3 Tatapan-Tatapan Itu

Langkah kaki Alesya terdengar ringan menyusuri gang kecil sore itu. Meski sepatu sneakers-nya sedikit kotor terkena debu jalanan, ia tak mengeluh. Justru senyumnya mengembang pelan. Untuk pertama kalinya, ia bisa berjalan sendirian tanpa supir, tanpa bodyguard, tanpa bayang-bayang kamera media.

Ia membaur. Ia bebas.

Crop top putih yang ia kenakan menempel pas di tubuh mungilnya. Perutnya sedikit terlihat setiap kali ia menarik napas panjang. Celana panjang hitamnya membingkai kaki jenjangnya, mempertegas lekuk tubuh yang selama ini tersembunyi di balik seragam sekolah formal atau gaun mewah pesta sosialita.

Tapi ia lupa satu hal.

Menjadi ‘biasa’ bukan berarti tak menarik perhatian. Justru, di tempat seperti ini, Alesya terlalu mencolok.

---

Saat ia mulai melewati depan bengkel, beberapa pasang mata otomatis beralih menatapnya. Beberapa pria muda duduk santai di atas motor, ada yang sedang menyeruput kopi, ada yang sedang mengotak-atik mesin, dan sisanya… mengamati Alesya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Woi… itu anak baru, ya?”

“Cantik bener, cuy. Anjir... putih, kecil, bening.”

“Gue belum pernah liat cewek kayak gitu di sini.”

“Kosan mana, tuh? Kos Bu Rasti?”

Alesya mendengarnya. Tapi ia pura-pura tak peduli.

Langkahnya tetap santai. Matanya lurus ke depan. Namun dagunya terangkat sedikit. Ia tidak akan mundur hanya karena beberapa lelaki norak terpesona.

Salah satu dari mereka berdiri, menyengir. Cowok tinggi dengan rambut dicat cokelat, jaket denim, dan tatapan jahil. Namanya Oji, salah satu tangan kanan Rayan, dan mulutnya paling ringan soal perempuan.

“Baru pindah, ya?” sapa Oji santai, mencoba menyamakan langkah dengan Alesya.

Alesya melirik sekilas. “Iya. Kenapa?”

“Gak apa-apa. Cuma nanya. Nama siapa?”

Alesya hanya tersenyum, tanpa menjawab. Ia melanjutkan jalan ke warung tanpa memperlambat langkah.

“Diem-diem gini malah makin manis. Suka tipe kalem. Hehe,” celetuk Oji ke teman-temannya.

Tawa mereka pecah. Tapi suara itu segera meredup saat seseorang yang duduk di pojokan mengangkat wajahnya.

Rayan.

Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu membuang asap pelan. Tatapannya tertuju langsung ke arah Alesya yang kini masuk ke warung Mbok Sarmi.

Tak ada senyum. Tak ada komentar.

Hanya satu tatapan dingin, datar, tapi penuh penilaian. Seolah dia sedang mengamati puzzle baru yang belum bisa dia pecahkan.

---

Di Dalam Warung

Alesya mengambil tempat duduk di sudut warung, tak jauh dari jendela kecil yang terbuka ke arah jalan. Ia bisa merasakan tatapan dari luar, tapi ia memilih fokus pada menunya.

“Nasi telur dadar, sambal, sama es teh manis, ya, Mbok,” katanya sopan.

Mbok Sarmi mengangguk ramah. “Tumben, ada bidadari masuk warung saya sore-sore begini.”

Alesya tertawa kecil. “Laper, Mbok. Kosan saya baru masuk tadi siang.”

“Ohh, yang kos di Bu Rasti? Ya Allah, pantesan. Hati-hati ya, Nduk. Daerah sini rame kalau malam. Banyak yang suka godain kalau ada yang cantik-cantik.”

Alesya hanya mengangguk dan tersenyum.

Namun pikirannya melayang. Bukan pada cowok-cowok tadi. Tapi pada satu sosok yang diam, tapi seolah menguasai seluruh situasi.

Rayan.

Kenapa pria itu tak bicara?

Kenapa dia hanya menatap, tanpa senyum, tanpa komentar?

Kenapa justru sorot matanya yang diam itu terasa paling tajam menusuk dada?

---

Sambil menikmati makanannya, Alesya mengintip dari balik jendela. Dan benar saja. Pria itu masih di sana. Duduk di bangku kayu. Rokok di tangan. Dan pandangan… masih mengarah padanya.

Sekilas, tubuh Alesya terasa hangat, entah karena sambal atau karena sorot mata itu.

Ini baru awal. Tapi sesuatu memberitahunya hidup di sini tidak akan semudah yang ia pikir.

Dan pria itu, entah akan menjadi masalah besar atau godaan yang lebih besar lagi.

---

Suara sandal jepit Alesya beradu pelan dengan jalanan semen gang yang kasar. Sinar matahari sore mulai menguning, menyentuh kulit putihnya yang lembap setelah mandi. Wajahnya segar, tanpa riasan, tapi justru itulah yang membuatnya terlihat semakin menarik.

Ia tahu sedang diperhatikan. Tapi tidak ada satu pun langkahnya yang goyah.

Di sepanjang bengkel yang setengah terbuka, beberapa pria dengan jaket kulit dan kaos ketat bersandar di motor mereka. Tatapan mereka menyapu tubuh mungil Alesya yang hanya dibalut crop top putih dan celana panjang hitam yang ketat. Komentar pelan terdengar dari mulut mereka menggoda, setengah melecehkan, setengah terkagum.

Tapi Alesya tetap berjalan santai.

Dagu tegak. Mata lurus ke depan. Bahu rileks. Tidak sedikit pun ia menoleh. Tidak satu pun ia balas dengan senyum.

Hanya satu tarikan napas tenang.

Dan setiap langkahnya mengirim pesan yang tidak diucapkan: Aku bukan mangsa mudah.

---

Di antara para pria itu, ada yang mulai gatal ingin mendekat. Oji pria berambut cokelat terang dengan tatapan nakal mengangkat alisnya.

“Diem-diem aja dia. Dingin, tapi seksi,” gumamnya.

“Gaya jalannya bukan anak kos biasa tuh,” sahut temannya.

“Pasti anak orang kaya nyasar,” bisik yang lain.

Namun sebelum ada yang berani melangkah, seseorang hanya menoleh sekilas.

Rayan.

Ketua geng Elang Hitam itu duduk di bangku kayu, satu kaki menapak tanah, satu lagi menjejak pedal motor. Wajahnya datar. Rokok menyala di antara jemarinya. Tapi satu tatapan dari mata tajamnya cukup untuk membuat Oji dan yang lain langsung mengurungkan niat.

“Woi, jangan asal,” bisik salah satu anggota pelan.

Oji diam. Mungkin merasa tak enak. Tapi ia tahu betul kalau Rayan sudah mulai memperhatikan seseorang, itu bukan sembarang orang.

---

Sementara itu, Alesya sudah hampir sampai di warung makan. Ia sempat melirik sekilas dari sudut matanya ke arah bengkel. Ia tahu ada banyak pasang mata yang memperhatikannya, tapi ia tak memberi ruang untuk mereka merasa lebih penting dari dirinya sendiri.

Di dalam hatinya, Alesya tersenyum kecil.

"Menatapku sepuasnya tak akan membuatku jatuh, apalagi terintimidasi."

Ia membuka dompet kecil, memastikan uang tunai cukup, lalu duduk di salah satu meja warung yang menghadap ke luar.

Mbak penjaga warung menghampirinya. “Mau makan apa, Mbak?”

“Nasi ayam goreng, sambal, lalap, sama es teh. Dine in aja.”

“Siap!”

Saat Mbaknya berbalik, Alesya bersandar, menengadah sebentar memandang langit sore yang mulai oranye.

Tanpa ia sadari, dari seberang jalan, sepasang mata gelap masih menatapnya dalam diam. Datar. Tapi penuh misteri. Sorotan yang tak bisa dijelaskan, tapi terasa seperti peringatan atau justru undangan.

---

Alesya tidak takut. Dia tidak gentar. Tapi satu hal yang ia tahu dengan pasti

Pria itu Rayan tidak seperti lelaki lain.

Bukan mulutnya yang bergerak. Tapi tatapannya cukup untuk membuat darahnya berdesir tanpa sebab.

Dan tanpa sadar, Alesya justru mulai menantika pertemuan berikutnya.