14 Aroma Pagi dan Senyum Lembut

Matahari pagi mulai menembus tirai jendela kamar Alesya. Suara burung berkicau menyambut hari baru, dan Alesya pun perlahan membuka matanya. Ia mengusap wajahnya perlahan sebelum bangun dari tempat tidur.

Setelah mandi dan bersiap, Alesya mengenakan seragam sekolahnya yang rapi. Rambutnya dicepol santai, wajahnya bersih dan segar setelah memakai skincare seperti biasa. Sebelum turun, ia berdiri di depan lemari kecil di sudut kamarnya.

Tangannya mengambil sebotol kecil minyak wangi berwarna bening aroma khas yang tidak terlalu mencolok, namun segar dan tahan lama. Ia menyemprotkannya ke seragamnya perlahan.

"Ini parfum kesukaan aku," bisiknya kecil, sambil tersenyum tipis.

Lalu, ia membuka lemari pakaian dan mengambil jaket simpel berwarna abu-abu muda, memakainya sebelum keluar kamar.

Begitu turun ke ruang makan, ia disambut suasana hangat keluarganya.

Mama Alesya sedang menuangkan susu ke gelas, Papa-nya membuka koran pagi, dan kakaknya Arvino, sedang menyeruput kopi sambil mengecek ponsel.

“Alesya, pagi sayang,” sapa mamanya lembut.

“Pagi, Ma, Pa, Kak Vin,” balas Alesya sambil duduk dan mulai menyantap roti bakar yang telah disiapkan.

"Minum susunya, jangan lupa," kata Mama sambil tersenyum bangga melihat anak perempuannya yang kini semakin mandiri.

"Masih ada uang jajan, Sayang?" tanya Papanya.

Alesya mengangguk pelan sambil mengunyah roti, "Masih, Pa. Tenang aja. Uang Lesya belum kepake semua. Aku juga makan di kantin, murah kok."

Arvino mengangguk pelan tanpa berkata banyak, namun sorot matanya memperhatikan adiknya dengan rasa protektif yang tak pernah hilang.

Setelah selesai sarapan, Alesya berdiri sambil merapikan jaketnya. Ia mengambil tas ransel kecilnya, lalu berpamitan.

“Aku berangkat dulu ya,” ucapnya sambil tersenyum.

“Hati-hati, Sayang,” sahut Mama dan Papa serempak.

Alesya melangkah keluar mansion dengan ringan. Di halaman depan, motor matic kesayangannya sudah siap. Bukan motor sport kali ini Alesya memilih tampil sederhana hari ini.

Ia mengenakan helm dan menghidupkan motor, lalu melaju meninggalkan rumah mewahnya.

Ke arah sekolah yang telah mulai membawa banyak cerita baru, rasa penasaran, dan... seseorang yang diam-diam menyimpan pandangan tak terucapkan padanya.

---

Pagi yang cerah. Embun masih menempel tipis di dedaunan saat Alesya mengarahkan motornya langsung ke sekolah. Hari ini, dia sengaja tidak mampir ke kos. Semalam sudah cukup baginya untuk beristirahat di mansion bersama keluarganya.

Motor matic kesayangannya melaju mulus di jalanan. Tak butuh waktu lama, gerbang sekolah mulai terlihat. Suasana pagi masih tenang, hanya beberapa siswa yang sudah tiba dan berseliweran di lapangan.

Alesya memasuki area parkiran siswa dengan santai. Ia memilih tempat yang sedikit di ujung, agar tidak terlalu mencolok. Tapi sepertinya harapan untuk tidak menarik perhatian terlalu muluk.

Di sisi kiri parkiran, terjejer rapi beberapa motor sport keren dan gagah. Di antara barisan itu, ada satu motor yang sudah sangat familiar motor milik Rayan, ketua geng motor yang mulai membuat hari-harinya terasa aneh.

Alesya turun dari motor, melepaskan helmnya dan menggantungkan di spion. Jaketnya masih terpakai rapi, rambutnya tetap dicepol dengan sederhana.

Tanpa melihat sekeliling, Alesya langsung berjalan meninggalkan parkiran. Langkahnya ringan tapi tegas.

Namun yang tidak ia tahu, dari arah bayangan motor-motor itu, sepasang mata memperhatikannya lagi.

Rayan berdiri bersandar di motornya, tangan di saku celana, wajah dingin seperti biasa. Tapi matanya tak bisa menahan untuk tidak terus mengikuti sosok Alesya.

Dia bukan anak desa biasa, batin Rayan sambil menyipitkan mata. Dari cara jalan, cara pakai helm, sampai wangi parfum yang sempat tercium saat dia lewat bukan tipikal cewek biasa.

Tiba-tiba teman satu geng-nya muncul dan menepuk bahunya.

"Bro, lo ngelamun lagi? Gara-gara anak baru itu ya?" ejeknya pelan sambil tertawa.

Rayan tidak menjawab. Ia hanya menghela napas perlahan.

Tatapannya belum lepas dari punggung Alesya yang mulai menjauh menuju gedung sekolah.

---

Langkah Alesya perlahan memasuki ruang kelas. Rambutnya masih dicepol rapi, jaket masih menempel di tubuh mungilnya. Wajahnya datar, tenang, bahkan terkesan tidak menyimpan beban apa pun. Tidak ada raut tajam seperti kemarin. Tidak ada aura dingin yang membuat suasana kelas sempat membeku.

Tania, Della, dan Ayu yang sudah duduk di bangku masing-masing saling melirik.

“Aneh, hari ini wajahnya balik kayak kemarin-kemarin,” bisik Della.

“Iya, kemarin itu… tatapannya kayak mau nelen orang,” sahut Ayu pelan.

Tania tersenyum tipis. “Mungkin dia udah lega. Entah karena apa.”

Alesya berjalan pelan ke bangkunya. Ia meletakkan tas dengan tenang, membuka resleting jaket lalu melipatnya rapi dan menyelipkan ke dalam tas. Setelah itu ia duduk, merapikan seragamnya, lalu membuka buku catatan dengan tenang.

Tidak ada kata yang ia ucapkan. Tapi senyum tipis sempat terlukis saat Della menyapa ringan.

“Hei, Lesya. Udah mendingan, ya?” kata Della, setengah ragu.

Alesya mengangguk pelan. “Iya. Cuma capek kemarin.”

Rayan yang duduk tak jauh dari situ masih memperhatikan. Matanya menyipit menatap ekspresi Alesya yang berbeda. Bukan dingin, bukan galak, bukan penuh pertahanan. Tapi biasa saja. Netral. Seperti hari pertama ia datang.

Namun justru itulah yang membuat Rayan makin bingung.

Cewek ini pandai menyembunyikan perasaannya.

Di dalam hati Alesya, sebenarnya masih ada sedikit sisa emosi dari kemarin. Tapi hari ini, ia memilih untuk mengunci semuanya rapat-rapat. Tak perlu memperlihatkan kelemahan atau reaksi. Hidupnya terlalu berharga untuk dibuang hanya karena tatapan sinis beberapa orang yang tidak mengenalnya.

Pelajaran pun segera dimulai. Dan hari itu, Alesya kembali menjadi siswi biasa yang diam-diam masih menjadi pusat perhatian Rayan.

---

Jam istirahat baru saja dimulai. Suara langkah kaki mulai terdengar memenuhi lorong sekolah. Siswa-siswi berseliweran, sebagian langsung menuju kantin, sebagian ke taman, sebagian lagi ke toilet. Namun mata Alesya justru menangkap satu sosok yang menyelinap ke arah tangga menuju rooftop.

Rayyan.

Ia berjalan sendiri, tangan di saku, tubuh sedikit membungkuk seperti sedang banyak pikiran.

Tanpa pikir panjang, Alesya mengikuti. Langkahnya ringan, tak menarik perhatian. Hingga akhirnya, ia juga mencapai rooftop. Pintu logam itu dibukanya perlahan, dan saat ia sudah masuk sepenuhnya

"Klik!"

Pintu ditutup dan dikunci dari dalam.

Rayyan yang sedang berdiri di tepi pagar besi terkejut saat mendengar suara pintu terkunci. Ia menoleh cepat, dan matanya langsung membentur tatapan tajam Alesya yang melangkah mendekat perlahan tapi pasti.

“Aku tahu kamu memerhatikan aku,” ucap Alesya pelan, namun tegas.

Langkahnya makin mendekat. Angin sepoi rooftop meniup anak rambutnya yang lepas dari cepol. Seragam putihnya tampak kontras dengan jaket krem yang menggantung rapi di bahunya. Aroma parfum khas yang disemprotkannya pagi tadi ikut menguar, mengisi udara sempit di rooftop.

Rayyan diam. Dadanya naik turun tak beraturan. Tangannya masih di saku, tapi pandangannya tak bisa lepas dari Alesya yang kini hanya berjarak setengah lengan darinya.

Alesya mendongak sedikit. Tangannya terulur, menyentuh lembut pipi Rayyan yang hangat.

“Dan aku tahu” bisiknya dekat sekali di telinga pemuda itu, “kalau kamu ngikutin aku pulang kemarin ke mansion, juga ke café. Kamu penasaran, ya?”

Rayyan menahan napas. Aroma parfum dari tubuh Alesya seperti menghipnotis. Lembut, manis, tapi ada sentuhan elegan yang tak biasa.

Ia masih diam.

“Kalau kamu tertarik,” bisik Alesya lagi, “bilang aja jangan cuma lihat diam-diam.”

Rayyan menelan ludah. Tubuhnya tegang. Matanya terkunci pada mata Alesya yang kini berdiri begitu dekat dan begitu percaya diri.

Namun sebelum Rayyan sempat menjawab, Alesya melangkah mundur satu langkah.

“Tapi jangan berharap aku akan selalu mudah ditebak,” katanya dingin, sambil berbalik menuju pintu. “Aku bukan tipe cewek yang bisa kamu pantau dari jauh.”

Dengan satu klik, Alesya membuka pintu rooftop dan meninggalkan Rayyan dalam diam dengan napas yang masih tertahan.