5 Masuk Ruang Kepala Sekolah

Alesya melangkah pelan di koridor yang dingin dan beraroma kayu. Suara langkahnya beradu dengan deru kipas angin dan desiran percakapan guru di beberapa ruang kelas. Ia menatap pintu dengan tulisan “Kepala Sekolah” berwarna hitam di permukaan kayu cokelat.

Ia menghela napas sejenak, lalu mengetuk pintu perlahan.

“Tolong masuk,” suara pria paruh baya mengundang dari dalam.

Alesya membuka pintu dan melangkah masuk. Di dalam ruangan, seorang pria berkacamata dengan jas rapi sedang duduk di balik meja besar yang penuh dengan berkas-berkas dan komputer.

“Selamat pagi, Nak. Kamu pasti Alesya, siswa baru kita, ya?” sapa kepala sekolah dengan ramah.

“Selamat pagi, Pak. Iya, benar. Nama saya Alesya,” jawabnya sopan.

Kepala sekolah tersenyum dan mengangguk. “Senang bertemu denganmu. Kami sudah menerima surat pindahmu. Silakan duduk, saya akan jelaskan beberapa hal mengenai sekolah ini dan jadwalmu.”

Alesya duduk di kursi tamu di depannya, merasa sedikit gugup tapi berusaha tetap tenang.

Kepala sekolah membuka map besar berisi jadwal pelajaran dan dokumen penting. “Sekolah ini cukup disiplin dan punya banyak kegiatan ekstrakurikuler. Jika kamu ingin bergabung, silakan beri tahu guru pembimbing.”

Alesya mengangguk. “Terima kasih, Pak. Saya siap beradaptasi.”

Pak kepala sekolah melanjutkan penjelasannya, memberikan nomor telepon guru bimbingan konseling dan informasi penting lainnya.

Setelah sekitar lima belas menit berbicara, Alesya berdiri dan mengucapkan terima kasih.

“Saya akan mulai kelas besok pagi,” katanya.

“Bagus. Jangan ragu untuk bertanya jika ada kesulitan. Selamat bergabung di SMA ini, Alesya,” kata kepala sekolah sambil tersenyum hangat.

Alesya melangkah keluar ruangan dengan perasaan lega dan harapan baru.

Berikut lanjutan Bab 5 Bagian 2 dari novel Gadis Elit dan Ketua Geng, saat Alesya masuk kelas baru dan mendapat pujian serta perhatian dari teman-teman sekelasnya.

Langkah Alesya pelan menyusuri lorong menuju kelas barunya. Di balik seragam putih abu-abunya, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tapi wajahnya tetap tenang, penuh percaya diri.

Saat pintu kelas terbuka, semua mata langsung tertuju padanya. Bisik-bisik kagum menyebar seperti angin.

“Wow, siapa dia?”

“Cantik banget, ya?”

“Pasti anak baru itu.”

“Lihat bajunya, rapi banget.”

Guru yang sedang berdiri di depan kelas tersenyum hangat. “Selamat datang, Alesya. Silakan duduk di kursi kosong sebelah jendela.”

Teman-teman sekelas bergeser, memberi ruang bagi Alesya. Beberapa gadis menatap dengan penuh kekaguman, sementara beberapa cowok diam-diam saling bertukar pandang.

Alesya duduk dengan anggun, menyapa guru dengan sopan. “Terima kasih, Bu.”

Seorang gadis bernama Rina, yang duduk di sebelahnya, mencondongkan tubuh dan berbisik, “Kamu keren banget, Les. Gaya kamu beda dari yang lain.”

Alesya tersenyum malu tapi senang. “Terima kasih, Rina. Aku juga senang bisa kenal sama kalian.”

Suasana kelas menjadi lebih hangat. Percakapan kecil mulai muncul di antara siswa yang penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang Alesya.

Walau Alesya mencoba bersikap biasa, perhatian yang ia dapat membuatnya sadar bahwa dunia baru ini akan penuh tantangan dan juga peluang.

---

Langkah Alesya pelan menyusuri lorong menuju kelas barunya. Di balik seragam putih abu-abunya, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tapi wajahnya tetap tenang, penuh percaya diri.

Saat pintu kelas terbuka, semua mata langsung tertuju padanya. Bisik-bisik kagum menyebar seperti angin.

“Wow, siapa dia?”

“Cantik banget, ya?”

“Pasti anak baru itu.”

“Lihat bajunya, rapi banget.”

Guru yang sedang berdiri di depan kelas tersenyum hangat. “Selamat datang, Alesya. Silakan duduk di kursi kosong sebelah jendela.”

Teman-teman sekelas bergeser, memberi ruang bagi Alesya. Beberapa gadis menatap dengan penuh kekaguman, sementara beberapa cowok diam-diam saling bertukar pandang.

Alesya duduk dengan anggun, menyapa guru dengan sopan. “Terima kasih, Bu.”

Seorang gadis bernama Rina, yang duduk di sebelahnya, mencondongkan tubuh dan berbisik, “Kamu keren banget, Les. Gaya kamu beda dari yang lain.”

Alesya tersenyum malu tapi senang. “Terima kasih, Rina. Aku juga senang bisa kenal sama kalian.”

Suasana kelas menjadi lebih hangat. Percakapan kecil mulai muncul di antara siswa yang penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang Alesya.

Walau Alesya mencoba bersikap biasa, perhatian yang ia dapat membuatnya sadar bahwa dunia baru ini akan penuh tantangan dan juga peluang.

Pelajaran pertama dimulai dengan suasana hening yang hanya diisi suara guru yang menjelaskan materi. Alesya duduk dengan tenang di bangkunya, memperhatikan papan tulis sambil mencatat dengan tulisan rapi. Ia tampak serius, meski sebenarnya pikirannya sedikit mengembara, menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

Beberapa kali gurunya melontarkan pertanyaan, dan Alesya dengan sigap mengangkat tangan.

“Jawabannya dua belas, Bu,” jawabnya dengan suara jernih ketika ditanya soal matematika.

Guru tersenyum puas. “Bagus sekali, Alesya. Jawabanmu benar.”

Suasana kelas semakin terfokus pada gadis baru itu. Banyak yang mulai menyadari kalau Alesya bukan hanya cantik, tapi juga pintar.

Saat bel istirahat berbunyi, Alesya hendak membuka bekalnya yang dibawa dari kos. Namun, sebelum ia sempat menyuap satu sendok nasi pun, tiga gadis langsung menghampirinya dengan wajah cerah.

“Hei, kamu Alesya, kan?”

“Boleh duduk di sini?”

“Aku Della. Ini Ayu dan yang satu lagi Tania.”

Alesya tersenyum, mengangguk sopan. “Tentu saja, silakan duduk.”

Ketiganya duduk mengelilingi meja Alesya, membawa bekal masing-masing.

“Aku suka banget gaya kamu. Sederhana tapi keren,” ucap Tania sambil mengagumi gelang rajut yang melingkar di pergelangan tangan Alesya.

“Kamu tinggal di mana? Kayaknya bukan anak sini ya?” tanya Ayu penasaran.

Alesya tertawa kecil. “Aku anak pindahan. Sekarang ngekos di dekat sekolah.”

“Wah, mandiri banget. Keren!” Della terlihat makin tertarik.

Alesya hanya membalas dengan senyuman hangat. Ia tahu, pertemanan seperti ini yang ia cari. Bukan karena status sosial atau latar belakang, tapi karena ketulusan dan kenyamanan.

Mereka pun mengobrol dengan akrab, mulai dari guru yang lucu, makanan di kantin, sampai gosip ringan tentang kakak kelas yang katanya ‘bad boy’ tapi jadi idola banyak murid.

Alesya menyimpan semua nama dan cerita itu baik-baik dalam pikirannya. Ini adalah awal yang baik.

Suasana meja makan mereka dipenuhi tawa kecil dan cerita-cerita ringan. Alesya merasa nyaman. Tania yang ceria, Ayu yang sedikit kalem tapi suka nyeleneh, dan Della yang banyak tahu tentang apa pun—kombinasi yang pas untuk menghangatkan hari pertamanya di sekolah baru.

“Eh, Les,” panggil Della sambil menyentuh tangan Alesya dengan lembut. “Kita tukeran nomor HP, yuk. Biar gampang kalau mau ngobrol atau ada tugas bareng.”

Alesya tersenyum. “Boleh, tentu.”

Della langsung mengeluarkan ponselnya, disusul Tania dan Ayu. Mereka menyodorkan HP masing-masing dan menambahkan nomor Alesya ke kontak mereka.

Alesya juga mengeluarkan ponselnya—bukan iPhone mewah seperti biasanya, tapi Android biasa yang sengaja ia pilih agar tidak mencolok. Ia menambahkan nama-nama baru itu dengan cepat:

Della – Si Kutu Buku

Tania – Si Ceriwis

Ayu – Si Tenang Tapi Ngegas

“Aku suka banget nama yang kamu pakai di kontakku,” komentar Tania sambil tertawa waktu melihat layar Alesya.

Alesya nyengir. “Biar gampang inget aja. Kalian semua punya ciri khas masing-masing.”

“Ya udah, kita bikin grup aja yuk!” usul Della antusias. “Namanya... Cewek-cewek Heboh!”

Ayu langsung mengerutkan dahi. “Heboh banget tuh namanya.”

“Justru itu! Biar beda!” sahut Tania sambil ngakak.

Alesya tertawa ikut-ikutan. “Terserah, aku ikut aja.”

Della langsung membuat grup, menambahkan semuanya. Di grup itu, Tania langsung mengirim stiker lucu dan voice note penuh gaya.

Alesya membaca isi grup sambil tersenyum. Ini pertama kalinya ia merasa jadi gadis biasa tanpa label, tanpa bayang-bayang nama besar keluarga. Dan rasanya hangat.