6 pulang sekolah

Matahari mulai condong ke barat ketika bel pulang sekolah berbunyi. Suara para siswa yang keluar dari kelas membaur, menciptakan riuh rendah yang khas. Alesya berjalan santai keluar gerbang, menggendong tas ransel kecil di punggungnya.

Ia menolak tawaran Tania, Della, dan Ayu untuk pulang bareng karena ingin menyusuri jalan pulang sendiri. Menikmati udara luar, mengenali jalanan dan gang kecil yang membawanya kembali ke rumah kos.

Sinar mentari sore membias di aspal yang sedikit panas. Beberapa siswa lain terlihat berboncengan, ada yang tertawa-tawa, ada pula yang langsung dijemput mobil keluarga. Alesya menoleh sekilas ke arah deretan mobil—satu di antaranya mobil hitam mewah berhenti di kejauhan. Ia hanya tersenyum simpul. Mobil seperti itu sangat familiar baginya, namun hari ini bukan miliknya. Ia memilih menjadi biasa.

Langkahnya membawa dia ke gang kecil yang lebih sepi, beberapa meter dari jalan utama.

Namun tiba-tiba—

Vruummmm!

Suara motor besar meraung dari arah berlawanan. Alesya menoleh cepat. Sebuah motor sport warna hitam dengan sentuhan merah melintas cepat, lalu berhenti mendadak beberapa meter di depannya. Debu beterbangan. Helm hitam pekat menutupi wajah pengendaranya.

Pengendara itu turun dari motor, melepas helm dengan satu tangan.

Alesya memicingkan mata.

Seorang pria tinggi, kulit eksotis, rahang tegas, dan tatapan dingin. Ia mengenakan jaket kulit hitam, celana jeans pudar, dan sepatu boots. Wajahnya tak asing bagi siapa pun yang tinggal di sekitar sekolah ini.

Rayan. Ketua geng motor paling disegani di wilayah itu.

Tatapan mereka bertemu sejenak.

Alesya tak bergeming, ekspresinya tetap tenang meski jantungnya sedikit berdebar karena suara motor yang terlalu dekat tadi. Ia melangkah ke sisi jalan, ingin melanjutkan perjalanan. Tapi langkahnya tertahan oleh suara pria itu.

“Kamu anak baru itu, ya?” tanya Rayan tanpa ekspresi, suaranya dalam.

Alesya menoleh pelan. “Iya. Kenapa?”

Rayan hanya mendengus pelan, lalu menghidupkan kembali motornya. “Nggak. Cuma penasaran.” Dan tanpa berkata lagi, ia melesat pergi, meninggalkan Alesya yang masih berdiri di pinggir jalan.

Alesya mengangkat alis tipisnya. “Cowok itu dingin banget,” gumamnya sambil kembali berjalan.

Tapi dalam hatinya, entah kenapa, nama Rayan terpatri begitu saja.

---

Langkah Alesya pelan menapaki jalan kecil menuju rumah kos sederhana yang kini jadi tempat tinggal barunya. Matahari sore mulai redup, membiaskan cahaya hangat di sela-sela pepohonan dan atap rumah warga. Jalanan ini jauh dari kemewahan yang biasa ia lihat, namun justru terasa lebih hidup. Lebih nyata.

Begitu sampai di depan pagar besi bercat hijau tua yang sedikit berkarat, Alesya mengetuk pelan.

Ceklek.

Pintu dibuka oleh Ibu Kos, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah.

“Nah, Alesya udah pulang,” sambutnya hangat. “Hari pertama sekolah, gimana, Nak?”

Alesya tersenyum sambil mengangguk kecil. “Seru, Bu. Teman-temannya ramah-ramah.”

“Alhamdulillah. Syukurlah kalau betah.” Ibu Kos menggeser tubuhnya, memberi jalan. “Masuk dulu, pasti capek.”

Alesya melangkah masuk, melepas sepatu di depan pintu lalu berjalan menuju kamarnya di lantai satu. Tapi sebelum masuk, ia sempat menoleh ke arah dapur kecil di sudut rumah.

“Bu, kalau saya nanti ingin masak sendiri, boleh ya pakai dapur belakang?” tanyanya sopan.

“Boleh, Nak. Yang penting rapi aja habis pakai. Kompor satu, tapi cukup kok. Panci-panci juga ada.”

Alesya mengangguk. “Terima kasih, Bu.”

Sesampainya di kamar, ia menutup pintu perlahan, lalu menjatuhkan diri di kasur tipis yang sudah ia rapikan semalam. Udara sore menyusup dari jendela yang sedikit terbuka. Ia melepaskan dasi dan membuka kancing seragam satu per satu.

Berganti pakaian dengan kaus longgar dan celana pendek, Alesya menuju cermin kecil di atas meja belajarnya. Ia mengusap wajah dengan kapas dan toner, lalu duduk santai sambil membuka ponsel. Grup kecil dengan Tania, Ayu, dan Della sudah ramai notifikasi.

Tania: "Gue suka banget sama gaya lo hari ini, Les. Sederhana tapi keren."

Ayu: "Eh, kalian sadar gak sih tadi ada cowok geng motor ngelirik Alesya pas di depan gang?"

Della: "LOH?! Siapa? Rayan?!"

Alesya terdiam sejenak, mengernyit.

Rayan.

Nama itu muncul lagi.

Tanpa menjawab chat, ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke lemari kecil dan mengeluarkan satu buku catatan. Di dalamnya, ia menuliskan hal-hal penting setiap hari. Hari ini, ia menulis:

“Hari pertama berhasil. Sekolah berjalan lancar.

Teman baru: ✔️

Target beradaptasi: ✔️

Tantangan pertama: Rayan?”

Ia menutup buku itu pelan dan menyimpannya kembali.

“Besok, tantangan mungkin dimulai,” gumamnya.

Setelah menulis di buku catatannya, Alesya kembali merebahkan tubuh di atas kasur. Baru saja ia hendak memejamkan mata untuk istirahat sejenak, suara ponselnya berdering pelan.

Trttt... trttt...

Layar menampilkan nama yang sangat dikenalnya: Kak Arvino.

Alesya tersenyum dan cepat-cepat menerima panggilan.

“Hallo, Kak,” ucapnya pelan.

“Les, kamu udah sampai kos?” suara Arvino terdengar santai tapi penuh perhatian, seperti biasa.

“Udah. Baru juga selesai istirahat.”

“Gimana sekolah barumu? Ada yang ganggu?” tanya Arvino.

Alesya terkekeh pelan. “Nggak ada. Teman-temannya seru-seru. Aku nggak ketahuan anak orang kaya kok. Aman.”

“Hati-hati ya. Kamu itu terlalu polos kadang, jadi kakak tetap khawatir,” ucap Arvino.

“Iya, iya. Aku hati-hati, tenang aja,” jawab Alesya sambil menahan tawa kecil.

“Oh ya, soal motor, udah Kak temuin yang kamu mau. Matic, bekas, tapi masih mulus dan suratnya lengkap. Nanti sorean dikirim ke kos kamu. Kakak juga udah bilang ke pengantar buat langsung kasih kamu STNK dan kuncinya.”

“Yeay!” seru Alesya pelan sambil menggulingkan badan ke sisi kasur. “Thanks, Kak. Yang penting bukan motor baru, biar nggak mencolok.”

“Tahu banget. Kakak juga udah ngurusin surat pindahan sekolah kamu, tinggal nunggu cap dari sekolah lama. Nanti dikirim via pos ke sekolah kamu, biar kamu tinggal serahin ke tata usaha.”

Alesya mengangguk walau tak terlihat. “Oke, Kak. Makasih banget ya. Kak Arvino paling pengertian deh.”

“Ya iyalah, kamu adik kesayangan,” sahut Arvino, terdengar bangga. “Kalau butuh apa-apa tinggal bilang. Tapi tetap ya, jangan terlalu nekat. Kamu bukan gadis biasa, meskipun lagi nyamar.”

Alesya menghela napas pelan. “Aku tahu, Kak. Tapi justru itu tujuannya. Aku pengen bisa hidup biasa tanpa perlakuan khusus.”

“Hm. Baiklah, Kakak percayain. Tapi kamu tetap harus waspada.”

“Iya, Kak.”

Setelah berbasa-basi sebentar, Arvino pun menutup telepon. Alesya tersenyum kecil sambil menatap layar ponsel yang kini kembali gelap.

Tak lama kemudian, ia bangkit dari kasur, berjalan ke jendela dan menyingkap tirai tipis. Sinar sore perlahan memudar, memberi ruang bagi malam untuk datang.

Motor matic akan segera datang.

Dan petualangan barunya pun benar-benar dimulai.

Sekitar satu jam setelah telepon dari Arvino, suara deru motor terdengar dari arah depan rumah kos. Alesya yang tengah membaca buku pelajaran di meja belajar, segera menoleh ke arah jendela.

Tak lama, terdengar suara Ibu Kos dari luar kamar.

> “Alesyaaa, ada yang nganter motor nih!”

Alesya bergegas keluar, mengenakan sandal jepit. Saat pintu depan terbuka, ia langsung melihat sosok pria tinggi dengan jaket kulit hitam dan celana jeans gelap berdiri di samping motor matic warna hitam doff. Posturnya tegap dan tubuhnya tampak atletis. Helm masih menutupi wajahnya.

Pria itu melepas helm, memperlihatkan wajahnya yang tegas dengan rahang kokoh dan tatapan tajam. Rambutnya sedikit berantakan, memberi kesan urakan tapi tetap memikat.

“Ini Alesya?” tanyanya singkat, suaranya dalam.

Alesya mengangguk. “Iya, saya.”

Pria itu mengeluarkan map kecil dari tas selempangnya, lalu menyerahkan STNK, BPKB, dan kunci motor.

“Semua surat lengkap. Kakak kamu yang minta saya langsung kirim ke sini.”

“Terima kasih, Mas,” ucap Alesya sopan sambil menerima dokumen itu.

Pria itu hanya mengangguk. “Titip pesan dari Kakakmu. Katanya kamu harus hati-hati. Jangan bawa motor ini kalau nggak penting.”

Alesya terkekeh kecil. “Iya, pasti.”

Setelah memastikan semuanya lengkap, pria itu kembali mengenakan helm dan segera pergi, meninggalkan suara knalpot motor sport yang terdengar berat dan garang.

Namun Alesya tak menyadari, di ujung gang, berdiri seseorang yang memperhatikannya sejak tadi.

Rayan.

Bersandar pada sepeda motornya yang berwarna merah tua, cowok itu memicingkan mata ke arah rumah kos tempat Alesya tinggal. Ia melihat sosok pria berjaket kulit tadi pergi, dan melihat Alesya berdiri di depan rumah sambil membawa kunci motor baru.

Rayan mendesis pelan.

“Anak baru itu tinggal di sini?” gumamnya pelan.

Tatapan matanya tajam, penuh kecurigaan.

Alesya masuk kembali ke dalam rumah kos tanpa tahu bahwa sejak tadi, seseorang mengawasinya dari jauh. Seseorang yang tak pernah ia duga akan menjadi orang yang paling sering bersinggungan dengannya.

Rayan menyalakan motornya. Knalpotnya meraung keras sebelum ia melaju pergi, tapi tidak sebelum menoleh sekali lagi ke arah kos sederhana itu.