Langkah Rayyan terasa berat saat keluar dari kelas. Ada yang mengganggu pikirannya sejak pagi tadi. Entah mengapa, bayangan Alesya selalu melintas dalam benaknya. Sejak pertama kali melihat gadis itu turun dari motor, melepas helm dengan gerakan tenang, hingga saat makan mie ayam dengan wajah polos yang tampak baru pertama kali mengenal makanan kaki lima.
Semuanya terekam dengan jelas.
Ia tidak bisa membohongi diri sendiri. Alesya memang berbeda. Tapi bukan hanya karena wajahnya yang cantik, atau gayanya yang kalem namun berkelas. Tapi karena… entah apa, Rayyan juga belum tahu pasti.
Ia memutuskan untuk menenangkan diri sebentar. Langkah kakinya membawanya ke rooftop.
Saat ia membuka pintu, ia tak sadar bahwa dua orang anggota geng-nya tengah duduk santai di sudut rooftop, di balik dinding air toren, tempat yang memang tidak terlihat dari pintu masuk.
"Eh, itu ketua..." bisik salah satu dari mereka saat melihat Rayyan masuk.
Namun mereka tetap diam, memilih tidak muncul atau mengganggu. Mereka hanya menonton, penasaran kenapa ketua geng-nya itu tiba-tiba ingin sendirian di rooftop saat jam istirahat.
Rayyan berjalan pelan menuju pagar pembatas rooftop. Angin menyambut wajahnya. Ia menyandarkan tubuh, memejamkan mata sejenak.
Dan saat ia membuka mata…
Suara pintu rooftop tertutup.
Rayyan menoleh cepat. Matanya membulat saat melihat Alesya di sana, menutup pintu dan langsung menguncinya dari dalam.
Langkah Rayyan hampir mundur satu langkah, tapi ia tahan. Dadanya berdebar lebih cepat.
Alesya berjalan perlahan ke arahnya. Dengan gaya tenang, namun penuh intensitas. Matanya menatap tajam. Rambutnya masih dicepol rapi, seragamnya sedikit tertiup angin.
“Aku tahu kamu memerhatikan aku.”
Kalimat itu membuat Rayyan membeku.
Dan ketika Alesya mendekat lebih dekat… menyentuh pipinya… membisikkan kalimat tajam namun lembut… Rayyan hanya bisa diam.
Tubuhnya mematung, napasnya tertahan. Dan ketika Alesya mundur, mengatakan bahwa ia bukan tipe cewek yang mudah ditebak, lalu membuka pintu dan pergi begitu saja—
Rayyan hanya bisa menatap punggung itu menjauh.
Setelah Alesya menghilang di balik pintu, barulah dua anggota geng Rayyan keluar dari persembunyiannya. Mereka saling pandang, menahan tawa.
“Seriusan itu cewek barusan nyentuh lo dan bisikin sesuatu?”
“Wajah lo merah, Ketua…”
Rayyan hanya mendesis pelan.
“Diam.” katanya pendek, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan gejolak perasaannya.
Ia mengacak rambutnya, lalu berbalik meninggalkan rooftop tanpa berkata apa-apa lagi.
Dalam hati, Rayyan tahu satu hal Alesya bukan cewek biasa. Dan dia baru saja mengusik sesuatu yang belum pernah tersentuh dalam diri Rayyan sebelumnya.
---
Rayyan turun dari rooftop dengan langkah cepat. Tapi pikirannya tertinggal di atas, di tempat Alesya menyentuh pipinya dan membisikkan kalimat yang hingga kini masih bergema di telinganya.
"Aku tahu kamu ngikutin aku sampai ke mansion dan cafe… kalau kamu tertarik sama aku, katakan aja."
Deg.
Rayyan masuk ke toilet dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya terlihat berbeda. Sedikit memerah. Bahkan ia bisa merasakan kulit pipinya masih hangat, seolah sentuhan Alesya belum pergi.
“Gila…” gumamnya pelan.
“Cewek itu nggak biasa…”
Biasanya, Rayyan yang mengejar. Banyak cewek yang berharap diliriknya. Tapi ini? Dia yang diperhatikan balik. Dan lebih parahnya lagi, dibaca dengan tepat.
“Dia tahu semua gerak-gerikku,” katanya sambil menatap cermin.
“Bahkan tahu aku ngikutin dia… dari sekolah, ke cafe, ke rumah…”
Ponsel di sakunya bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu anggota geng-nya.
📲 "Ketua, kita nongkrong di warung Mang Asep bawah tangga. Lo ikut ngga?"
Rayyan hanya menatap pesan itu sekilas. Tidak dibalas. Dia keluar dari toilet dan berjalan ke kelas, tapi bukan ke tempat duduk biasanya.
Ia berdiri di depan jendela kelas—menghadap taman, tempat di mana Alesya biasa duduk dengan ketiga temannya.
Dari kejauhan, ia melihat Alesya sedang tertawa pelan sambil minum es teh. Tak ada ekspresi dingin seperti tadi di rooftop.
Dia bisa berubah secepat itu.
"Gila..." Rayyan bergumam lagi.
"Tampang adem. Sifatnya campuran. Bikin penasaran setengah mati."
Lalu, suara salah satu anggota geng-nya terdengar saat masuk kelas, mengejutkan Rayyan yang masih melamun.
“Eh, lo kenapa bengong liatin taman? Jangan bilang lo mulai baper sama anak baru?”
Rayyan hanya melirik sekilas, “Urusin hidup lo.” jawabnya dingin, meski wajahnya menyiratkan kebingungan yang belum selesai.
Dalam hatinya, Rayyan tahu, dia tidak bisa lagi pura-pura. Alesya sudah berhasil masuk ke pikirannya. Dan sekarang, perlahan juga ke dalam hatinya.
Dari tempat duduknya di bawah pohon rindang, Alesya menyandarkan punggungnya santai. Tangannya memainkan sedotan es tehnya, matanya menyipit ketika melihat Rayyan berdiri di balik jendela kelas, menatap ke arah mereka.
Senyumnya terbit pelan.
Lalu… dengan percaya diri, ia mengedipkan sebelah matanya.
“Ck.” Alesya tertawa kecil, lalu dengan santai melirik ke teman-temannya.
“Rayyan lucu juga ya kalau cemberut.”
Tania, Della, dan Ayu serentak menoleh ke arah jendela dan melihat Rayyan buru-buru memalingkan wajah.
“Kamu ngedip ke dia?” bisik Ayu kaget.
Alesya mengangguk santai. “Biar dia tambah penasaran.”
Lalu Alesya tertawa, kali ini lebih keras, tak peduli siapa yang mendengar. Tawa itu memuaskan, seolah ia baru saja memenangkan permainan rahasia.
---
Sudut Pandang Rayyan
Dari balik jendela, Rayyan terpaku.
Alesya mengedip. Kepadanya. Langsung.
Dan dia tersenyum pula.
Lalu… tertawa.
Tertawa puas. Tertawa seolah menertawakannya.
“Sialan,” gumam Rayyan pelan.
Tangannya mengepal di samping tubuh. Hatinya entah kenapa seperti diremas.
Dia, Rayyan, cowok yang biasanya bikin cewek meleleh hanya dengan tatapan,
kali ini malah jadi bahan candaan.
“Gila nih cewek…” ucapnya, setengah kesal, setengah kagum.
“Biasanya cewek yang tergila-gila sama gue. Ini malah kebalik. Gue yang jadi gila.”
Teman sebangkunya yang sedari tadi memperhatikan akhirnya bertanya pelan.
“Ketua… lo kenapa sih akhir-akhir ini kaya orang linglung?”
Rayyan membuang pandangan.
“Enggak usah ikut campur,” jawabnya singkat, namun mukanya masih kesal.
Tapi jauh dalam hati, Rayyan tahu dia sedang kalah.Dan Alesya tahu persis cara memenangkan permainan ini.
Berikut lanjutan Bab 16 Bagian 1 – Saat Bel Masuk Berbunyi:
---
Bel masuk berbunyi nyaring.
Murid-murid bergegas masuk kelas, suasana mulai tertib.
Namun, Alesya melangkah santai, seolah dunia di sekelilingnya tak punya kuasa mengusik ketenangannya.
Langkahnya ringan, bahunya tegak.
Wajahnya? Tetap datar, tanpa ekspresi.
Seolah tak pernah terjadi apa-apa di rooftop tadi.
Ia duduk di bangkunya. Membuka buku pelajaran.
Seolah ia hanya gadis biasa yang datang untuk belajar, bukan gadis yang baru saja mengacak-acak fokus ketua geng terkenal di sekolah.
Beberapa detik kemudian, guru masuk ke dalam kelas. Semua langsung berdiri memberi salam, lalu duduk kembali dan mulai menyalin catatan yang tertulis di papan tulis.
Semua tampak fokus Kecuali satu orang.
Rayyan.
Ia duduk di barisan tengah, sejajar dengan Alesya. Pandangannya tak lepas dari gadis itu.
Matanya tak bergerak, seperti terpaku.
Bukan karena pelajaran. Tapi karena Alesya.
Dan saat Alesya sadar sedang diperhatikan, dengan sangat pelan dan tenang, ia kembali melakukan hal yang membuat Rayyan ingin melempar pulpen ke dinding:
Alesya mengedipkan sebelah matanya. Lagi.
Lalu tersenyum kecil.
Bukan senyum manis. Bukan juga senyum malu-malu. Tapi senyum penuh kemenangan. Senyum yang seperti berkata, "Kamu makin penasaran, kan?"
Rayyan hampir mendesah kesal, namun sebelum reaksinya menjadi dramatis, Alesya berdehem kecil, lalu kembali menatap ke arah papan tulis dengan tenang.
Tangannya mulai menulis, bibirnya menyungging senyum tipis yang hanya dirinya sendiri yang tahu artinya.
Namun dalam hatinya, Alesya ingin tertawa.
Tertawa geli karena berhasil mengaduk emosi Rayyan hanya dengan sedikit tatapan dan seulas senyuman.
Sialan.
Itu kata pertama yang terlintas di kepala Rayyan begitu Alesya lagi-lagi mengedipkan sebelah matanya.
Bukan karena tatapannya.
Bukan karena senyumnya.
Tapi karena dia tahu—
perempuan itu tahu dia sedang diperhatikan.
Dan anehnya lagi Dia menikmati sorot mata Rayyan itu.
Rayyan menggertakkan giginya.
Tangannya mengepal di bawah meja.
Bukan marah.
Tapi kesal.
Kesal karena dirinya yang biasanya cuek terhadap cewek mana pun, sekarang malah digoda diam-diam oleh gadis baru yang katanya cuma gadis sederhana.
“Cuma gadis biasa, apanya?” gerutunya dalam hati.
Gadis biasa mana yang bisa mengacak-acak pikiranku cuma dengan senyum dan tatapan mata?
Rayyan mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Namun otaknya tidak menerima apa pun yang ditulis guru.
Pikirannya masih tertinggal di rooftop tadi.
Masih terngiang suara Alesya membisikkan kata-kata di dekat telinganya.
Masih tercium samar aroma parfum yang entah kenapa melekat di hidungnya sampai sekarang.
"Aku tahu kamu ngikutin aku sampai ke mansion... ke cafe..."
Gila. Itu bukan sekadar kalimat. Itu serangan psikologis.
Apalagi dengan tatapan mata tajam dan sikap tenangnya.
Itu bukan cewek biasa.
Cewek biasa biasanya langsung panik dilirik Rayyan sedikit.
Tapi Alesya?
Dia yang membuat Rayyan jadi salah tingkah.
Di sampingnya, salah satu sahabat Rayyan Rendi menyikut pelan.
“Bro, lo dari tadi bengong. Lo jatuh cinta sama anak baru itu ya?”
Rayyan menoleh cepat, “Enggak.”
Terlalu cepat.
Terlalu defensif.
Rendi menyipitkan mata, senyum mengejek terbit di bibirnya.
“Ah masa? Padahal mata lo dari tadi nempelin dia kayak lem.”
Rayyan mengumpat pelan.
“Gue cuma penasaran aja…”
“Penasaran karena apa? Wangi parfumnya? Senyum jailnya? Atau dia bisa baca pikiran lo?” Rendi cekikikan sendiri, puas menggoda.
Rayyan mendengus dan kembali menatap ke depan. Namun Matanya tetap saja melirik ke arah gadis yang kini tengah menunduk menyalin catatan.
Senyum tipis masih ada di bibir Alesya.
Senyum yang entah kenapa membuat jantung Rayyan berdebar tidak karuan.