang terparkir di lembah beku utara, Sora menatap layar monitor drone yang kini gelap gulita. Suara nyanyian anak-anak masih terngiang di telinganya. Ia menggigit bibir, merasa sesuatu yang jauh lebih mengerikan tengah menunggu di bawah sana.
Agung memasukkan pisau kecil ke balik sarung kakinya, mengenakan jaket tempurnya dengan gerakan tenang.
“Aku turun ke dalam,” katanya pendek.
Sora menoleh cepat. “Sendirian?”
“Tak ada pilihan. Kita perlu tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di balik proyek BlackRoom. Drone sudah cukup memberi gambaran, tapi tidak detail.”
Sora menarik napas. “Kalau begitu… aku akan tetap di sini. Dan mulai hubungi markas. Kita butuh cadangan.”
Agung mengangguk sekali, lalu membuka pintu mobil. Udara dingin membekukan napasnya, dan salju tipis menempel di bahunya. Ia melangkah pelan menuju mulut terowongan bawah tanah, menghilang di kegelapan seperti bayangan.
Sora kembali duduk dan membuka saluran komunikasi darurat Server X.
“Ini Sora, dari Unit Penyelidikan Utara,” katanya tegas ke mikrofon. “Kami konfirmasi lokasi BlackRoom. Drone sudah tembus, tapi sinyal terputus. Agung menyusup ke dalam.”
Di layar, wajah Lim dan Crane muncul hampir bersamaan dari markas Server X.
“Di luar batas peta?” tanya Lim cepat.
“Koordinat 46-Delta. Keter harus tahu ini. Kirim tim tambahan. Kita tak bisa biarkan dia sendirian.”
Crane langsung bangkit dari tempat duduknya di markas. “Kami berangkat dalam waktu satu jam. Kirim peta jalur masuk. Kita akan temui kalian di titik koordinat itu.”
Sora mengangguk. Matanya tetap fokus ke mulut terowongan, seolah berharap bisa melihat Agung keluar kembali… utuh.
Di markas Server X, suasana mendadak sunyi saat layar komunikasi menampilkan logo Sensper. Lim dan Mugi saling melirik cepat, lalu menekan tombol sambungan.
Di layar, muncul wajah Rani. Ekspresinya serius, tapi tidak tegang.
“Aku ingin bicara langsung dengan Keter,” ucapnya.
Tak lama kemudian, Keter memasuki ruangan dengan jaketnya setengah terbuka. Ia menatap layar tanpa kata.
“Kami… memutuskan untuk bekerja sama,” kata Rani perlahan. “Kami tahu kalian lebih dulu menemukan proyek ini. Dan jika yang kalian temukan benar, maka ini jauh lebih besar dari yang kami kira.”
Keter mendekat. “Apa itu berarti Sensper akan turun tangan?”
“Ya. Kami akan bantu. Tapi kami butuh akses penuh terhadap data yang kalian punya, dan kami harus ikut dalam operasi ini.”
Lim memutar kursinya, menatap Keter. “Bagaimana, Ketua?”
Keter diam sebentar, lalu mengangguk. “Baik. Tapi ingat—kita bukan sekutu. Kita hanya berbagi musuh yang sama.”
Rani tersenyum kecil. “Cukup untuk saat ini.”
Satu jam kemudian, helikopter milik Sensper mendarat di landasan rahasia markas Server X. Crane, yang sudah siap tempur, berdiri di dekat pintu kargo, ditemani dua anggota tempur lainnya.
“Perjalanan lewat darat enam jam. Lewat udara, satu jam,” ujar Lim sambil menyerahkan peta digital. “Kalau ingin sampai tepat waktu, lebih baik kalian ikut dengan Sensper.”
Keter berdiri di ambang pintu hanggar. Angin helikopter meniupkan ujung jaketnya. Ia menatap langit utara, tempat di mana Agung kini berada—sendirian, di markas kelam yang menyembunyikan anak-anak korban eksperimen.
“Baik. Kita berangkat sekarang. Pastikan Agung tetap hidup… sampai kita tiba di sana.”
Crane mengangguk. Ia melompat ke dalam helikopter bersama dua anggota lain. Mugi berdiri di dekat Lim, mengamati pergerakan mereka lewat peta satelit.
Sementara itu, dari layar komunikasi di ruangan samping, suara Sora terdengar kembali.
“Agung belum kembali. Tapi aku melihat sesuatu di balik reruntuhan. Semacam… pintu mekanis. Dia mungkin berhasil masuk ke bagian paling dalam.”
Lim mengepalkan tangan.
“Maka kita tidak boleh terlambat.”
Helikopter pun lepas landas, membelah langit utara, membawa harapan terakhir dari dua pihak yang berbeda tujuan—tapi satu misi.
Di tengah lorong dingin yang remang, Agung menyalakan senter di pergelangan tangannya. Udara makin menipis, dan suara langkah kakinya menggema sendirian. Hingga akhirnya… ia tiba di sebuah pintu besi yang terbuka sebagian.
Tanpa ragu, ia masuk.
Ruang di balik pintu itu lebih luas dari yang ia duga. Ada platform besi melingkar, dinding berlapis baja, dan di tengahnya—seorang pria berpakaian militer berdiri membelakanginya. Bahunya lebar, seragamnya masih lengkap, dan ia tampak tak bergerak.
“Kau bukan bagian dari sini,” ujar si pria tanpa menoleh.
Agung menarik napas. “Kalau kau bagian dari BlackRoom, maka kita tidak di sisi yang sama.”
Pria itu perlahan memutar badannya. Wajahnya penuh bekas luka, tapi sorot matanya tenang. Ia tampak seperti bayangan dari tentara lama—yang terlalu dalam tenggelam di misi busuk negara.
“Kau sudah terdeteksi sejak drone itu masuk,” lanjutnya. “Mereka tahu kau di sini. Tapi mereka biarkan kau datang. Karena aku… tugasku adalah menyaring siapa yang layak melangkah lebih jauh.”
“Kalau begitu, aku akan lewati kau.”
Si tentara tersenyum kecil. “Coba saja.”
Pertarungan pun terjadi.
Tinju saling melayang, tendangan bertabrakan. Agung bukan petarung biasa, tapi lawannya adalah sisa dari eksperimen militer. Gerakannya cepat, presisi, dan brutal.
Namun Agung bertahan. Ia membaca irama lawan, menghindari pukulan berat, membalas dengan pukulan ke arah titik lemah.
Beberapa menit berlalu, napas mereka mulai berat.
Dan saat itulah, suara tepuk tangan menggema di ruangan itu.
“Bagus sekali~” kata Ao sambil berjalan masuk dari lorong lain, kedua anak kecil berwajah kosong mengikutinya.
Agung menoleh cepat, tubuhnya masih siaga.
Ao berhenti di samping tentara itu yang langsung mundur, seperti tahu tempatnya.
“Kau cukup kuat, Agung,” ucap Ao sambil menunduk sedikit. “Tapi ini baru pemanasan. Kami belum benar-benar menunjukkan... siapa yang sedang kau hadapi.”
Kedua anak kecil di belakangnya maju satu langkah.
Mata mereka kosong. Dingin. Seolah tak mengenal rasa takut, atau rasa sakit.
Ao menyeringai, lalu berbisik, “Selamat datang… di jantung BlackRoom.”
Di balik dinding logam yang membisu, BlackRoom mulai menampakkan wajah aslinya. Bukan hanya proyek rahasia, bukan hanya tempat eksperimen—tapi penjara bagi masa depan yang dimutilasi.
Dan kini, Server X telah melangkah terlalu dalam.
Sementara Agung menghadapi bayangan gelap dari rezim yang telah lama tersembunyi, Sora bergegas menghubungi markas. Keter, Lim, Mugi, dan Crane bersiap untuk misi penyusupan yang tak lagi sekadar penyelidikan.
Di udara, pesawat tak berlogo Sensper melaju melintasi langit utara—membawa harapan kecil dari pihak yang berbeda-beda.
Namun satu hal pasti:
BlackRoom tidak akan membiarkan mereka keluar dengan mudah.
Karena di tempat itu, kemanusiaan telah lama dikubur.
Dan musuh sejati… belum benar-benar memperlihatkan taringnya.
---