2 Kamar Baru, Hidup Baru

Alesya berdiri di depan pintu kosan dua lantai yang catnya mulai pudar. Udara sore terasa lembap, dan aroma gorengan dari warung sebelah menyeruak ke udara. Sepasang sandal jepit tergantung di depan pintu masuk, dan di dalam, terdengar suara telenovela dari TV tua.

Pintu terbuka pelan. Seorang wanita paruh baya dengan daster bermotif bunga tersenyum ramah sambil menyeka tangan ke celemeknya.

"Eh, kamu yang kemarin WA saya, ya? Alesya, ya? Ya Allah, cantik banget. Kirain beneran anak kampung, lho, Mbak!"

Alesya tersenyum sopan. “Iya, Bu. Saya yang WA. Namanya Alesya. Panggil aja Les.”

"Nama manis, kayak wajahnya." Bu Rasti tertawa kecil. "Yuk masuk, kita ngobrol sebentar sebelum saya tunjukin kamarnya."

---

Obrolan di Ruang Tengah

Ruang tamu kosan itu sederhana ada sofa bulu sintetis yang sudah agak kusam, kipas angin dinding, dan toples kue kering yang separuh kosong. Alesya duduk tegak sambil memperhatikan sekeliling. Semuanya kontras sekali dengan ruang tamunya di mansion marmer putih, lampu gantung kristal, dan aroma ruangan yang selalu wangi lavender.

“Jadi, ini kos khusus cewek. Kamar ada delapan, yang kosong tinggal satu di atas. Biasanya dipakai anak kuliahan, tapi sekarang libur panjang, jadi banyak pulang kampung,” jelas Bu Rasti sambil menuangkan teh hangat.

“Per bulan sejuta dua ratus. Udah termasuk listrik, air, Wi-Fi, sama dapur bersama. Tapi kalau mau masak, bawa kompor kecil sendiri ya. Kulkas boleh, asal bukan dua pintu.”

“Siap, Bu.”

“Bayarnya tiap tanggal satu. Tapi kalau kamu mau bayar tiga bulan langsung juga boleh, loh. Saya suka anak rajin bayar.”

Alesya mengangguk, lalu mengambil amplop dari tas selempangnya. Ia sudah menyiapkan tiga bulan uang kos secara tunai.

“Ini, Bu. Bayar tiga bulan dulu. Sama titip deposit, ya.”

Mata Bu Rasti membelalak sebentar, tapi senyumannya semakin lebar. “Wah, senangnya punya anak kos seperti kamu. Rapi, sopan, dan cantiknya kayak artis sinetron. Tapi hati-hati ya, di gang sini banyak cowok-cowok jahil.”

“Udah lihat sendiri, Bu,” sahut Alesya sambil tersenyum kecil, teringat pada pria dingin bermata tajam yang sempat memperingatkannya tadi.

---

Menuju Kamar Kos

Tangga kayu menuju lantai dua berbunyi pelan saat diinjak. Alesya mengikuti Bu Rasti menyusuri lorong sempit, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah pintu cokelat muda.

“Nah, ini kamarnya. Nomor tujuh. Agak pojok, jadi lebih tenang.”

“Pas banget, saya suka yang tenang-tenang, Bu.”

“Ya cocok, deh. Tapi ya itu, sebelah kamar kamu tuh anak cowok eh, dia bukan anak kos saya, tapi sering nginep di kamar temannya. Namanya Rian atau siapa gitu. Tapi katanya ketua geng motor.”

Alesya membeku sesaat.

Ketua geng? Jangan-jangan... pria tadi?

“Namanya Rayan?” tanya Alesya pelan.

Bu Rasti menepuk jidat. “Iya! Itu dia! Ganteng, tapi tajem. Kalau senyum, cewek-cewek bisa lupa diri. Tapi galaknya... ampunnn!”

Alesya pura-pura tersenyum. “Makasih infonya, Bu.”

---

Di Dalam Kamar

Setelah Bu Rasti pamit turun, Alesya membuka pintu kamarnya perlahan. Ruangan itu mungil. Satu kasur lantai, jendela kecil dengan tirai tipis, dan meja belajar dari kayu lapuk. Di pojok, ada colokan listrik dan gantungan baju seadanya.

Ia menarik napas panjang.

Tak ada AC, tak ada tempat tidur empuk, tak ada lemari besar berisi gaun mahal. Hanya keheningan dan kebebasan.

Ia membuka koper, mulai merapikan pakaian ke rak gantung kain yang ia bawa sendiri. Satu persatu barang ditata rapi. Makeup sederhana, laptop tipis, headset, dan senjata rahasianya: laptop khusus dengan sistem keamanan tinggi alat utamanya saat menjadi hacker bayangan.

Di dalam kulkas kecil, ia menaruh beberapa botol minuman soda, cokelat, dan es batu. Barang-barang sederhana, tapi terasa seperti kemewahan tersendiri di dunia baru ini.

Sambil menyeka keringat dari kening, Alesya merebahkan diri di atas kasur tipis. Matanya memandang langit-langit kamar, lalu mengembuskan napas perlahan.

“Hari pertama. Aku baik-baik saja.”

Namun dari luar jendela, suara motor meraung keras. Disusul sorakan dan tawa beberapa anak muda. Dan entah mengapa, dari balik tirai jendela, Alesya tahu tatapan itu kembali mengarah padanya.

Dingin. Tajam. Membaca.

Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Alesya melirik ke arah kamar mandi bersama yang berada di ujung lorong. Bau sabun dan air yang baru saja mengalir masih tercium samar.

Ia mengganti handuk kecil ke pundaknya, membawa sabun cair dan sikat gigi, lalu berjalan keluar kamar dengan sandal jepit yang sedikit kedodoran.

Suasana di lantai dua masih sepi. Beberapa pintu kamar tertutup rapat. Ada suara musik samar dari ujung lorong, mungkin dari anak kos sebelah. Tapi tak ada yang mengganggu.

Kamar mandi itu sempit. Tapi bersih. Dan airnya dingin menyegarkan. Alesya menyalakan keran, membasuh tubuhnya, dan membiarkan tetes-tetes air membilas kelelahan yang menempel sejak pagi.

---

Pakaian Baru, Perhatian Baru

Setelah mandi, Alesya kembali ke kamarnya dan mengganti pakaian. Ia memilih atasan crop top putih yang sedikit menggantung di atas pusar, dan celana panjang high waist berwarna hitam yang membentuk siluet pinggang rampingnya dengan sempurna. Rambut basahnya ia biarkan tergerai, setengah kering, menempel di kulit lehernya yang pucat.

Cermin kecil di dinding menangkap bayangan dirinya. Alesya tersenyum tipis. Baju ini mungkin terlalu santai, bahkan sedikit menggoda untuk lingkungan kos seperti ini. Tapi ia tak berniat menyembunyikan jati dirinya sepenuhnya. Hanya menyamarkan.

Dan ia selalu nyaman dengan tubuhnya sendiri.

---

Perutnya mulai keroncongan.

Ia keluar kamar, menuruni tangga pelan. Di ruang tamu, Bu Rasti masih duduk sambil menyulam sesuatu di atas pangkuannya. TV masih menyala dengan sinetron sore yang klise.

“Bu,” sapa Alesya sopan.

“Oh, Lesya. Sudah mandi, ya. Cantiknya tambah dua level!”

Alesya terkikik pelan. “Iya, Bu. Ini... saya mau nanya. Kalau beli makanan, warung paling enak di mana, ya?”

Bu Rasti meletakkan sulamannya. “Wah, gampang! Turun ke ujung gang, nanti ketemu perempatan kecil. Nah, di situ ada warung nasi Mbok Sarmi. Nasinya banyak, lauknya murah. Tapi kalau mau yang lebih kekinian, di sebelah bengkel anak-anak motor itu ada warung kopi yang jual ricebowl juga.”

Alesya mencatat dalam kepala. Tapi ekspresi Bu Rasti berubah sedikit ketika menyebut “anak-anak motor”.

“Kalau ke warung deket bengkel, hati-hati ya. Tempat nongkrong anak-anak geng Elang Hitam. Kalau bisa, jangan terlalu sering melirik yang pakai jaket kulit.”

Alesya tertawa singkat. “Kenapa, Bu? Nanti jatuh cinta?”

Bu Rasti menunjuk Alesya dengan jarinya sambil cengengesan. “Nah, itu. Kamu cakep, Le. Badan mungil, putih, bajunya anak kota banget. Sekali mereka tahu kamu baru di sini, pasti langsung diincar.”

“Yang mana ketuanya, Bu?” Alesya bertanya santai, pura-pura tidak tahu.

“Rayan. Tinggi, pendiam, tampangnya nyeremin. Tapi entah kenapa, cewek-cewek malah pada ngefans.”

Rayan.

Nama itu kembali menggema di kepala Alesya, seiring langkah kakinya yang mulai menapaki gang menuju tempat makan.

---

Di ujung jalan, suara tawa terdengar dari arah bengkel. Beberapa motor berjajar dengan modifikasi ekstrem. Beberapa pemuda duduk di bangku kayu, menyeruput kopi dan rokok yang mengepul tebal.

Dan di antara mereka, duduk santai seorang pria tinggi dengan hoodie hitam, jaket kulit tergantung di bahu, dan tatapan mata yang familiar dingin, dalam, dan penuh kuasa.

Mereka bertatapan sekilas. Cuma satu detik.

Tapi cukup untuk membuat jantung Alesya berdetak setengah detik lebih cepat dari biasanya.