12

Tatapan Dingin Sang Gadis Baru

Toilet perempuan di lantai dua sekolah itu biasanya sepi saat jam pelajaran berlangsung. Alesya yang merasa sedikit pusing karena terlalu lama di ruang kelas, memutuskan keluar sebentar dan pergi sendirian ke toilet untuk mencuci muka.

Langkahnya ringan, dengan rambut masih dicepol rapi dan seragam yang tetap bersih. Namun saat hendak kembali ke kelas, langkahnya terhenti.

Di ujung lorong, tiga siswi berdiri membentuk formasi menghalangi jalan. Gracia di tengah, Mira di kanan, dan Cindy di kiri. Ketiganya populer, dikenal sebagai "Trio Sosialita Sekolah" cantik, kaya, dan terkenal, tapi juga kejam kepada siapa pun yang dianggap saingan.

Alesya mendongak, menatap ketiganya. Ia mengerti arah situasi ini.

“Baru pindah udah berani nyuri perhatian semua orang ya?” sindir Gracia, menatap dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Apalagi si Rayan, yang biasanya cuek ke semua cewek, sekarang matanya nempel terus ke kamu,” sambung Cindy, menyilangkan tangan.

“Kamu pikir kamu siapa?” tanya Mira sambil mendekat.

Alesya tetap diam. Ia berdiri tegak, menyandarkan tubuh ke dinding tanpa satu pun rasa gentar. Pandangannya tenang, tapi tajam. Dingin, menusuk.

“Aku gak nyari perhatian siapa-siapa,” jawab Alesya pelan tapi jelas. “Kalau kalian takut kehilangan sorotan, itu urusan kalian. Bukan salahku.”

Gracia melangkah maju, mencoba menekan emosi Alesya. “Kamu belum tahu posisi kamu di sini. Jangan terlalu tinggi hati cuma karena wajah kamu lumayan.”

Alesya tersenyum kecil. Tapi bukan senyum manis seperti biasanya. Kali ini senyum itu penuh arti tenang, namun mencibir.

“Aku tahu posisi aku. Justru karena itu, aku gak pernah takut sama orang yang cuma berani main keroyokan kayak kalian.”

Tatapannya mengunci mata Gracia. Dingin. Tegas. Mencekam.

Ketiganya sempat terpaku. Tidak menyangka gadis baru yang kelihatan lembut itu bisa memiliki aura setegas ini. Bahkan Gracia tak bisa berkata apa-apa untuk beberapa detik.

Tanpa melanjutkan perdebatan, Alesya berjalan maju menembus celah di antara mereka, menyenggol bahu Gracia dengan ringan, lalu melangkah tenang seperti tak terjadi apa-apa.

Cindy melongo. “Gila itu tatapannya barusan serem banget.”

Gracia menggertakkan gigi, merasa dipermalukan. “Dia akan tahu siapa yang dia hadapi.”

Namun tanpa sepengetahuan mereka, di ujung lorong dari balik dinding tangga, Rayan berdiri membeku. Ia melihat semua kejadian tadi dengan jelas. Ia menyaksikan cara Alesya berdiri melawan, tidak dengan amarah, tapi dengan wibawa yang tak biasa.

Wajah Rayan masih datar, tapi dalam hatinya bergemuruh.

Cewek ini bukan biasa.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik, tak ingin Alesya tahu bahwa ia sudah melihat semuanya.

Tapi satu hal pasti. Alesya kini resmi menarik perhatiannya, bukan sekadar karena cantik Tapi karena auranya.

Dingin, tapi memikat.

Alesya melangkah masuk ke kelas dengan langkah mantap, namun sikapnya berubah dari biasanya. Wajahnya datar, matanya tak menunjukkan emosi apa pun, dan tubuhnya tegak seolah tak ingin disentuh siapa pun.

Suasana kelas yang awalnya santai langsung berubah sunyi. Beberapa teman sekelas sempat hendak menyapa, tapi mengurungkan niat ketika melihat ekspresi Alesya yang begitu dingin. Bahkan guru yang tengah duduk di meja pun meliriknya sejenak sebelum kembali memerhatikan catatannya.

Tania, Ayu, dan Della yang duduk di baris tengah saling melirik. Mereka baru saja selesai berbicara tentang tugas kelompok, namun langsung menghentikan pembicaraan saat melihat Alesya mendekat.

“Ada apa sama Alesya?” bisik Ayu pelan.

“Dia nggak seperti biasanya ya?” sambung Della sambil menatap Alesya yang duduk dengan tenang di kursinya, tanpa sepatah kata pun.

Tania menatap lama sahabat barunya itu. “Auranya beda banget. Kayak dingin.”

Alesya membuka bukunya pelan. Ia tampak sibuk mencatat sesuatu, padahal tak satu pun materi sedang diberikan. Ia sekadar ingin terlihat tak peduli. Pikirannya masih tertinggal di lorong toilet tadi. Ia tahu, konfrontasi itu belum berakhir.

Namun ia juga tahu dia tidak akan goyah. Tidak sekarang. Tidak untuk orang-orang seperti mereka.

Dari luar kelas, Rayan berdiri bersandar di pintu sambil pura-pura melihat ke arah papan pengumuman. Tapi sesungguhnya, matanya tak lepas dari sosok Alesya di dalam kelas.

Ia melihat semuanya bagaimana gadis itu tetap tenang meski dilukai dengan kata-kata, bagaimana ia menatap lawannya dengan dingin namun mengintimidasi.

Rayan menarik napas, lalu melangkah pelan menjauh. Namun senyumnya tipis muncul di sudut bibirnya.

Gadis itu makin menarik.

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya kegiatan belajar hari itu. Alesya segera merapikan bukunya, lalu tanpa basa-basi, langsung memakai cardigan abu-abu yang selalu ia bawa. Suaranya tak terdengar, langkahnya cepat, seperti ingin segera keluar dari sana.

Beberapa teman sempat memperhatikan, termasuk Tania, Ayu, dan Della, tapi mereka hanya saling pandang tanpa berani bertanya. Aura dingin Alesya belum sepenuhnya hilang sejak pagi.

Alesya berjalan menuju parkiran motor, lalu segera menyalakan motornya dan melaju meninggalkan sekolah. Tapi kali ini, bukan ke kos. Melainkan ke tempat yang selama ini dia tinggalkan: rumahnya yang sebenarnya, sebuah mansion megah di kawasan elit kota.

Begitu sampai di depan gerbang, petugas keamanan langsung membukakan pintu tanpa bertanya. Mereka mengenali siapa Alesya.

Saat motor matic-nya berhenti di pelataran mansion, pintu utama terbuka lebar. Sosok Mama berdiri di sana dengan gaun anggun berwarna biru pastel. Begitu melihat putrinya turun dari motor, ia langsung berlari kecil dan memeluknya erat.

“Aduh, anak mama pulang! Mama kangen banget,” ucapnya penuh haru, menciumi pipi Alesya berkali-kali.

Alesya tersenyum kecil, membalas pelukan ibunya.

“Aku juga kangen mama... Cuma mau mampir sebentar, ya?”

“Nggak apa-apa sayang. Masuk dulu, mama udah siapin makanan kesukaan kamu.”

Alesya masuk ke dalam mansion yang begitu mewah. Semua tetap rapi dan elegan, seolah waktu tidak pernah bergerak di sana.

Namun, Alesya tidak tinggal lama. Setelah makan ringan, ia segera naik ke kamarnya. Di sana, dia membuka lemari besar dan memilih setelan lain celana panjang hitam, jaket kulit hitam, dan sepatu boots. Tak lupa, dia mengambil helm full face berwarna gelap dari rak helm.

Ia turun kembali dan keluar dari mansion, bukan dengan motor matic, melainkan dengan motor sport mewah berwarna hitam merah, salah satu koleksinya yang biasa ia simpan di garasi belakang.

Suara deru mesin menggelegar saat ia keluar dari area mansion. Penampilannya kali ini benar-benar berbeda lebih tegas, elegan, dan sedikit misterius. Alesya menuju sebuah café bergaya vintage di pusat kota, tempat favoritnya untuk menenangkan diri.

---

Di kejauhan, Rayan berdiri di balik pepohonan, menggunakan jaket dan helm setengah wajah. Ia mengamati dengan seksama.

Matanya membulat sedikit saat melihat Alesya keluar dari garasi bukan dengan motor biasa, melainkan dengan motor sport mahal yang bahkan tidak semua orang bisa miliki.

“Jadi ini cewek siapa sebenarnya?” gumamnya pelan, sambil menatap bayangan Alesya yang semakin menjauh.

Dugaannya benar. Dari awal, Alesya memang bukan gadis biasa. Dan sekarang rasa penasarannya semakin besar.

Suara mesin motor sport berhenti di pelataran sebuah café bergaya vintage, tak jauh dari pusat kota. Alesya turun dari motornya dengan elegan, melepaskan helm full face-nya dan menyampirkannya di lengan. Angin sore menerpa rambutnya yang setengah terurai, menciptakan kesan anggun sekaligus kuat dalam satu waktu.

Tanpa menyadari, Rayan diam-diam mengikuti dari kejauhan, mengenakan jaket gelap dan masker tipis. Ia memarkir motornya beberapa meter di belakang Alesya dan masuk ke café dengan tenang, memilih tempat duduk di sudut ruangan, di balik pilar yang sedikit tersembunyi—cukup strategis untuk mendengar tanpa terlihat.

Saat Alesya masuk ke dalam café, dua sosok perempuan langsung berdiri dari meja pojok dan berlari kecil menyambutnya.

“LESYAAAAA!”

“GILA GUE KANGEN BANGET SAMA LOE!”

“Sini sini sini, peluk dulu!”

Mereka adalah Fellice dan Carissa, sahabat Alesya dari sekolah elit sebelumnya. Penampilan mereka fashionable dan modis, sangat mencerminkan lingkungan pergaulan elit Alesya yang dulu.

Alesya tersenyum lebar, memeluk keduanya dengan erat. Suara tawa dan obrolan riuh mereka memenuhi sebagian café.

“Kalian gila ya, bikin malu aja teriak-teriak,” ucap Alesya sambil tertawa kecil.

“Serius, gue kangen banget! Loe ngilang gitu aja. Dan sekarang, lo nongol di sini, lengkap dengan motor sport. Gila, Lesya…”

Alesya duduk dan memesan minuman dingin favoritnya. Mereka lalu mulai berbincang santai.

“Jadi gimana sekolah baru lo?” tanya Carissa penasaran.

Alesya menarik napas pelan. Wajahnya sedikit serius.

“Ada kejadian tadi di sekolah. Gue sempat dihadepin tiga cewek populer gitu di koridor, yang ngerasa terganggu karena katanya gue sok cantik dan sok imut.”

“Apa?!” sahut Fellice dengan ekspresi tak terima.

“Mereka pikir mereka siapa sih?” tambah Carissa ketus.

Alesya tersenyum tipis. “Gue santaiin aja, tapi gue kasih tatapan tajam. Mereka langsung mundur. Gue tinggal pergi.”

“Cewek kayak gitu harusnya dikasih pelajaran,” kata Carissa gemas.

“Tapi, kalian tahu nggak? Semua itu karena satu cowok yang katanya ketua geng motor di sekolah. Namanya Rayan. Dia tuh kayak sering banget merhatiin gue.”

Fellice dan Carissa saling pandang, lalu tertawa geli.

“Lesya, please deh,” ujar Fellice sambil memutar mata.

“Waktu lo sekolah di tempat kita dulu aja, semua cowok-cowok keren, bahkan ketua geng motor dari sekolah lain, pada demen sama lo.”

“Iya, tapi lo-nya aja yang cuek bebek dan nggak sadar!” tambah Carissa.

Alesya tertawa pelan. “Gue nggak peduli sama yang kayak begitu. Tapi sekarang jadi bikin heboh. Bikin gue disorot terus.”

“Yah, lo nggak bisa nutupin aura lo, Les. Walau lo pakai baju sederhana pun, tetap kelihatan beda.”

Tanpa mereka sadari, pembicaraan itu terdengar jelas oleh Rayan dari balik pilar. Ia diam, menatap gelas kopinya, berusaha mencerna semuanya.

“Sekolah elit sahabatnya model begitu motor sport…”

Rayan perlahan menyatukan potongan-potongan teka-teki yang selama ini membingungkannya.

“Jadi dia bukan gadis biasa.”

Matanya mengamati Alesya yang sedang tertawa bersama dua sahabatnya. Aura Alesya terasa sangat berbeda di tempat ini lebih hidup, lebih percaya diri, lebih dirinya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya, Rayan merasa asing dan penasaran dalam satu waktu. Gadis yang ia kira hanya anak baru dari desa, ternyata adalah seseorang yang telah menyembunyikan dunia lain dalam dirinya.