7 Malam Hari dan motor pertama

Malam mulai turun dengan angin yang tak terlalu dingin, tapi cukup membuat udara terasa segar. Lampu-lampu jalan perlahan menyala, menerangi gang sempit di sekitar rumah kos sederhana itu.

Alesya berdiri di depan cermin, mengeringkan rambutnya yang masih basah setelah mandi. Tubuhnya dibalut baju crop top putih lengan panjang dan celana jeans high waist warna hitam. Untuk menutupi tubuhnya, ia menambahkan jaket cardigan rajut warna abu-abu.

Simpel, tapi tetap modis.

Ia meraih tas selempang kecil dan memasukkan dompet, ponsel, serta kunci motor. Sebelum keluar kamar, ia menatap sebentar ke arah lemari, memastikan semuanya terkunci dengan baik.

> “Oke, waktunya uji coba naik motor,” gumamnya pelan sambil tersenyum kecil.

Begitu keluar, motor matic hitam doff itu sudah terparkir rapi di depan rumah kos. Alesya membuka kunci dan duduk di atasnya dengan hati-hati.

Tangannya meraih helm yang tadi dititipkan pria pengantar siang tadi.

Awalnya sempat canggung, namun setelah menyalakan mesin dan mencoba menarik gas perlahan, Alesya mulai terbiasa.

> “Lumayan juga,” ujarnya sambil tersenyum senang.

Ia membawa motor itu menyusuri jalanan kecil. Tujuannya sederhana: cari makan malam.

Di pinggir jalan, lampu neon dari gerobak cilok dan somey menarik perhatiannya. Ia segera menepi dan memarkirkan motor.

> “Cilok satu bungkus, somey-nya juga, ya, Bang,” ucapnya pada penjual sambil tersenyum ramah.

Penjualnya melirik Alesya yang tampil modis meski sederhana.

> “Sekolah di mana, Neng?”

> “Baru pindah sekolah di daerah sini,” jawab Alesya sambil menerima pesanan.

Tak berhenti sampai di sana, Alesya melanjutkan perjalanannya dan menemukan warung makan kecil yang menjual nasi ayam dan bebek goreng. Aroma bumbunya yang gurih menggoda banget.

Ia memesan nasi bebek goreng satu porsi dan nasi ayam sambal matah satu lagi—untuk persediaan besok pagi, pikirnya.

Setelah semuanya selesai, ia kembali menaiki motornya dan pulang ke kos dengan hati puas.

---

Sesampainya di kamar, Alesya meletakkan semua makanan di meja dan duduk santai di lantai, bersandar ke dinding, membuka bungkus makanan satu per satu.

> “Hidup sederhana ternyata menyenangkan juga,” ucapnya sambil mengambil satu tusuk cilok dan mengunyahnya pelan.

Tak disadari, di luar sana seseorang kembali memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan. Sosok yang sama seperti tadi siang.

Namun malam ini, dia hanya mengamati dari atas motor dalam diam.

---

Setelah menyantap somey dan cilok sambil menonton video lucu dari ponsel Android-nya, Alesya merebahkan diri di kasur kos sederhana itu. Lampu kamar sudah diredupkan, dan tubuhnya berselimut tipis. Perut kenyang dan angin malam yang semilir membuat suasana semakin nyaman.

Namun ketenangan itu terusik saat dari balik lemari kecil di sudut kamar terdengar getaran pelan.

Bzzz... Bzzz...

Alesya membuka mata dan duduk pelan.

Bzzz...

"Hah?" gumamnya.

Ia segera bangkit dan membuka lemari. Sebuah ponsel iPhone berwarna silver yang sengaja ia sembunyikan di dalam pouch kecil bergetar. Di layarnya tertera nama:

“Papa ”

Alesya menatap layar sejenak, ragu. Ia tahu betul, papanya tidak akan menghubungi kalau tidak penting.

Setelah menarik napas pelan, Alesya mengangkat panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinga.

“Halo, Pa...” suaranya pelan dan agak cemas.

“Alesya, sayang Papa ganggu ya? Papa cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja di tempat baru.” Suara bariton Papa terdengar hangat, penuh perhatian.

“Aku baik-baik saja, kok. Papa tenang aja. Aku juga udah dapat makanan enak di dekat kos,” jawab Alesya sambil tersenyum kecil, menatap kipas angin yang berputar di langit-langit kamar.

“Apa kamu butuh sesuatu? Papa bisa minta Arvino kirimkan barang-barang tambahan kalau kamu kurang nyaman.”

Alesya menggeleng meski Papa tak bisa melihat.

“Enggak, Pa. Jangan terlalu sering kirim barang. Nanti aku malah nggak belajar hidup sederhana. Lagian, Papa kan tahu aku mau belajar mandiri.”

Papa tertawa pelan. “Iya, iya... Tapi tetap jaga dirimu, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kalau ada yang aneh atau mencurigakan, kabari Papa, ya?”

“Iya, Pa. Makasih.”

“Oh ya. satu hal lagi. Arvino bilang kamu minta motor bekas. Kenapa nggak yang baru?”

Alesya terkekeh. “Kalau pakai yang baru nanti ketahuan aku orang berada, dong. Lagian motor bekas juga masih bagus, kok.”

“Kamu memang keras kepala, Sayang.” Nada suara Papa terdengar geli. “Tapi Papa bangga.”

“I love you, Pa.”

“I love you too, Princess. Selamat tidur.”

Telepon ditutup. Alesya menghela napas panjang, lalu meletakkan iPhone-nya kembali ke dalam pouch dan menguncinya rapat. Ia tak ingin siapapun di kos melihat ponsel mahal itu.

Setelah memastikan lemari kembali terkunci, ia kembali ke kasur, menyelimuti tubuhnya, dan menatap langit-langit.

“Kalau Papa tahu aku tinggal serumah dengan ketua geng motor, pasti beliau langsung panik...” bisiknya pelan, meski belum sadar bahwa sosok itu Rayan akan segera masuk ke dalam hidupnya lebih dalam dari sekadar tatapan di kejauhan.

---

Berikut lanjutan cerita Bab 7 – Bagian 3, kali ini dari sudut pandang Rayan, sang ketua geng motor yang mulai terusik dengan kehadiran Alesya.

---

Rayan duduk di kursi malas yang diletakkan di balkon kamarnya, lantai dua rumah bergaya minimalis yang ia tinggali bersama neneknya. Angin malam menerpa wajahnya, membawa aroma dedaunan dan suara jangkrik dari kejauhan. Seperti malam-malam sebelumnya, ini adalah waktu di mana pikirannya sering mengembara tapi kali ini, pikirannya tertuju pada satu sosok.

Cewek baru.

Cewek yang terlalu bersih, terlalu tenang... dan terlalu menarik perhatian.

“Namanya siapa, sih?” batin Rayan. “Wajahnya bukan kayak anak sini.”

Ia memejamkan mata, mengingat kembali pertemuan pertama.

Pertama kali dia melihat cewek itu Alesya adalah di kost temannya. Sore itu, dia sedang duduk di depan bengkel kecil yang biasa jadi markas nongkrong bareng anak-anak geng. Tak jauh dari situ, ada rumah kos tempat beberapa teman seangkatannya tinggal. Dan hari itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah kos tersebut.

Rayan duduk di atas motor, helm ditenteng di tangan, saat melihat cewek itu turun dari mobil. Rambut panjang, kulit putih bersih, dan bibirnya tipis berwarna pink alami. Bukan lipstik. Bukan bedak. Wajah itu terlalu murni untuk disebut biasa-biasa saja.

“Dia bukan dari sini,” pikirnya saat itu.

“Dan bukan juga anak desa.”

Lalu keesokan harinya, dia baru benar-benar mengamati cewek itu lagi ketika dia ternyata satu sekolah. Seragam yang dikenakan Alesya pas di badan, tidak berlebihan, tapi justru memancarkan aura eksklusif yang sulit disembunyikan. Tatapan matanya tenang dan percaya diri. Beda dari murid-murid lain.

Rayan mengingat jelas, cewek itu menanyakan ruang kepala sekolah. Cara bicaranya sopan, tapi tidak gugup. Tegas tapi lembut. Bikin penasaran.

Dan sore tadi dia kembali melihatnya.

Seorang pria bertubuh atletis dan memakai jaket kulit mengantar motor matic ke kosan Alesya. Rayan kebetulan sedang mampir beli bensin tak jauh dari situ. Dia hanya memandangi dari kejauhan, pura-pura tidak peduli. Tapi matanya tidak bisa bohong. Tatapan itu tidak pernah lepas dari sosok cewek itu.

“Siapa cowok itu? Pacarnya? Kakaknya?” pikirnya curiga.

Dan malam ini, saat Rayan sedang dalam perjalanan pulang melewati gang kecil dekat warung kaki lima, ia kembali melihat cewek itu. Duduk santai di atas motor barunya, menunggu cilok dan somey dibungkus. Lalu lanjut membeli ayam bakar.

Gaya cewek itu santai. Crop top, cardigan panjang, dan celana panjang. Tapi tetap saja, dari cara dia memegang uang, cara dia duduk, cara dia memesan makanan semuanya menunjukkan satu hal:

“Bukan cewek sembarangan,” gumam Rayan pelan di balkon, sambil menyalakan rokok.

Ia menatap langit yang mulai ditutupi awan. Kepalanya bersandar di dinding, sementara asap rokok melayang tinggi ke udara malam.

“Kenapa cewek kayak dia tinggal di tempat begini?”

“Apa yang dia sembunyikan?”

Rayan memejamkan mata, tapi wajah Alesya justru semakin jelas di benaknya.

Dan tanpa sadar rasa penasaran itu mulai berubah menjadi sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.