13 Kembali Terlihat

Suasana café sore itu hangat dan penuh tawa. Alesya terlihat sangat nyaman duduk bersama Fellice dan Carissa, membicarakan banyak hal dari masa lalu hingga kejadian konyol di sekolah barunya. Tawa mereka lepas, penuh keakraban dan kerinduan.

“Gue serius loh, Les. Lo harus ceritain lebih banyak tentang sekolah baru lo. Siapa tahu, bisa jadi cerita viral!”

Fellice terkekeh sambil menyeruput minumannya.

“Iya, terus cowok yang lo bilang tadi tuh, Rayan ya?”

Carissa ikut menyenggol lengan Alesya sambil nyengir nakal.

Alesya hanya menggeleng dan tertawa kecil.

Namun tiba-tiba suara deru mesin motor sport memenuhi halaman depan café. Beberapa pengunjung langsung menoleh ke arah luar. Sekitar empat motor sport parkir dengan elegan, mencolok dan menebarkan aura berkelas. Dari salah satu motor, turunlah seorang pria dengan jaket kulit, rambut klimis rapi, dan tatapan percaya diri.

“Lesya!” panggil pria itu sambil berjalan santai ke arah meja Alesya.

Fellice dan Carissa langsung saling pandang. Alesya pun menoleh, matanya melebar sedikit namun tetap santai.

“Halo, Kevin.”

Suara Alesya datar, tapi tidak kaku.

Pria itu Kevin, Ketua Geng Motor dari sekolah elit sebelumnya tersenyum lebar. Dia langsung duduk di samping Alesya, membuat beberapa pengunjung café memerhatikan. Terutama satu orang: Rayan, yang masih duduk di balik pilar.

“Kamu ke mana aja, Les? Gue kira kamu pindah ke luar negeri. Tiba-tiba ngilang, eh sekarang nongol di café kecil kayak gini.”

Alesya mengangkat bahu, senyumnya tenang.

“Aku cuma lagi cari suasana baru aja. Di rumah udah terlalu monoton. Mau makan apa aja selalu diatur. Mau keluar harus laporan. Bikin sesak.”

Kevin tertawa pelan. “Kamu tetap aja ya. Nggak berubah. Gaya kamu tetep dingin, tapi selalu punya alasan kuat.”

Fellice menyela, “Kevin, Lesya sekarang lagi betah di sekolah barunya. Jangan ganggu ya.”

Kevin hanya mengangkat tangan tanda menyerah. “Tenang aja, gue cuma kangen ngobrol.”

Sementara itu, dari kejauhan, Rayan menyaksikan semuanya dalam diam. Matanya tak lepas dari Kevin yang duduk begitu dekat dengan Alesya. Hatinya terasa sedikit aneh entah itu cemburu, atau sekadar rasa terganggu. Tapi yang jelas, ada sesuatu yang membuat dadanya tidak nyaman.

Jadi ini lingkaran asli dia Cowok-cowok kaya, teman-teman elite, gaya hidup mewah.

Dengan cepat, Rayan berdiri. Ia meraih dompetnya, membayar pesanannya, lalu segera keluar dari café tanpa menoleh ke belakang. Langkahnya panjang, tegas, tapi dalam pikirannya ada satu bayangan yang terus bermain bayangan wajah Alesya.

Sorotan lampu café yang mulai redup menambah suasana hangat di dalam ruangan. Tawa Fellice dan Carissa masih mengiringi percakapan mereka, sementara Kevin asyik menanyakan banyak hal pada Alesya, mulai dari alasan pindah sekolah hingga kesannya tinggal di tempat baru.

Namun, di tengah obrolan santai itu mata Alesya secara tidak sadar menangkap siluet seseorang di luar kaca café.

Langkahnya cepat. Tegas. Tegang.

Siluet itu milik Rayan.

Seketika, mata Alesya terpaku. Ia tahu itu dia. Postur tubuhnya yang khas, helm yang disampirkan di lengan, dan gaya berjalan yang tak asing.

Dia ada di sini? Sejak kapan dia datang?

Alesya menoleh pelan ke arah pintu keluar café, namun sosok itu sudah tak tampak. Yang tersisa hanya suara motor yang melaju cepat menjauh.

Seketika, hatinya seperti tertarik pelan. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang muncul dalam dirinya. Seperti ada sesuatu yang ingin ia jelaskan tapi telat.

Sementara itu, di jalanan sepi tak jauh dari café, Rayan memacu motornya tanpa arah jelas. Pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya kacau. Perasaannya seperti baru saja dibenturkan dengan kenyataan yang selama ini ia abaikan.

Ternyata dia bukan cewek biasa. Bukan dari sini. Bukan dari dunia gue.

Sampai di sebuah rumah sederhana rumah neneknya, Rayan langsung memarkir motor, membuka helmnya, dan masuk ke dalam tanpa berkata apa-apa. Neneknya yang sedang menonton TV hanya menoleh sekilas.

“Rayan, kamu makan malam dulu?”

“Nggak, Nek. Aku capek. Mau istirahat dulu.”

Suaranya lirih, lalu langsung masuk ke kamarnya.

Di dalam kamar, Rayan membuka jendela lebar-lebar. Angin malam menerpa wajahnya, tapi tetap tak bisa menenangkan pikirannya.

Ia bersandar di kusen jendela, menatap langit gelap yang berhiaskan bintang.

Kenapa harus merasa begini? Padahal kita cuma murid baru di sekolah yang sama. Tapi kenapa rasanya kayak kehilangan sesuatu yang penting?

Tanpa ia sadari, satu embusan napas panjang keluar dari mulutnya. Dalam diamnya malam, hanya satu nama yang masih berputar di pikirannya.

Alesya.

Setelah beberapa lama berbincang dan bercanda bersama Fellice, Carissa, dan Kevin, Alesya melirik jam tangan mungil di pergelangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam.

Ia tersenyum tipis, lalu mengambil napas sebelum akhirnya berkata,

“Aku harus pulang, nih. Mama pasti khawatir kalau aku kelamaan di luar.”

Fellice langsung mengerucutkan bibir.

“Ih, baru juga ketemu, Lesya. Tapi yaudah deh. Kapan-kapan kita ketemuan lagi ya?”

“Pasti. Aku yang atur waktunya nanti,” ujar Alesya sambil berdiri dan memeluk satu per satu sahabat lamanya.

Kevin ikut berdiri dan menawarkan,

“Mau kuantar?”

Alesya menggeleng halus.

“Nggak usah, Kev. Aku bawa motor sendiri. Tapi makasih ya.”

Kevin hanya bisa tersenyum, meski ada sedikit raut kecewa yang sulit ditutupi di wajahnya.

Alesya lalu berjalan santai ke arah parkiran. Suara langkah kaki beradu dengan permukaan lantai paving yang mulai terasa dingin. Dari kejauhan, motornya motor sport hitam mengkilat berdiri gagah di bawah lampu taman café.

Ia mengenakan helm full-face, memutar kunci kontak, dan menghidupkan mesin. Suara mesin meraung halus, menandakan kekuatannya yang tak main-main.

Tanpa menoleh lagi, Alesya langsung melesat keluar dari area café, meninggalkan malam yang mulai larut dan perasaan tak menentu yang tertinggal di dalam hatinya.

---

Perjalanan pulang menuju mansion cukup tenang. Lampu-lampu jalan berpendar lembut, sesekali cahaya mobil menyilaukan dari arah berlawanan. Di tengah perjalanan, Alesya membuka sedikit visor helmnya, membiarkan angin menyentuh wajahnya.

Apa Rayan benar-benar ada tadi? Atau cuma perasaanku aja? Tapi kenapa rasanya dia pergi terburu-buru?

Sesampainya di depan mansion, gerbang otomatis terbuka perlahan. Alesya memasukkan motornya ke garasi kecil yang ada di samping rumah, mematikan mesin, lalu membuka helmnya. Rambut panjangnya jatuh terurai.

Begitu masuk ke dalam rumah, lampu teras sudah menyala. Suasana hangat menyambutnya. Dari ruang tamu, Mama Alesya sudah berdiri, memandang ke arah pintu masuk dengan ekspresi lega.

“Kamu nggak makan malam di luar, kan? Mama udah siapin makanan kesukaanmu.”

Alesya tersenyum lelah.

“Aku makan sedikit di café, Ma. Tapi boleh deh nanti nyicip buatan Mama.”

Sambil berjalan menuju kamarnya di lantai atas, Alesya sempat menoleh ke arah jendela kaca besar yang menghadap ke taman belakang. Malam tampak begitu tenang, tapi pikirannya justru tidak.

Kenapa wajah Rayan terus terbayang di kepala, ya?

Langit malam mulai gelap sempurna ketika Alesya selesai membersihkan diri. Ia mengenakan piyama satin biru muda yang nyaman, rambutnya digerai seadanya. Rasa lelah setelah seharian beraktivitas membuat tubuhnya terasa berat.

Ia menatap pantulan wajahnya di cermin sebentar, lalu tersenyum kecil.

"Hari ini cukup panjang," gumamnya, lalu mematikan lampu kamarnya dan merebahkan diri di atas kasur empuk.

Tanpa butuh waktu lama, Alesya terlelap, meninggalkan semua keributan di sekolah, tatapan Rayan, dan pertemuan dengan sahabat-sahabat lamanya.

---

Di waktu yang sama, Rayan duduk di balkon rumah neneknya. Satu tangan menopang dagunya, dan pandangannya kosong menatap langit malam yang bertabur bintang. Tapi yang memenuhi pikirannya bukan langit atau bintang, melainkan… Alesya.

“Dia bukan cewek biasa…”

Pikirannya kembali ke momen sore tadi. Saat ia secara diam-diam mengikuti Alesya pulang. Awalnya ia hanya ingin memastikan perasaannya penasaran atau hanya kagum sesaat. Tapi ternyata, Alesya tidak pulang ke kosan seperti biasanya.

Rayan menyalakan kembali ingatannya.

Gadis itu mengendarai motor sport mewah.

Memasuki mansion megah dengan gerbang otomatis. Disambut hangat oleh seorang wanita elegan ibunya, mungkin.

Dan tak lama kemudian, Alesya keluar lagi dengan jaket kulit, mengenakan helm full-face dan pergi ke café.

Di situlah Rayan mengikutinya berdiri jauh di belakang dan mendengar semua percakapan antara Alesya dan dua temannya.

“Gara-gara cowok ketua geng motor penasaran sama aku dan sering merhatiin aku…”

“Dulu saat sekolah elit, banyak ketua geng yang suka sama kamu, tapi kamu nggak sadar…”

“Aku cuma ingin suasana baru. Di rumah monoton. Makan pun dibatasi…”

Rayan menggenggam ujung balkon. Bibirnya tertarik tipis. Bukan senyum senang, tapi lebih ke kekagetan yang sulit dijelaskan.

“Jadi dia memang sengaja menyamar?”

Sekarang semuanya perlahan mulai masuk akal. Cara Alesya berbicara, caranya bersikap, bahkan pilihan gaya dan keanggunannya saat makan mie ayam untuk pertama kali semuanya bukan milik anak kampung biasa.

“Kenapa kamu sembunyi, Lesya?”

“Apa yang sebenarnya kamu cari di sini?”

Rayan menghela napas panjang. Ia tidak tahu pasti sejak kapan pikirannya terus dipenuhi gadis itu. Tapi yang jelas, sejak pertemuan pertama, pandangannya tak pernah bisa benar-benar lepas dari Alesya.

Diam-diam, Alesya telah menyita hatinya.

Dan kini, misteri di balik kehidupan Alesya justru membuatnya makin ingin tahu lebih banyak. Makin ingin dekat.