WebNovelServer X21.28%

Ruangan Hening.

Lampu redup dari langit-langit baja menyinari debu tipis yang melayang. Di tengahnya, Agung berdiri—napasnya tenang, mata menatap lurus tanpa gemetar.

Ao melangkah pelan, suara sepatunya memantul di lantai logam yang dingin. Ia berhenti beberapa meter dari Agung, lalu menyeringai.

> “Tunjukkan padaku… bagaimana kamu mencoba lolos dari keadaan genting ini,” katanya, nada suaranya ringan, namun tajam seperti jarum.

Agung menatapnya. Tatapannya kosong, tapi dalam—seperti jurang yang tak memiliki dasar. Ia mengangkat sedikit dagunya, lalu menjawab dengan nada datar:

> “Aku punya pertanyaan tidak penting…”

Ia melangkah satu kali maju.

> “…apa sekarang aku dalam keadaan genting?”

Ao terdiam.

Senyumnya tak langsung hilang, tapi sesuatu di matanya berubah. Sejenak, wajahnya kehilangan kesenangan teatrikal yang biasa. Ia menyipitkan mata.

> “Hah… kau benar. Mungkin kau bukan mangsa. Mungkin—”

“—kau adalah binatang buas yang sedang menyamar.”

Agung tak membalas.

Namun di balik ketenangannya, suhu udara berubah. Aura di sekelilingnya menjadi berat, tak terlihat, tapi menekan. Kedua anak yang berdiri di samping Ao melangkah mundur setengah langkah—seakan merasakan sesuatu… yang seharusnya tidak mereka rasakan dari manusia biasa.

Ao berdecak pelan.

> “Ini akan menarik.”

Dua anak kecil itu melangkah maju dengan gerakan terlatih, mata mereka tetap kosong. Dalam sekejap, yang pertama melesat dengan tendangan cepat ke arah dada Agung—tapi Agung menangkis, memutar tubuh, lalu menghantamkan siku ke pelipis sang anak. Tubuh kecil itu roboh.

Anak kedua melompat, tapi Agung sudah lebih dulu bergerak. Satu serangan ke leher—tepat dan presisi. Anak itu terjatuh tak sadarkan diri.

Ao menyipitkan mata. "Hoo…"

Tentara militer yang sejak tadi berdiri di sisi Ao akhirnya maju. Gerakannya kasar namun penuh pengalaman. Tapi Agung sudah kehilangan kesabaran. Ia menyambut serangan itu dengan keras.

Tinju dan tendangan saling bersahut. Namun Agung seperti tidak ingin mengalahkan—ia ingin menghancurkan. Setelah serangkaian pukulan brutal, ia menendang kepala lawannya hingga tubuh besar itu terpental dan jatuh pingsan di lantai logam yang dingin.

Ao terdiam beberapa detik, lalu tersenyum kecil dengan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. "Anggota Server X... sekuat ini?"

Agung menarik napas pelan, lalu membalas dingin, "Kalian belum menyadarinya? Akulah yang menciptakan situasi yang hanya bisa diselesaikan dengan kekerasan ini."

Ao melangkah lebih dekat, pandangannya menyelidik. "Sepertinya aku sudah salah mengira. Kukira kalian hanyalah peretas pengecut yang gemar bersembunyi di balik layar."

Tanpa bicara, Agung menggulung lengan bajunya perlahan. Di sana—terpampang jelas angka yang terukir seperti luka bakar lama: 129.

Ao mematung. Wajahnya berubah.

“129...,” gumamnya. “Kau… eksperimen BlackRoom ke-129. Proyek gagal yang kami buang...”

Ia tertawa kecil, getir, seperti menemukan lelucon pahit. “Menyedihkan. Bahkan limbah seperti itu masih bisa berjalan.”

Ao tertawa pendek, tapi nadanya getir. “Limbah yang masih bisa berjalan… menyedihkan.”

Namun Agung tak mengedip. Tatapannya tetap menusuk, seolah tak mempan dihina.

“Bahkan limbah inilah,” katanya pelan, “yang telah **mengubur hasil eksperimen yang kalian anggap sempurna.”

Ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah dua anak yang telah tumbang dan prajurit yang tergeletak pingsan.

Ao menyipitkan mata, ekspresinya berubah penasaran sekaligus tidak percaya.

“Benar juga… Kau diuji di fasilitas ini, bukan?” gumamnya. “Nilaimu waktu itu hanya 50. Hanya setengah dari seratus! Nilai terendah sepanjang sejarah eksperimen.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lebih tajam. “Apa itu… disengaja?”

Agung mengangkat bahunya sedikit. Senyumnya santai, tapi jelas meledek. “Sengaja?” Ia menoleh ke Ao. “Itu terdengar... menakutkan.”

“Jangan bilang…” Ao menatap tajam, mencoba membaca raut wajah Agung. “Kau memang sengaja menahan diri selama uji coba? Kau menyembunyikan kemampuanmu hanya agar... bisa keluar dari tempat ini?”

Agung hanya menjawab dengan senyuman kecil.

Senyuman yang lebih dingin dari udara di lorong itu.

---

Di sisi lain, pesawat tempur milik Sensper melesat membelah langit utara, melintasi wilayah beku menuju koordinat yang telah dikirim oleh Sora. Di dalam kabin yang berguncang ringan oleh angin dingin, dua anggota Server X duduk berdampingan bersama beberapa agen Sensper.

Salah satu agen Sensper—seorang pria muda dengan gaya bicara santai—melirik ke arah mereka. “Hei, kalian ternyata cukup nekat juga, ya,” katanya sambil menyilangkan tangan. “Apa teman kalian yang masuk ke markas BlackRoom itu… masih hidup?”

Salah satu anggota Server X, seorang perempuan dengan rambut dikuncir kuda—Crane—menoleh dan menjawab dengan tenang, “Maksudmu Agung? Hei, dia itu bukan orang sembarangan.”

Agen itu mengangkat alis. “Lah? Hebat gitu?”

Crane tersenyum miring. “Hebat bukan kata yang cukup untuk menggambarkannya. Dia itu... orang yang bisa bertahan di tempat di mana orang lain sudah mati bahkan sebelum menyadari bahaya datang.”

Agen Sensper itu terdiam sejenak, lalu melirik keluar jendela pesawat. “Kalau begitu, semoga saja dia masih cukup kuat… untuk menghadapi neraka yang satu ini.”

Markas Sensper, Ruang Utama – Beberapa Jam Setelah Kontak dengan Server X

Pintu geser logam terbuka dengan suara mendesis pelan. Iyan melangkah masuk, mantel hitamnya masih menyimpan embun sisa perjalanan. Sepatu boot-nya menginjak lantai metalik dengan ketukan mantap. Ruangan utama markas Sensper dipenuhi layar hologram dan suara bising dari komunikasi jarak jauh yang sedang berlangsung.

Rani menoleh dan segera berdiri dari kursinya. “Iyan, akhirnya kau datang.”

Iyan hanya mengangguk. Matanya tajam menyapu ruangan, lalu menatap Tenku yang berdiri di dekat meja proyeksi tengah. Pria tua itu tampak lebih tegang dari biasanya.

“Ada apa? Kudengar ada pergerakan dari wilayah utara,” tanya Iyan tanpa basa-basi.

Tenku menatapnya dalam-dalam, lalu menjawab dengan nada berat. “Kami telah memutuskan... untuk bekerja sama dengan Server X.”

Iyan terdiam, bola matanya sedikit menyempit. “Apa maksudmu? Mereka peretas, pembunuh, bahkan dicap musuh negara.”

“Dan mereka juga yang pertama menembus batas BlackRoom,” sela Rani cepat. “Mereka sudah mengorbankan satu orang untuk menyusup ke dalam. Namanya Agung. Dan dari semua bukti yang kita lihat… dia tidak hanya berani, tapi juga satu-satunya yang bisa membuka pintu itu.”

Iyan menoleh ke Rani. “Kau yakin mereka bisa dipercaya?”

Tenku mendekat, meletakkan satu berkas hasil pemantauan di meja. “Tidak sepenuhnya. Tapi musuh kita sama. Dan ini bukan soal kepercayaan, Iyan. Ini soal siapa yang lebih dulu bertindak sebelum semuanya terlambat.”

Iyan mengambil berkas itu, membaca cepat. “BlackRoom… eksperimen anak-anak yatim… pelatihan militer?” Ia menggertakkan gigi. “Jadi ini bukan hanya soal bom atau sabotase. Ini sudah melampaui batas kemanusiaan.”

Rani mengangguk. “Dan mereka juga sudah menyentuh sisi tergelap dari proyek itu.”

Iyan membalikkan badan, berjalan ke arah layar utama yang menampilkan koordinat dan citra drone terakhir Server X. Ia berdiri sejenak, lalu menghela napas.

“Kalau begitu... kita mainkan kartu kita dengan hati-hati. Tapi kalau mereka berkhianat, aku sendiri yang akan menarik pelatuknya.”

Tenku mengangguk pelan. “Itu risiko yang sudah kami hitung.”

Rani melirik ke layar kecil di tangannya. “Helikopter kedua sudah berangkat. Mereka akan sampai dalam waktu 50 menit. Dan satu tim medis juga disiapkan untuk kemungkinan evakuasi.”

Iyan melipat tangannya, matanya tetap fokus ke peta. “Baik. Kalau ini permulaan aliansi tak resmi kita, semoga saja kita tidak akan menyesalinya.”

Tenku menyahut tanpa ragu, “Kita sudah terlalu banyak menyesal, Iyan. Kali ini… kita harus berani bertindak.”

Markas Server X – Ruang Komando

Angin dari baling-baling helikopter pertama sudah lama mereda, meninggalkan keheningan tegang di ruang kendali. Layar utama memperlihatkan peta digital dengan titik-titik merah—sensor-sensor yang menunjukkan lokasi Agung, drone yang hilang, serta tim pertama yang baru saja mendarat bersama Crane.

Di tengah ruangan, Keter berdiri tegak. Cahaya biru dari monitor memantulkan siluet topeng kelincinya yang dingin dan tanpa ekspresi. Ia menekan tombol komunikasi terenkripsi. Tak lama, wajah Tenku dari Sensper muncul di layar—dibingkai oleh lampu redup dan suasana ruang taktis markas mereka.

“Kami telah sampai pada pintu yang tak bisa ditinggalkan begitu saja,” ucap Keter tanpa basa-basi. “Kami butuh helikopter kedua.”

Tenku terdiam sesaat, lalu menjawab hati-hati, “Tim medis sudah dikirim. Pasukan cadangan juga sedang disiapkan. Tapi jika kau bicara soal helikopter kedua... siapa yang harus kami kirim?”

“Yang mampu menghadapi musuh yang tidak dikenal,” jawab Keter datar.

Rani muncul di layar dari sisi Tenku. “Keter, kami tidak punya data lengkap. BlackRoom bisa saja menyimpan senjata biologis, anak-anak eksperimen, bahkan—”

“Justru karena itu,” potong Keter cepat. “Karena kalian tidak tahu siapa lawan kalian, maka kalian tidak boleh kirim orang biasa.”

Tenku memicingkan mata. “Kau menyarankan siapa, kalau begitu?”

Keter menunduk sedikit, lalu berkata dengan suara dingin:

“Turunkan Wakil Ketua kalian.”

Rani tampak terkejut. “Iyan?”

“Dia tidak akan takut pada eksperimen gagal,” lanjut Keter. “Dan aku butuh seseorang yang tidak akan mundur… bahkan ketika yang ia hadapi bukan lagi manusia.”

Tenku menatap layar dalam-dalam. Ia tahu, ini bukan hanya soal mengirim bala bantuan. Ini adalah keputusan yang akan menyeret Sensper lebih dalam, ke dalam konflik yang selama ini hanya mereka awasi dari balik bayangan.

“Kami akan pertimbangkan,” ucapnya perlahan.

Keter tidak mengangguk. Ia hanya menatap tajam ke arah layar, lalu berkata sebelum menutup sambungan:

“Kalau kalian ragu... biarkan kami yang menanggung neraka ini. Tapi jika kalian masih punya keberanian—maka kirimlah Iyan. Karena perang ini baru saja dimulai.”

Layar gelap kembali.

Di luar hanggar, angin kembali berputar. Helikopter kedua telah disiapkan. Tapi belum ada perintah lepas landas.

Dan di markas Sensper, semua mata kini tertuju pada satu orang—Wakil Ketua mereka, Iyan.