Pagi itu, langit sedikit mendung, namun udara tetap segar. Angin semilir menyapa dari sela pepohonan rindang di sekitar lapangan sekolah.
Alesya berdiri di antara siswa-siswi lainnya dengan seragam olahraga sekolah berwarna abu dan biru dongker. Ia mengenakan kaus olahraga berlengan panjang yang pas di badan dan celana training yang nyaman, rambutnya diikat rapi ke belakang.
“Wah, kamu cocok banget pakai seragam ini, Les!” bisik Ayu sambil tertawa kecil.
Tania ikut menyenggol bahunya. “Kamu kelihatan kayak atlet, asli.”
Alesya hanya menanggapinya dengan senyum manis, lalu menengok ke arah lapangan. Matanya menyapu sekeliling, mempelajari ritme dan kebiasaan siswa di sekolah barunya. Hari ini adalah hari pertama olahraga, dan Alesya tak ingin tampil biasa saja.
Guru olahraga meniup peluit. “Pemanasan, ayo semua baris!”
Semua siswa mulai melakukan pemanasan. Alesya mengikuti dengan gerakan lentur dan teratur. Meski gerakannya tidak mencolok, tapi tetap menarik perhatian karena dilakukan dengan mantap dan penuh percaya diri.
Rayan berdiri tak jauh dari sana, mengenakan jaket olahraga yang digulung di lengan. Matanya—lagi-lagi—menyapu Alesya. Kali ini lebih lama dari sebelumnya.
“Loe tuh, serius banget liatin dia,” ujar Fahmi, sahabat Rayan, sambil nyengir. “Sampai-sampai loe ngga sadar kalau cewek loe yang dulu lewat di belakang.”
Rayan hanya mendengus pelan. “Dia beda. Gue masih nyari tahu dia itu siapa sebenarnya.”
“Jangan-jangan jatuh cinta?” cibir Fahmi.
“Gue penasaran.”
Setelah pemanasan, siswa diminta berlari mengelilingi lapangan. Alesya berlari dengan kecepatan sedang tapi stabil. Keringat mulai membasahi pelipisnya, namun ia tetap menjaga napas.
Tania, Dela, dan Ayu sudah tertinggal jauh.
“Eh gila, Les. Kamu sering jogging ya?” tanya Ayu ngos-ngosan dari belakang.
Alesya tertawa ringan. “Kadang-kadang.”
Namun dari kejauhan, Rayan memperhatikan langkah kaki Alesya yang ringan. Bukan gerakan orang yang baru belajar berolahraga. Justru seperti seseorang yang terbiasa dilatih secara disiplin.
Setelah lari, kegiatan dilanjutkan dengan pertandingan kecil—permainan bola voli antar kelompok.
Guru membagi kelompok secara acak, dan secara tak disangka, Alesya berada satu tim dengan Rayan.
“Wah, ketemu juga,” ujar Rayan dengan santai sambil berdiri di dekatnya.
Alesya hanya tersenyum sopan. “Iya.”
“Kamu bisa main voli?”
“Sedikit.”
Pertandingan dimulai. Alesya bermain dengan cukup baik. Ia bisa membaca arah bola dan memukulnya dengan tepat—meskipun tidak terlalu agresif. Namun semua gerakan itu membuat Rayan semakin yakin: cewek ini bukan orang biasa.
Dan ketika tim mereka memenangkan pertandingan kecil itu, teman-teman mulai bersorak.
“WOII Alesya jago juga!” teriak Ayu dari pinggir lapangan.
Alesya hanya tertawa kecil, menutup wajah dengan tangan. “Beruntung aja tadi,” ucapnya merendah.
Namun di hati banyak siswa, nama Alesya sudah mulai diperbincangkan.
Bukan hanya karena wajahnya yang cantik dan kulitnya yang bersih. Tapi karena pembawaannya yang santai, gerakannya yang luwes, dan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya.
Usai kegiatan olahraga selesai, para siswa berbondong-bondong kembali ke gedung sekolah. Beberapa memilih langsung menuju kelas, tapi sebagian besar singgah dulu ke kamar mandi untuk membersihkan diri atau hanya mencuci muka.
Alesya berjalan ke arah toilet perempuan sambil membawa tas kecil berisi bedak, lip balm, dan tisu basah. Bajunya sedikit basah karena keringat, tapi wajahnya tetap segar dengan rona cerah alami.
Saat masuk ke dalam toilet, ia sempat menyapa dua siswa yang keluar sambil tersenyum. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar bisikan dari bilik ujung yang pintunya sedikit terbuka.
“Eh kamu lihat enggak sih, tuh anak baru si Alesya. Gila sih, cakep parah.”
“Iya, tapi aneh deh. Gayanya bukan kayak anak-anak biasa. Kulitnya putih bersih banget, tangannya juga enggak ada bekas kena panas-panasan. Terus tadi dia main voli… keren!”
“Aku denger-denger dia pindahan dari kota besar. Tapi kok ke sekolah kita ya? Biasanya anak kaya tuh sekolah di swasta elite.”
Alesya terdiam beberapa detik. Ia tidak tahu harus tertawa atau menarik napas panjang.
Ia memilih berjalan masuk ke salah satu bilik. Mencuci muka pelan di wastafel, lalu membuka bedak dan lip balm dari tas kecilnya. Setelah itu ia mengecek rambut cepolnya yang sedikit berantakan, memperbaikinya dengan tangan terampil.
Salah satu dari dua cewek yang tadi bergosip keluar dari bilik. Tatapannya langsung bertemu dengan mata Alesya.
“Oh... hai.”
Alesya tersenyum ramah. “Hai juga.”
Cewek itu langsung canggung. “Ehm… kamu Alesya, kan?”
“Iya, betul.”
“Keren banget tadi main volinya…”
“Terima kasih, aku cuma ikut-ikutan aja kok,” jawab Alesya dengan sopan, sambil menepuk pipinya pelan dengan bedak tipis.
Tak lama kemudian, Tania dan Dela masuk.
“Les! Eh ternyata kamu di sini, ayo ke kantin dulu yuk!” seru Tania.
Alesya mengangguk. “Oke, aku udah selesai kok.”
Saat berjalan keluar dari kamar mandi, Tania sempat berbisik, “Tadi aku denger mereka ngomongin kamu, Les.”
Alesya hanya menjawab dengan kalimat ringan namun penuh makna, “Biarin aja. Yang penting aku nggak ganggu siapa pun.”
Di kejauhan, tanpa Alesya sadari, Rayan berdiri dekat tangga, memperhatikan pergerakannya dari jauh. Tangannya melipat, punggungnya bersandar ke dinding.
“Hm cewek itu tahu caranya menjaga sikap. Tapi jelas bukan orang biasa,” gumamnya pelan sebelum berbalik dan berjalan pergi.
Suasana kantin siang itu ramai setelah pelajaran olahraga berakhir. Alesya berjalan bersama Tania, Dela, dan Ayu, mengenakan seragam olahraga yang sudah setengah kering. Rambutnya masih dicepol rapi, dan wajahnya tampak segar meski baru saja beraktivitas fisik.
"Alesya, kamu hebat banget tadi pas lari! Nggak kelihatan ngos-ngosan sama sekali!" puji Ayu sambil menepuk bahu Alesya.
"Dan pas voli... Wah, liukan kamu tuh kayak atlet beneran!" timpal Dela dengan kagum.
Alesya tertawa kecil, menanggapi pujian-pujian itu dengan senyuman. “Halah, kalian lebay banget. Aku cuma ikut gerak aja kok. Lumayanlah buat keringetan.”
Mereka pun mengambil nampan dan mulai mengantri makanan. Alesya memilih menu sederhana—nasi, ayam goreng, sambal, dan tumis sayuran. Ia juga mengambil satu botol air mineral dingin. Tak lupa ia mengambil kerupuk udang.
Setelah itu mereka duduk di sudut kantin, tempat favorit yang agak dekat jendela. Obrolan pun mengalir ringan—tentang pelajaran, guru olahraga yang galak, hingga rencana weekend nanti.
Namun dari kejauhan, sekelompok cewek memperhatikan mereka. Terutama memperhatikan Alesya.
“Alesya, alesya, alesya... semua orang ngomongin dia,” gumam seorang siswi dengan nada sinis. Rambutnya panjang, ikatannya rapi, dan tatapannya tajam. Namanya Gracia, salah satu siswi yang biasa disebut ‘penguasa’ di sekolah itu.
“Dia baru pindah, udah jadi pusat perhatian. Sok cantik, sok kalem, sok imut,” tambah temannya, Mira, melipat tangan di dada.
“Liat deh, cowok-cowok ngelirik terus. Termasuk si Rayan. Tuh! Liat tuh!” ujar Cindy, menunjuk ke arah meja pojok di sisi lain kantin.
Dan benar saja…
Rayan, ketua geng motor yang terkenal dengan sikap dinginnya, duduk tidak jauh dari mereka. Satu tangan memegang botol air mineral, satu lagi menopang dagunya di atas meja. Pandangannya lurus—tepat mengarah ke Alesya yang tengah bercanda kecil sambil menyuapkan potongan ayam ke mulutnya.
Matanya nyaris tak berkedip.
Tak ada ekspresi di wajahnya, namun tatapannya dalam, nyaris seperti menelanjangi detail demi detail gerakan Alesya.
Gracia mendecak kesal.
“Dia pikir siapa sih? Cewek kaya mana pun gak akan bisa gantiin pesona aku di sekolah ini.”
Cindy mendekatkan wajahnya, lalu berbisik, “Hati-hati, Grac. Kalau Rayan udah tertarik, susah buat diganggu. Cowok itu kalau udah penasaran, bisa bahaya.”
Gracia menyipitkan mata, menatap Alesya seolah menyiapkan rencana. “Kita lihat aja, sampai kapan dia bisa bertahan di sekolah ini. Anak sok sederhana itu bakal aku bikin tahu tempatnya.”
---
Sementara itu, Alesya yang tidak tahu apa-apa hanya tertawa kecil menanggapi candaan Tania.
“Eh, Les, kamu tahu nggak? Si Rayan tuh biasanya nggak pernah melirik cewek manapun di sekolah ini. Tapi dari tadi… dia kayaknya ngikutin kamu terus,” kata Ayu sambil menoleh ke arah tempat duduk Rayan.
Alesya hanya melirik sekilas. Ia pura-pura cuek, padahal di dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran. Tapi ia menahan diri, tidak ingin terjebak dalam dinamika cinta SMA terlalu cepat.
“Biarin aja. Mungkin dia cuma iseng ngelihatin anak baru,” jawab Alesya dengan tenang sambil menyeruput air mineralnya.
Tapi dalam hatinya
Apa dia tahu siapa aku sebenarnya? Atau cuma karena aku beda dari yang lain?