Sialan.
Itu kata pertama yang terlintas di kepala Rayyan begitu Alesya lagi-lagi mengedipkan sebelah matanya.
Bukan karena tatapannya. Bukan karena senyumnya. Tapi karena dia tahu—
perempuan itu tahu dia sedang diperhatikan.
Dan anehnya lagi…
Dia menikmati sorot mata Rayyan itu.
Rayyan menggertakkan giginya.
Tangannya mengepal di bawah meja.
Bukan marah.
Tapi kesal.
Kesal karena dirinya yang biasanya cuek terhadap cewek mana pun, sekarang malah digoda diam-diam oleh gadis baru yang katanya cuma gadis sederhana.
“Cuma gadis biasa, apanya?” gerutunya dalam hati.
Gadis biasa mana yang bisa mengacak-acak pikiranku cuma dengan senyum dan tatapan mata?
Rayyan mengalihkan pandangannya ke papan tulis.
Namun otaknya tidak menerima apa pun yang ditulis guru.
Pikirannya masih tertinggal di rooftop tadi.
Masih terngiang suara Alesya membisikkan kata-kata di dekat telinganya.
Masih tercium samar aroma parfum yang entah kenapa melekat di hidungnya sampai sekarang.
"Aku tahu kamu ngikutin aku sampai ke mansion... ke cafe..."
Gila. Itu bukan sekadar kalimat. Itu serangan psikologis.
Apalagi dengan tatapan mata tajam dan sikap tenangnya.
Itu bukan cewek biasa.
Cewek biasa biasanya langsung panik dilirik Rayyan sedikit.
Tapi Alesya?
Dia yang membuat Rayyan jadi salah tingkah.
Di sampingnya, salah satu sahabat Rayyan Rendi menyikut pelan.
“Bro, lo dari tadi bengong. Lo jatuh cinta sama anak baru itu ya?”
Rayyan menoleh cepat, “Enggak.”
Terlalu cepat.
Terlalu defensif.
Rendi menyipitkan mata, senyum mengejek terbit di bibirnya.
“Ah masa? Padahal mata lo dari tadi nempelin dia kayak lem.”
Rayyan mengumpat pelan.
“Gue cuma penasaran aja…”
“Penasaran karena apa? Wangi parfumnya? Senyum jailnya? Atau dia bisa baca pikiran lo?”
Rendi cekikikan sendiri, puas menggoda.
Rayyan mendengus dan kembali menatap ke depan.
Namun Matanya tetap saja melirik ke arah gadis yang kini tengah menunduk menyalin catatan.
Senyum tipis masih ada di bibir Alesya.
Senyum yang entah kenapa membuat jantung Rayyan berdebar tidak karuan.
.Suasana kelas sudah sepi.
Suara langkah kaki dan obrolan ramai di luar sudah menghilang.
Teman-teman yang lain sudah beranjak pulang.
Hanya tersisa dua orang.
Alesya.
Dan Rayyan.
Gadis itu merapikan bukunya dengan tenang, memasukkannya ke dalam tas, lalu berdiri. Namun baru saja ia hendak melangkah keluar dari pintu kelas—
“Alesya.”
Suara berat itu membuat langkahnya terhenti. Dan sebelum sempat menoleh, pergelangan tangannya ditarik. Tubuhnya tertarik mundur.Lalu
Bibir mereka bersentuhan.
Lembut. Tidak terburu-buru. Bukan paksaan. Tapi ada gejolak yang tersampaikan diam-diam.
Mata Alesya membelalak sesaat, tapi ia tidak bergerak menjauh.
Tidak melawan.
Tidak pula menepis.
Karena entah kenapa hatinya tidak menolak.
Hanya diam, menerima rasa asing yang menyelinap perlahan ke dadanya.
Ciuman itu tidak lama. Namun sebelum Alesya sempat berkata apa-apa, Rayyan menggeser wajahnya, mencium pipi Alesya penuh makna lalu mengecup keningnya dengan dalam.
“Mulai sekarang, jangan pernah main-main lagi di depan gue.”
Ucap Rayyan dengan suara pelan tapi terdengar penuh kendali.
Tanpa menunggu balasan, ia berbalik cepat dan melangkah keluar dari kelas.
Langkahnya panjang, mantap, seperti seseorang yang baru saja mengambil keputusan besar dalam hidupnya.
Alesya masih berdiri mematung di tempat.
Ujung jarinya menyentuh bibirnya sendiri.
Ada sesuatu yang berdebar hebat di dadanya.
Dan satu kalimat melintas cepat di pikirannya:
“Rayyan menciumku?”
---
Rayyan menuruni tangga sekolah dengan langkah panjang. Wajahnya datar seperti biasa. Namun, di balik helm yang baru saja ia kenakan, pikirannya masih kacau.
"Gue barusan nyium dia..."
Suara mesin motor sport-nya menggelegar pelan di parkiran. Tangannya meraih gas, memutar pelan, lalu melaju keluar dari gerbang sekolah. Namun, entah kenapa, laju motornya tidak sekencang biasanya. Kepalanya masih dihantui kejadian barusan.
Ciuman. Pipi. Kening.
Aroma parfum Alesya masih menempel di ingatannya. Senyuman geli gadis itu sebelum akhirnya berdehem dan kembali fokus di kelas Semua itu berputar seperti kaset rusak dalam pikirannya.
Sial.
Rayyan menarik napas panjang di balik helmnya.
---
Sementara itu, Alesya melangkah keluar dari kelas. Wajahnya masih terlihat tenang meski dalam hati ada riak kecil yang belum juga mereda.
“Berani banget dia,” batinnya sambil tersenyum kecil.
Dia menuruni tangga dengan pelan, menuju parkiran motor, mengenakan helm matic-nya, lalu melaju pergi ke arah kos.
Tidak kembali ke mansion kali ini benar-benar kembali ke tempat sembunyinya.
---
Namun Tanpa mereka sadari, dari balik koridor lantai dua, sepasang mata memperhatikan dengan seksama.
Adalah Keira. Salah satu dari geng populer yang paling tidak menyukai kehadiran Alesya.
Gadis itu berdiri terpaku setelah melihat Rayyan menarik tangan Alesya, lalu menciumnya tanpa ragu. Lalu meninggalkannya seperti tidak terjadi apa-apa.
Mata Keira menyipit. Mulutnya mengecap kesal.
“Jadi ini alasan Rayyan mulai berubah karenanya?”
Giginya terkatup rapat.
Senyum sinis mulai muncul di bibirnya.
Tangannya merogoh ponsel.
Sebuah foto diam-diam sudah tersimpan.
---
Keira hanya butuh waktu. Dan kesempatan.
Untuk membuat semuanya berantakan.
---
Berikut lanjutan Bab 16 Bagian 5 – Malam yang Tak Tenang:
---
Alesya akhirnya sampai di kos dengan motor matic-nya.
Langit sudah mulai gelap.
Ia memarkir motornya, melepas helm, dan menarik napas panjang.
Sesampainya di dalam kamar, ia langsung meletakkan tas, melepas cardigan, lalu masuk ke kamar mandi.
Air dingin menyentuh kulitnya, menyegarkan sekaligus menenangkan.
Namun…
pikiran Alesya jauh dari kata tenang.
Bayangan Rayyan…
Cara pria itu menarik pergelangan tangannya, lalu…
Ciuman itu.
Mengingatnya saja membuat pipinya merona dalam diam.
Tangannya menyentuh bibir, lalu buru-buru menggeleng pelan.
“Gila… dia nekat banget.”
Usai mandi, ia mengenakan piyama lengan panjang berwarna pastel, lalu membaringkan diri di atas kasur.
Tapi, bukannya langsung tidur…
Matanya justru menatap langit-langit.
Menarik selimut…
Namun pikirannya tetap memutar kejadian tadi.
Senyum kecil terbit di bibirnya.
Lalu pelan-pelan, akhirnya mata Alesya terpejam.
Membiarkan dirinya tertidur—walau hatinya masih berdetak tak menentu.
---
Di sisi lain…
Rayyan sampai di rumah neneknya.
Ia menaruh motor di garasi kecil samping rumah.
Masuk ke dalam tanpa suara.
"Nek, aku pulang," ucapnya singkat.
Dari dapur terdengar suara neneknya, "Makan dulu, Ray."
"Tadi udah makan, Nek," jawabnya cepat, lalu langsung naik ke kamarnya.
Begitu pintu tertutup, Rayyan melemparkan dirinya ke atas ranjang.
Menatap atap, persis seperti yang dilakukan Alesya.
Dan dia pun sama. Pikirannya tidak bisa berhenti memutar momen saat bibir mereka bersentuhan.
“Apa yang barusan gue lakukan…”
Tapi anehnya, dia tidak menyesal.
Tangannya terangkat, menutupi wajah.
Lalu satu gumaman lirih keluar dari bibirnya:
“Gue makin gila karena lo, Lesya.”
-
Berikut lanjutan Bab 16 Bagian 6 – Gumaman Malam Rayyan:
---
Rayyan masih berbaring di atas ranjang, lampu kamar sengaja ia matikan.
Hanya cahaya remang dari lampu tidur menemani malamnya yang sepi.
Namun tidak untuk pikirannya.
Justru… pikirannya terasa berisik.
Wajah Alesya.
Tatapan matanya yang tajam tapi manis.
Senyumnya yang mengejek tapi bikin jantungnya berdetak dua kali lipat.
Dan terutama…
Bibirnya.
Bibir tipis itu. Lembut. Hangat.
Sekilas, seolah menantang tapi saat Rayyan menyentuhnya, terasa manis lebih manis dari yang ia bayangkan.
Rayyan menghembuskan napas panjang, lalu tertawa lirih sendiri.
“Alesya…”
Ia menggumam lirih nama itu.
Tangannya bergerak pelan ke atas wajah, mengusap rambutnya dengan kasar.
“Gila Bibir lo tuh manis banget.”
Ia menghela napas lagi, lalu menatap langit-langit kamar seperti melihat wajah gadis itu terpampang di sana.
“Kenapa lo bisa semenarik itu sih…”
“Dan kenapa gue bisa segila ini?”
Ponselnya bergetar.
Satu notifikasi dari grup sahabatnya masuk. Tapi ia tidak menggubris.
Pikirannya penuh Dengan suara Alesya yang berbisik di telinganya tadi siang.
Dengan aromanya yang samar masih tertinggal di seragamnya.
“Besok ketemu lagi dan gue rasa, ini baru permulaan.”
Senyum kecil muncul di bibir Rayyan.
Ia menutup mata, membiarkan bayangan Alesya membawanya tertidur.