Langit pagi di kawasan elite Jakarta masih diselimuti kabut tipis. Aroma harum dari taman belakang mansion keluarga Adiningrat menyelinap masuk melalui celah jendela besar kamar Alesya.
Gadis itu berdiri di depan lemari besarnya. Ratusan pakaian branded tersusun rapi di sana, tapi hari ini ia memilih hoodie polos, jeans robek di lutut, dan sneakers putih yang sudah mulai pudar warnanya.
Hari ini… Alesya pergi.
Keluar dari hidupnya yang mewah. Menanggalkan semua kenyamanan sebagai pewaris keluarga konglomerat yang dikenal di dunia properti dan investasi. Hari ini, ia memilih ngekos.
Sendiri.
Tanpa sopir, tanpa pengawal, tanpa pelayan.
Bukan karena marah pada orang tua. Bukan juga karena drama keluarga. Ia hanya ingin tahu, bagaimana rasanya jadi gadis biasa. Belanja di minimarket. Makan mie instan di kamar sempit. Dan... mungkin juga merasakan detak jantung karena hal-hal yang tidak terjadwal.
“Are you really going, Les?” suara lembut sang Mama terdengar di ambang pintu. Wanita elegan dengan gaun satin abu-abu itu menatap putrinya dengan ekspresi sulit ditebak antara khawatir dan bangga.
Alesya tersenyum, lalu melangkah mendekat dan memeluk Mamanya.
“Please let me go. Aku udah siap. Aku cuma pengin hidup normal. Seenggaknya... sekali aja dalam hidup.”
Sang Mama tak menahan. Ia tahu anak gadisnya bukan tipe manja, meski sejak lahir tak pernah kekurangan apa pun. Dalam diam, ia merogoh tas tangan kecilnya dan menyelipkan segepok uang tunai ke dalam saku hoodie Alesya.
“Kalau sampai kamu lapar dan nggak punya uang… Mama bisa mimisan.”
Alesya tertawa pelan, menahan haru.
Lalu datanglah Papa. Dengan jas abu-abu khas pengusaha sukses, pria paruh baya itu masuk ke kamar dengan ekspresi dingin, namun justru membuat suasana jadi lucu.
Tanpa berkata banyak, ia mengulurkan sebuah kartu ATM hitam yang terhubung langsung ke rekening utama keluarga.
“Kalau kamu kepepet... atau dibegal.”
“Pa! Aku kan mau hidup sederhana, bukan belanja mobil baru.”
“Itu buat jaga-jaga.”
Tak cukup sampai di situ. Papa juga menyerahkan sebuah kunci mobil—black car custom tanpa plat, anti peluru, kaca gelap, dan GPS mati.
Alesya memelototi kunci itu. “Aku mau naik ojek online, bukan nyamar jadi bodyguard presiden!”
Tawa lirih terdengar dari pintu. Seorang pria tinggi tegap berdiri di sana, menyender santai sambil membawa dua kantong belanja dari mall.
“Kulkas mini, rice cooker, dan beberapa cemilan. Lo nggak mungkin hidup kayak rakyat kalau nggak punya lemari minuman.”
Itu kakaknya, Arvino, anak sulung kesayangan keluarga yang kini menjalankan bisnis kafe di Bali. Lelaki tampan, cuek, tapi diam-diam overprotektif terhadap adiknya satu-satunya.
“Gue yang anter. Deal,” ucapnya sambil melempar kunci mobil ke arah Alesya.
Alesya menangkapnya sambil menghela napas.
“Satu hari jadi rakyat jelata aja susah banget.”
Papa hanya mengangkat alis. “Karena kamu bukan rakyat jelata.”
Mama merapikan rambut Alesya yang dikuncir sembarangan. “Tapi kamu bisa main peran. Dengan catatan: jangan lupa pulang.”
---
Siang itu, satu mobil SUV hitam meluncur keluar dari gerbang mansion. Tapi bukan supir pribadi yang menyetir. Melainkan Alesya sendiri—dengan hoodie lusuh, wajah bare face, dan tekad membara di dada.
Ia bukan lari dari kemewahan.
Ia hanya ingin tahu… siapa dirinya saat semua kenyamanan dicopot satu per satu.
Dan ia tak tahu, bahwa kehidupan barunya akan mempertemukannya dengan pria berbahaya yang membuat semua pertahanan runtuh. Ketua geng motor. Dunia liar. Dan cinta yang tak bisa dikendalikan.
---
Berikut Bab 1 Bagian 2 dari novel "Gadis Elit dan Ketua Geng" — momen saat Alesya tiba di kosan sederhana, mulai merasakan realita hidup 'biasa', dan tanpa sadar memasuki wilayah kekuasaan si ketua geng motor.
Mobil SUV hitam itu berhenti di depan sebuah gang sempit yang hanya muat dilewati satu motor sekaligus. Alesya memandang sekeliling. Tidak ada palem tinggi. Tidak ada pintu gerbang elektronik. Tidak ada satpam.
Hanya beberapa rumah petak, pohon kamboja, tiang listrik penuh kabel semrawut, dan suara ibu-ibu gosip dari warung sebelah.
Alesya menurunkan kacamata hitamnya. “Ini... tempatnya?”
Arvino menatap adiknya sejenak. “Lo yakin mau tinggal di tempat ginian?”
Alesya mengangguk tegas. “Yakin banget.”
Pria itu menghela napas berat. “Baiklah. Tapi kalau lo butuh gue, satu panggilan langsung. Jangan sok kuat.”
Mereka turun dari mobil. Alesya hanya membawa satu koper dan satu ransel. Saat ia masuk ke gang, beberapa anak muda yang nongkrong di motor memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Alesya menegakkan dagu. Ia tahu sorot mata seperti itu. Bukan karena ia cantik—tapi karena tempat ini bukan untuk orang sepertinya.
---
Kos-kosan yang ia tuju terletak di lantai dua bangunan sempit, diapit oleh warung kelontong dan bengkel. Pemilik kos, Bu Rasti, seorang janda paruh baya dengan logat Jawa yang kental, menyambut dengan senyum ramah dan sedikit rasa penasaran.
“Wah, cantik banget kamu, Le. Dari mana? Kayak bukan anak kampung sini, ya?”
Alesya hanya tersenyum. “Baru pindah, Bu. Pindahan sendiri aja.”
“Hati-hati, ya. Sini banyak cowok iseng. Apalagi anak-anak motor itu. Rame kalo malam. Tapi asal kamu nggak ganggu, ya aman-aman aja.”
Alesya mengangguk. Tapi matanya mencuri pandang ke bawah, ke arah sekelompok pemuda di dekat bengkel. Mereka tertawa keras, merokok, memainkan knalpot motor, dan... satu di antaranya hanya diam bersandar di tembok.
Tinggi. Kulit sawo matang. Wajahnya tajam. Garis rahangnya keras. Tatapannya dingin. Tapi justru yang membuat Alesya terdiam bukan wajahnya, melainkan auranya.
Pria itu bahkan tidak melihat ke arah Alesya, tapi entah mengapa, gadis itu merasa seperti tengah diukur dari ujung kaki hingga kepala.
---
Kosannya kecil. Satu kasur tipis, meja belajar reyot, dan kamar mandi luar yang harus antre. Tapi Alesya menyukainya. Di sinilah ia akan belajar hidup tanpa asistennya yang biasa menyiapkan jus pagi, tanpa kamar seluas apartemen, tanpa cermin full body bercahaya.
Ia menyusun barang, memasang kulkas kecil yang dibawakan kakaknya, dan menyimpan satu botol minuman soda dingin sebagai simbol kebebasannya.
Sore mulai turun. Saat Alesya berjalan ke warung depan untuk membeli mie instan, insiden kecil terjadi.
Seseorang melintas cepat dengan motor dan tanpa sengaja air dari genangan terpercik tepat ke arah kakinya.
"Eh! Basah!" serunya reflek.
Motor itu berhenti mendadak. Berbalik. Pengendaranya melepas helm perlahan.
Itu dia. Pria bersandar tadi. Ketua geng.
Matanya yang tajam kini menatap langsung ke wajah Alesya. Sorotnya... bukan meminta maaf. Tapi menilai. Mendeteksi. Menggoda?
“Kamu bukan anak sini,” katanya datar.
Alesya mengangkat dagunya. “Terus kalau bukan, kenapa?”
Pria itu turun dari motor. Posturnya menjulang tinggi, langkahnya tenang, suaranya rendah namun tegas.
“Kalau lo mau aman di sini... jangan terlalu mencolok.”
Alesya terkekeh pelan. “Maksudnya? Aku cuma beli mie.”
“Di sini, yang cantik dan beda biasanya dijadikan target.”
Alesya melipat tangan di dada. “Aku bisa jaga diri.”
Pria itu menaikkan satu alis. “Yakin?”
Tanpa menunggu jawaban, ia naik kembali ke motornya. Suara knalpot memekakkan telinga mengiringi kepergiannya, tapi degup jantung Alesya justru makin cepat.
---
Ia tidak tahu siapa pria itu. Tapi satu hal pasti… pria itu bukan biasa.
Dan malam itu, saat semua penghuni kosan sudah tertidur, Alesya membuka laptopnya, menyalakan mode incognito, dan mulai menelusuri sesuatu.
“Rayan. Ketua Geng Elang Hitam. Markas di wilayah barat kota.”
Alesya tersenyum tipis. “Menarik.”