Langit mulai gelap ketika Alesya kembali ke kos. Tangannya membawa dua bungkus plastik satu berisi makan malam, dan satu lagi berisi beberapa camilan kecil serta air mineral. Ia berjalan santai, naik ke lantai dua dengan langkah ringan.
Saat masuk ke kamar, lampu neon di plafon menyala hangat. Kamar itu kecil, tapi cukup nyaman. Hanya ada satu tempat tidur, meja belajar mungil, dan lemari sederhana. Bau harum sabun dari bajunya masih tercium samar, bercampur dengan aroma nasi dan ayam goreng yang dibawanya.
Alesya duduk di lantai beralas tikar kecil. Ia membuka bungkus nasi dan mulai makan dengan tenang, tanpa suara, tanpa musik. Hanya suara dari luar jendela burung malam dan motor sesekali melintas yang menemaninya.
Setelah suapan terakhir, ia membersihkan sisa makanan dan merapikannya di pojok kamar. Baru setelah itu, ia mengambil ponsel dan merebahkan tubuh di kasur tipis yang terasa empuk karena baru diganti sprei bersih.
Layar ponsel menyala.
Ia mencari kontak "Kak Vino 🖤" dan menekan ikon telepon.
Tuut... Tuut... Klik.
“Halo, dek? Udah makan?”
“Udah, barusan banget.”
“Gimana tempatnya? Masih aman?”
“Aman, nyaman juga. Tapi... Kak, aku mau minta satu hal.”
“Apa?”
“Motor matic. Tapi bekas aja. Jangan yang baru. Yang penting bisa dipakai jalan ke sekolah dan ke warung.”
Suara Arvino di seberang terdengar menghela napas sebentar.
“Kamu yakin? Nggak mau sekalian yang baru aja biar lebih nyaman?”
“Nggak usah. Aku kan pengin hidup biasa, Kak. Kalau naik motor baru, nanti malah kelihatan aneh di sini.”
“Oke, oke kakak ngerti. Nanti kakak carikan, motor second yang masih mulus. Nanti dikirim sama anak buah Kakak ke kos kamu.”
“Thank you... Oh ya, surat pindahnya udah diurus belum?”
“Udah selesai. Besok sore dikirim juga sekalian sama berkas lainnya. Kamu udah tahu seragam di sekolah barumu kayak gimana?”
“Udah. Seragam putih abu-abu biasa. Nggak ribet, Kak.”
Percakapan mereka berakhir dengan tawa kecil dan pesan agar Alesya hati-hati. Setelah menutup telepon, Alesya bangkit dari tempat tidur.
Ia membuka lemari dan mengambil seragam baru rok abu selutut, kemeja putih lengan pendek yang sudah disetrika rapi. Ia gantung di dinding dengan gantungan baju sederhana. Di sebelahnya, ia siapkan dasi, kaus kaki, dan sepatu hitamnya yang sudah dipoles bersih.
Meja belajarnya ia rapikan, alat tulis dimasukkan dalam pouch, dan buku tulis masih baru disusun rapi.
Lalu ia duduk di depan cermin kecil, menyisir rambut panjangnya yang sudah kering sempurna.
Wajah mungil dengan kulit bersih dan bibir tipis itu menatap dirinya sendiri.
“Mulai besok, kamu bukan Alesya putri konglomerat. Kamu cuma anak biasa... yang pengin hidup normal.”
Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Tapi dalam senyuman itu, ada tekad kuat. Ia bukan kabur dari kenyamanan. Ia sedang memilih jalan untuk belajar, menyatu dengan dunia yang selama ini hanya ia lihat dari balik jendela mobil mewah.
Dan dunia itu perlahan mulai menunjukkan warna aslinya.
---
Setelah berbicara dengan kakaknya, Alesya berdiri dan berjalan pelan ke lemari kecil di sudut kamar. Ia mengambil pakaian tidur yang sudah disiapkan sejak siang.
Kemeja tidur berbahan katun tipis berwarna krem dengan kancing kecil yang rapi, dipadukan celana pendek sebatas lutut berwarna senada. Pakaian itu sederhana, tapi nyaman, pas untuk malam yang tenang di kosan kecil.
Ia membuka kancing kemeja dengan hati-hati, melepaskan pakaian hariannya yang masih hangat, lalu mengenakan baju tidur itu. Rasanya ringan dan sejuk menyelimuti kulitnya.
Setelah berganti, Alesya berjalan mengelilingi kamar kecilnya, menyentuh sedikit demi sedikit barang-barang yang ia tata tadi sore meja belajar, rak gantung, lemari pakaian, kulkas kecil yang berdengung pelan di pojok.
Dengan gerakan teliti, ia merapikan kembali baju yang sedikit berantakan, melipatnya rapi dan memasukkannya ke dalam tas sekolah yang ia letakkan di atas kursi.
Meja belajar yang sudah rapi ia rapikan lagi sedikit, menyusun pulpen dan buku catatan supaya siap digunakan esok hari.
Lalu, ia menarik tirai jendela agar suasana kamar terasa lebih nyaman dan hangat. Sinar remang lampu jalan yang masuk kini meredup, menciptakan bayangan lembut di dinding.
Alesya menatap sekeliling kamar kecilnya yang sederhana. Meskipun berbeda jauh dari mansion mewah, tempat ini terasa seperti rumah.
Ia merebahkan diri perlahan ke kasur tipis yang empuk, menutup mata, dan menghembuskan napas panjang.
Hari baru menanti.
---
Mentari pagi baru menyelinap lewat celah jendela kamar kos Alesya, membias ke lantai semen yang dingin. Perlahan, matanya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya lembut yang masuk.
Alesya duduk di tepi kasur, menarik napas dalam-dalam. Ia mengambil seragam sekolah yang sudah tergantung rapi di dinding kemeja putih lengan pendek dan rok abu-abu yang pas membentuk lekuk tubuhnya. Ia mengenakannya dengan gerakan cekatan, memastikan setiap kancing tertutup rapi dan kerah tersusun sempurna.
Setelah berpakaian, ia berdiri di depan cermin kecil. Mengambil sedikit skincare pembersih wajah ringan dan pelembap dengan gerakan halus membersihkan wajahnya yang masih mengantuk. Lalu ia mengoleskan lip balm tipis di bibir, membuatnya tampak segar tanpa berlebihan.
---
Di meja belajar, ponsel lama yang masih tersimpan dengan logo apel tergeser ke sisi meja. Dengan hati-hati, Alesya menggantinya dengan ponsel Android sederhana yang baru ia beli dari toko handphone bekas beberapa hari lalu.
“Biar lebih cocok dengan lingkungan baru,” pikirnya.
Ia membuka dompet kecil, mengambil sejumlah uang tunai yang cukup untuk kebutuhan hari itu dan beberapa cadangan. Semua dimasukkan ke dalam tas sekolah, bersama buku dan alat tulis.
---
Sebelum beranjak keluar kamar, Alesya mengambil kunci lemari kayu kecil yang berisi barang berharga laptop khusus dan beberapa dokumen penting dan menguncinya dengan rapat. Kemudian ia memastikan pintu kamar kos terkunci ganda.
Langkahnya tenang saat turun ke lantai satu.
---
Di depan pintu, Bu Rasti, ibu kos yang ramah tapi selalu penuh perhatian, sedang menyapu lantai. Saat melihat Alesya yang sudah rapi dengan seragam sekolah, wanita itu tersenyum dan berkata,
“Wah, Lesya, cantik banget pagi-pagi sudah siap sekolah. Semangat ya, jangan lupa hati-hati di jalan!”
Alesya tersenyum dan membalas, “Makasih, Bu. Insya Allah. Aku akan hati-hati.”
Bu Rasti mengangguk sambil menepuk bahu Alesya pelan.
“Kalau ada apa-apa, telepon Bu Rasti aja, ya.”
Alesya melangkah keluar gang kecil menuju jalan utama, menyesuaikan diri dengan dunia yang sekarang jadi rumah barunya.
---
Ojek yang membawa Alesya berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang cukup besar dan ramai. Deretan sepeda motor dan mobil berjejer rapi di sisi jalan, sementara siswa-siswi berlalu-lalang dengan seragam putih abu-abu yang sama seperti yang ia kenakan.
Alesya turun pelan dari motor, menyesuaikan langkahnya agar terlihat santai dan tidak terlalu mencolok. Namun, tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa pandangan mata yang mengarah padanya bukanlah pandangan biasa.
Sekelompok siswa laki-laki dan perempuan memalingkan kepala saat Alesya melangkah masuk. Bisik-bisik pelan terdengar, disertai tatapan penasaran dan kagum.
“Aduh, siapa tuh? Cantik banget!”
“Gila, baru masuk udah kayak model.”
“Kosan mana ya dia?”
Alesya menghiraukan semuanya, menundukkan kepala sedikit tapi tetap melangkah mantap. Ia fokus pada tujuan: mencari ruang kepala sekolah.
---
Di lorong sekolah yang panjang dan penuh warna poster kegiatan ekstrakurikuler, Alesya mendekati seorang siswa laki-laki yang sedang duduk di bangku koridor sambil asyik bermain ponsel.
“Permisi, Mas,” sapa Alesya dengan suara lembut tapi tegas.
“Maaf, saya mau tanya, ruang kepala sekolah sebelah mana ya?”
Siswa itu mengangkat kepala, melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu tersenyum ramah.
“Oh, ruang kepala sekolah? Itu di ujung koridor sebelah kanan, dekat ruang guru.”
“Terima kasih banyak,” jawab Alesya sopan.
Siswa itu mengangguk dan kembali menatap layar ponselnya. Alesya melanjutkan langkahnya dengan semangat, berusaha mengikis rasa gugup yang mulai menyelinap.
---
Langkah Alesya di lorong sekolah memang sudah menjadi pusat perhatian. Namun, ia tidak membiarkan tatapan itu membuatnya ragu. Justru, semakin banyak yang memandang, semakin yakin ia bahwa dunia baru ini layak untuk dijelajahi.